Senin, 25 April 2011

Pemerintah: UU Parpol Mewujudkan Multi-Partai Sederhana

Jakarta, MKOnline – Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Parpol) dibuat agar menjamin adanya kepastian hukum. Ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Parpol Tahun 2011 mewajibkan parpol yang telah berbadan hukum untuk melakukan penyesuaian. Salah satu bentuk penyesuaiannya adalah seluruh parpol yang telah berbadan hukum, yang saat ini berjumlah 74, melakukan verifikasi ulang pada Kementerian Hukum dan HAM. ”Jika tidak terdapat ketentuan tersebut, maka kehendak mewujudkan multi-partai sederhana di Indonesia sebagaimana diinginkan oleh pembentuk Undang-Undang, yang juga telah sejalan dengan beberapa putusan MK yang terkait dengan electoral threshold maupun parlementary threshold, niscaya akan sulit dapat diwujudkan.”
Pendapat disampaikan oleh Made Suwandi saat didaulat oleh Pemerintah untuk menjadi Ahli dalam persidangan di MK mengenai uji materi UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, Senin (25/4/2011) bertempat di ruang Sidang Pleno gedung MK.
Permohonan perkara yang diregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 15/PUU-IX/2011 ini dimohonkan oleh parpol-parpol gurem yang tidak punya wakil di DPR. Mereka di antaranya: 1. PPD; 2. PBB; 3. PDS; 4. PKPI; 5. PDP; 6. PPPI ; 7. Partai Patriot; 8. PNBKI ; 9. PPI; 10. PMB; 11. Partai Pelopor 12. PKDI; 13. Partai Indonesia Baru; 14. PPDI; 15. PKPB; 17. PSI; dan 18. Partai Merdeka. Sedangkan perkara Nomor 18/PUU-IX/2011 dimohonkan oleh Choirul Anam dan Tohadi yang berasal dari PKNU (Partai Kebangkitan Nasional Ulama).
Para Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) yang mewajibkan partai politik yang telah berbadan hukum untuk ikut verifikasi ulang, telah menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum yang pada gilirannya dapat menimbulkan kerugian hak-hak konstitusional para Pemohon. Menurut para Pemohon, ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 22A, Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.Persidangan mengagendakan mendengar keterangan Ahli dari Pemerintah dan Ahli dari Pemohon. Pemerintah menghadirkan seorang Ahli, Made Suwandi, sedangkan Pemohon (perkara Nomor 18/PUU-IX/2011) menghadirkan 3 orang Ahli, yaitu Yusril Ihza Mahendra, Fajrul Falaakh dan Robertus.
Made Suwandi dalam paparannya menyatakan, UU Parpol Tahun 2011 menegaskan bahwa partai politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 30 WNI yang telah berusia 21 tahun atau sudah menikah dari setiap provinsi. Selain itu, parpol harus mempunyai kepengurusan pada setiap provinsi dan paling sedikit 75% dari jumlah kabupaten kota pada provinsi yang bersangkutan, dan paling sedikit 50% dari jumlah kecamatan pada kabupaten kota yang bersangkutan. “Dengan demikian, setiap partai politik harus memenuhi kepengurusan di 33 provinsi, 333 kabupaten/kota, dan 3311 kecamatan,” papar Made Suwandi.
Selain itu, menurut Pemerintah, ketentuan tersebut tidak dalam rangka mengurangi atau menghalang-halangi keinginan setiap orang termasuk para Pemohon untuk membentuk atau melanjutkan keberadaan parpol yang telah berbadan hukum tersebut sebagaimana dijamin oleh konstitusi. Ketentuan tersebut juga merupakan perwujudan yang sama dan setara, e qual treatment, baik bagi parpol lama yang telah berbadan hukum maupun parpol baru yang belum berbadan hukum. Oleh karena itu, menurut Pemerintah, ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Parpol 2011 telah sejalan dengan amanat konstitusi dan karenanya tidak bertentangan dengan UUD 1945. “Karenanya pula, tidak merugikan hak dan atau kewenangan konstitusional para pemohon. Juga, menurut pemerintah, ketentuan tersebut  telah jelas dan tidak bersifat multitafsir, karenanya tidak perlu dinyatakan sebagai ketentuan yang bersifat conditionally constitutional atau konstitusional bersyarat.
Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut, Pemerintah memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi agar menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. “Atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon  tidak dapat diterima,” pinta Ahli dari Pemerintah, Made Suwandi.

