Selasa, 26 Juli 2011

Uji UU Kehutanan: Pemerintah Anggap Permohonan Kabur

Kuasa Hukum Pemohon, Muhammad Ali Dharma Utama saat mendengarkan keterangan dari Pemerintah dalam sidang pengujian Pasal 4 Ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan), Selasa (26/7) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.
Jakarta, MKOnline - Permohonan tidak jelas dan kabur (obscuur libel) karena Pemohon tidak menguraikan dengan jelas kedudukan hukum pemohon. Hal ini disampaikan oleh Pemerintah yang diwakili oleh Gunardo Agung Prasetyo dalam jawaban terhadap permohonan pengujian Pasal 4 Ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan), Maskur Anang bin Kemas Anang Muhamad mengajukan pengujian terhadap UU tersebut. Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang mendengarkan keterangan Pemerintah dan DPR yang teregistrasi dengan Nomor 34/PUU-IX/2011 ini pada Selasa (26/7).
“Dalam uraian permohonannnya, Pemohon tidak menjelaskan kedudukan hukumnya sebagai perseorangan atau WN atau sebagai badan hukum privat mengingat Pemohon mendalilkan sebagai pemilik PT Ricky Mas Jaya. Pemohon tidak menjelaskan kedudukannya dan juga tidak menjelaskan kedudukannya dalam perusahaan tersebut. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka kedudukan pemohon dianggap kabur dan tidak memenuhi kualifikasi sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK,” ujar Gunardo.
Selanjutnya, Gunardo memaparkan bahwa konstruksi pelanggaran hak konstitusional yang digambarkan Pemohon tidak tegas terurai. Pemohon mendalilkan bahwa timbulnya kerugian diakibatkan adanya peralihan fungsi lahan perkebunan milik Pemohon oleh Pemerintah melalui Keputusan Menteri Kehutanan. Jika hal tersebut benar, lanjut Gunardo, keputusan a quo berada pada domain kewenangan pejabat tata usaha negara, sehingga tidak terdapat hubungan sebab akibat antara kerugian yang dialami oleh Pemohon dengan ketentuan yang dimohonkan untuk diuji. “Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, mestinya upaya hukum yang dilakukan oleh Pemohon adalah melalui lembaga peradilan lain, yaitu PTUN atau Pengadilan Negeri,” jelasnya.
Menurut Gunardo, khusus terhadap kewenangan dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b undang-undang tersebut dimaksudkan untuk menampung adanya dinamika pembangunan, baik di luar sektor kehutanan maupun di dalam sektor kehutanan sendiri. Di sisi lain, tidak menutup kemungkinan adanya penetapan wilayah tertentu menjadi kawasan hutan. Pengaturan lebih lanjut mengenai penetapan wilayah tertentu menjadi kawasan hutan atau kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan. “Ketentuan Pasal 4 ayat (3) undang-undang a quo menentukan bahwa penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional,” katanya.
Di samping itu penguasaan hutan oleh negara, lanjut Gunardo, Pemerintah juga memperhatikan adanya hak-hak atas tanah yang ada. Terhadap dalil adanya kerugian Pemohon yang diderita akibat ditahan berdasarkan putusan dari badan peradilan umum, menurut Pemerintah bukan merupakan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 UU MK, tetapi terkait dengan perbuatan pidana yang dilakukan oleh Pemohon, yaitu dengan sengaja menggerakkan orang lain untuk melakukan perusakkan barang milik orang lain. “Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah mohon kepada Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dapat memberi putusan menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum standing atau legal standing yang jelas.  Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima niet ontvankelijk verklaard,” paparnya.
Majelis Hakim yang diketuai oleh Ketua MK Moh Mahfud MD dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya mengesahkan 40 lembar alat bukti. “Kalau begitu, sidang berikutnya itu akan dibuka kalau Pemohon mau mengajukan saksi atau ahli. Jadi, Bapak tanggal 2 paling lambat itu sudah mendaftarkan kalau menghadirkan ahli. Kalau tanggal 2 tidak mendaftarkan ahli atau saksi, berarti menganggap pemeriksaan ini cukup, sehingga jadwal sidang berikutnya adalah pengucapan putusan. Dan untuk itu kalau memang pengucapan putusan, maka tentu baik Pemerintah maupun Pemohon, paling lambat tanggal 9 menyampaikan kesimpulan dari keseluruhan jalannya sidang ini,” urai Mahfud.
Melalui kuasa hukumnya, Muhammad Ali Dharma Utama, Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar akibat berlakunya Pasal 4 Ayat (2) huruf  b UU Kehutanan. Menurut Ali Dharma, pasal a quo bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28C Ayat (2), 28D Ayat (3), serta 28H Ayat (4) UUD 1945. Pasal 4 Ayat 92) UU Kehutanan menyatakan “(2) Penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi wewenang kepada pemerintah untuk:  (b) menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan”. Pemohon beralasan pasal tersebut memberikan keleluasaan kepada Menteri Kehutanan untuk menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau bukan kawasan hutan sebagai kawasan hutan yang demikian telah memberi peluang kepada Menteri Kehutanan untuk melanggar hukum dengan cara memanipulasi serta merekayasa tanah menjadi alih fungsi yang berada di kawasan luar hutan yang belum menjadi kawasan hutan. Seperti yang terjadi pada tanah perkebunan Pemohon yang berada pada kawasan budidaya pertanian oleh Menteri Kehutanan sudah dialihfungsikan sebagai hutan tanaman industri. (Lulu Anjarsari/mh)
 

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More