Ketidakjelasan Arti dan Filosofi
 
Sementara itu, Yusril Ihza Mahendra yang didaulat sebagai Ahli Pemohon, dalam paparannya menyatakan, ketentuan dalam Pasal 51 ayat (1) UU Parpol yang tengah diujikan, mengandung ketidakjelasan arti dan filosofi dalam perumusannya. Yusril mempertanyakan maksud kata-kata “tetap diakui keberadaannya” dalam Pasal 51 ayat (1) UU Parpol. “Apakah maksud keberadaannya? Keberadaan de jure sebagai sebuah rechtpersoon atau keberadaan de facto?” tanya Yusril.
Kemudian, ketidakjelasan itu juga nampak dalam ketentuan dalam Pasal 51 ayat (1) b yang menyatakan, “Dalam hal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memenuhi syarat verifikasi, keberadaan Partai Politik tersebut tetap diakui sampai dilantiknya anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota hasil Pemilihan Umum tahun 2014.” Undang-undang ini, lanjutnya, secara implisit membubarkan partai politik di luar apa yang diatur oleh konstitusi dan melampaui kewenangan MK sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang untuk membubarkan sebuah partai politik.
“Saya kira, tidak ada kewenangan yang diberikan oleh undang-undang dasar kepada pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang untuk membubarkan, mengeliminir keberadaan partai politik melalui undang-undang yang diberikan kewenangan kepada mereka untuk membuatnya,” tandas Yusril.
Sedangkan Fajrul Falaakh, dalam paparannya menyatakan, UU Parpol 2011 menerapkan standar ganda yang tidak memberikan kepastian hukum mengenai pengakuan terhadap eksistensi para Pemohon. Dengan kata lain, kepada Pemohon dikenakan syarat verifikasi yang berbeda dari UU Parpol 2008 dan UU Pemilu 2008 yang pada dasarnya sudah meloloskan para Pemohon sebagai peserta Pemilu 2009. “Karena penerapan standar ganda inilah, maka lalu saya setuju dengan pendapat para Pemohon yang mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan yang diujikan bersifat diskriminatif,” paparnya.
Menurut Fajrul, verifikasi oleh pemerintah yang mengakibatkan Parpol kehilangan hak menjadi peserta Pemilu berikutnya, bukan hanya membohongi pengakuan akan eksistensi parpol yang bersangkutan, melainkan juga mengabaikan prinsip kedaulatan rakyat yang diwujudkan melalui pemilu dengan parpol sebagai pesertanya. “Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 juncto Pasal 22E Ayat (5), di dalam demokratis rechtstaat seharusnya eksistensi parpol diputuskan sendiri oleh rakyat, termasuk mengenai jumlah parpol yang dipandang pantas mewakili kemajemukan masyarakat itu,” tandas Ahli dari Pemohon, Fajrul Falaakh. (Nur Rosihin Ana/mh)

Rabu, 13 April 2011

PUU Advokat: Ahli Nyatakan UU Advokat Konstitusional

Jakarta, MK Online - Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang 18 Tahun 2003 tentang Advokat tidak bertentangan dengan konstitusi. Akan tetapi, Mahkamah sebaiknya tetap memberikan garis-garis besar terkait pewadahan (pembentukan organisasi) advokat di Indonesia. Demikian dinyatakan oleh Ahli Prof. J. E. Sahetapy. Pendapat ini disampaikan saat digelar sidang pengujian undang-undang Advokat Rabu (13/4) di ruang sidang Pleno MK.
Selain itu, Sahetapy berpandangan, Pasal 32 Ayat (4) masih belum jelas dan tegas. ”Obscuur libel,” ujarnya. Oleh karenanya ia menyarankan, nantinya, MK memberi rambu-rambu terkait pengaturan pembentukan organisasi advokat. Dan, jika kelak MK memutuskan bahwa satu wadah organisasi advokat adalah konstitusional, maka konsekuensinya organisasi-organisasi advokat yang saat ini ada harus membubarkan diri. 
Sahetapy juga menekankan pentingnya menjaga integritas moral dan etika bagi para advokat dalam menjalankan profesinya. Menurutnya, kisruh yang terjadi saat ini lebih disebabkan oleh rendahnya etika sebagian advokat. Tak ada gunanya satu wadah ataupun banyak, jika advokatnya sendiri masih memikirkan kepentingan masing-masing. Ia mengistilahkan, akan selalu ada ‘kutu loncat’ jika moralitas para advokat masih seperti sekarang.
Pada kesempatan yang sama, Pihak Terkait, sempat menghadirkan tiga saksinya. Hadir saat itu sebagai saksi, Zakirudin Chaniago, Desmaniar, dan Deny Kailimang. Dalam kesaksiannya, Zakirudin yang juga adalah Vice President KAI, menerangkan bahwa pernah terjadi kesepakatan antara KAI dengan Peradi (Perhimpunan Advokat Indonesia). Hasilnya, ujarnya, telah disepakati delapan butir rekomendasi. Salah satu rekomendasinya adalah membentuk wadah tunggal yang  akan dibahas lebih lanjut dalam Musyawarah Nasional (Munas) bersama. Munas nantinya juga akan menetapkan pimpinan organisasi tersebut.
Namun dalam perkembangannya, menurut Zakirudin, kesepakatan yang telah dicapai tersebut  disimpangi. Hingga akhirnya, pada saat pertemuan di Mahkamah Agung, yang rencanannya adalah untuk melakukan penandatanganan dan pengesahan kesepakatan, malah berujung ricuh. “Hasilnya masih jauh panggang dari api. Karena masing-masing masih merasa benar sendiri dan masih mengedepankan egonya masing-masing,” tuturnya.
Sedangkan saksi lainnya, Deny Kailimang, menjelaskan tentang sejarah pembentukan Peradi. Menurutnya, Peradi dibentuk oleh seluruh advokat dan delapan organisasi advokat. Delapan organisasi itu adalah Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI).
Seluruh organisasi advokat tersebut akhirnya membentuk Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI). Seanjutnya, disepakati untuk membahas pembentukan wadah organisasi pada Munas masing-masing organisasi. “Sesuai dengan mekanisme dalam Anggaran Dasar mereka,” jelas Deny. Hingga akhirnya terbentuklah Peradi. Oleh karena itu, menurutnya, pembentukan Peradi, telah sesuai dengan UU Advokat.
Untuk membuktikan hal itu, Mahkamh meninta kepada para pihak untuk melampirkan seluruh AD/ART (Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga) seluruh organisasi advokat yang ada saat ini. Selain itu, bukti-bukti lain yang mengungkapkan bahwa Munas terkait pembentukan Peradi benar-benar dilaksanakan.
Sementara itu, Desmaniar, menuturkan bahwa dirinya telah terenggut haknya karena berlakunya UU Advokat. Ia berpendapat, telah diperlakukan secara sewenang-wenang oleh Dewan Kehormatan Peradi Pekanbaru. Menurutnya, pencabutan dia sebagai advokat oleh DK Pekanbaru telah menghilangkan mata pencahariannya sebagai advokat. Proses pencabutan tersebut, menurut dia, cacat prosedur.
Oleh sebab itu, Desmaniar menganggap, dengan adanya rumusan yang menyatakan bahwa organisasi advokat hanya satu, maka akan menutup kesempatan bagi dirinya untuk memperjuangkan haknya. Dengan kata lain, jika ada organisasi advokat yang bertindak sewenang-wenang, maka tidak ada jalan lain untuk membela diri. “Kemana saya harus mengadu? Kalau wadahnya tunggal,” tegasnya. Adapun alasan DK Peradi saat itu, karena Desmaniar telah melanggar kode etik. Desmaniar dianggap menerima dua kuasa dari pihak yang saling bersengketa.
Untuk sidang selanjutnya, akan digelar Senin (25/4) di ruang sidang MK. Rencanannya, Pihak Terkait akan menghadirkan dari Law Society dan International Bar Asociation (IBA) dalam persidangan (Dodi/mh)

Selasa, 12 April 2011

Syarat Penahanan Abu Bakar Ba asyir Dimasalahkan

Jakarta, MKOnline - Untuk dapat melakukan penahanan, ada syarat-syarat yang ketat, karena penahanan itu berdampak pada orang yang ditahan secara sosial, psikologis, dan juga lingkungan masyarakat.
Keterangan Mualimin Abdi yang mengatasnamakan pemerintah tersebut disampaikan dalam Pengujian UU 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Perkara dengan Pemohon Abu Bakar Ba’asyir memasuki sidang dengan agenda mendengarkan keterangan pemerintah, DPR, serta Saksi/Ahli dari Pemohon dan pemerintah. Persidangan yang dimulai pukul 10.00 wib ini digelar Selasa (12/4/2011).
Dalam persidangan, Mualimin Abdi juga menyebutkan kedudukan hukum Pemohon pada dasarnya terkait dengan law enforcement (penegakan hukum). “Pemerintah menyadari, legal standing itu bersifat tentatif dan tergantung MK,” katanya.
Terhadap norma yang dimohonkan, Mualimin mengatakan argumentasi Pemohon tidak jelas dan kabur. “Anggapan telah timbulnya kerugian, tidak ada penjelasan secara rinci,” lanjutnya. Ia menyampaikan, tujuan utama dibentuknya UU 8/1981 adalah untuk verifikasi system hukum nasional dan perlindungan harkat dan martabat manusia. “Ketentuan Pasal 21 ayat (1) justru untuk mengedepankan HAM. Selain itu, penahanan juga harus ada syarat subyektif dan obyektif,” katanya.
Syarat Penahanan
Terhadap penjelasan tersebut, Pemohon Abu Bakar Ba asyir yang diwakili kuasa hukumnya HM Mahendradatta dkk balik bertanya mengenai dasar hukum syarat subyektif dan obyektif. Pemohon juga ingin adanya penjelasan tentang pengertian conditionally constitutional. Pertanyaan berikutnya yang diajukan ke pemerintah mengenai surat penahanan. “Dalam surat penahanan, apa diberitahu tindakan in casu dia dikategorikan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, dll? Bagaimana dengan konteks Ariel Peterpan yang ditahan, tapi Luna Maya dan Cut Tari tidak?” kata Mahendradatta.
Pemerintah yang diwakili Sumarsono, Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Agung, menjelaskan bahwa syarat subyektif adalah adanya kekuatiran melarikan diri dan menghilangkan barang bukti. Sementara syarat obyektif terkait dengan penegakan hukum yang dimaksud.
Pemohon dalam sidang kali ini menyodorkan lima barang bukti (P-1 sampai P-5). “Sidang berikutnya Selasa depan, mohon nama-nama ahli segera dilaporkan Jumat ini agar kami bisa mengundang mereka dalam persidangan,” kata Mahfud MD. Majelis Hakim MK dalam persidangan ini sebanyak delapan hakim konstitusi, minus Maria Farida Indrati yang berhalangan.
Materi yang dipersoalkan kuasanya Abu Bakar Ba'asyir adalah Pasal 21 ayat (1) berbunyi “Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana”.
Pemohon meminta frasa “diduga keras melakukan tindak pidana” dibatalkan MK. Alasan pengujian Pemohon adalah karena ditangkapnya Abu Bakar Ba’asyir oleh Densus 88 dalam mobil yang sedang ditumpanginya dan adanya penahanan secara paksa oleh polisi. Pemohon merasa polisi hanya mendasarkan pada dugaan adanya tindak pidana yang dilakukan Pemohon.
Penjelasan Pasal 95 ayat (1) ikut diujikan. Menurut Pemohon, penjelasan pasalnya justru membuat Pemohon tidak bisa mengajukan tuntutan ganti rugi berdasarkan ketentuan Pasal 95 ayat (1) yang berbunyi “tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan”. Penjelasannya sendiri berbunyi “Yang dimaksud dengan "kerugian karena dikenakan tindakan lain" ialah kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum. Termasuk penahanan tanpa alasan ialah penahanan yang lebih lama daripada pidana yang dijatuhkan”. (Yazid/mh)


Senin, 11 April 2011

Tidak Beralasan Hukum, Permohonan Ketua dan Anggota KPU Kota Manado Ditolak

Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak untuk seluruhnya permohonan yang diajukan oleh Ketua dan Anggota KPU Kota Manado. Demikian amar putusan yang dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi oleh delapan hakim konstitusi lainnya, Senin (11/4), di Ruang Sidang Pleno MK. Dolfie Daniel Angkouw, Lucky Aldrin Senduk, Franciscus Daniel Sompie, Suardi Hamzah, dan Donald Kagel Monintja tercatat sebagai Pemohon perkara yang teregistrasi dengan Nomor 36/PUU-VIII/2010.

Dalam provisi, Mahkamah memutuskan menolak permohonan provisi yang dimohonkan oleh Pemohon. Mahkamah menyatakan permohonan provisi yang diajukan para Pemohon adalah tidak tepat menurut hukum karena beberapa alasan. Pertama, dalam pengujian undang-undang (judicial review), putusan Mahkamah hanya menguji norma abstrak, tidak mengadili kasus konkret seperti adanya pengambilalihan kewenangan penyelenggaraan Pemilukada oleh KPU Provinsi Sulawesi Utara kepada KPU Kota Manado.

”Kedua, putusan Mahkamah bersifat prospektif sesuai dengan ketentuan Pasal 58 UU MK serta Pasal 38 dan Pasal 39 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, sehingga apa pun amar putusan Mahkamah dalam perkara a quo tidak berlaku surut terhadap perkara konkret yang sudah berlangsung. Dalam hal ini Pemilukada Kota Manado sudah terselenggara pada 3 Agustus 2010 sehingga permohonan para Pemohon untuk menghentikan proses Pemilukada di Kota Manado menjadi tidak relevan,” ujar salah satu hakim konstitusi.

Dalam pokok permohonannya, para Pemohon memiliki penafsiran yang berbeda atas Pasal 235 ayat (2) UU 12/2008 yang membuat para Pemohon kehilangan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1), Pasal 18 ayat (4), dan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945. Menurut Mahkamah, perbedaan penafsiran ini bukan merupakan bagian dari isu konstitusionalitas norma. Demikian juga para Pemohon tidak diperlakukan diskriminatif dengan dinon-aktifkannya para Pemohon sebagai Ketua dan Anggota KPU Kota Manado, namun lebih merupakan isu kebijakan (policy) dan implementasi dalam menjalankan Undang-Undang.

“Para Pemohon yang dinonaktifkan/diberhentikan sebagai anggota KPU bukan merupakan persoalan pelanggaran atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, melainkan merupakan sengketa administrasi, sehingga Mahkamah tidak akan mempertimbangakan pertentangan Pasal 235 ayat (2) Undang-Undang a quo dengan pasal-pasal lain dari UUD 1945,” urai salah satu hakim konstitusi.

Selain itu, para Pemohon mendalilkan Pasal 5 ayat (1) UU 22/2007 yang menyatakan bahwa KPU bersifat hierarkis bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan alasan sifat hierarkis KPU hanya berlaku pada penyelenggaraan Pemilu DPR, DPD, DPRD dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dan bukan pada Pemilukada. Adapun untuk penyelenggaraan Pemilukada, Pasal a quo harus ditafsirkan konstitutional bersyarat mengingat adanya tugas dan fungsi khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945. para Pemohon tidak menjelaskan tentang kerugian konstitusionalnya yang diakibatkan oleh berlakunya Pasal 5 ayat (1) UU 22/2007. Pasal a quo hanya menentukan bahwa kedudukan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota bersifat hierarkis. Oleh karena para Pemohon menggunakan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sebagai batu uji, Mahkamah berpendapat Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah dua pasal yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang menyangkut persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan, serta pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil yang tidak ada sangkut pautnya dengan masalah hierarkisnya KPU dan kerugian yang diderita oleh para Pemohon yang dinonaktifkan dari jabatannya sebagai Ketua dan Anggota KPU Kota Manado.

“Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum di atas, Mahkamah tidak mempertimbangkan pertentangan Pasal 5 ayat (1) UU 22/2007 dengan pasal-pasal UUD 1945. Dengan demikian permohonan para Pemohon tidak beralasan hukum,” urainya.

Oleh karena itu, dalam konklusi yang dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD, Mahkamah menyimpulkan bahwa permohonan provisi para Pemohon tidak beralasan hukum dan dalil-dalil para Pemohon dalam pokok permohonan tidak beralasan hukum. “Mahkamah menyatakan dalam provisi, menolak permohonan provisi para Pemohon. Dalam pokok perkara, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Mahfud membacakan amar putusan. (Lulu Anjarsari/mh)

Pemohon Uji Materi UU BPHTB Mangkir di Persidangan

Jakarta, MKOnline – Tanpa alasan jelas, Fahri Alamudie mangkir di persidangan Mahkamah Konstitusi (MK) yang digelar pada Senin (11/4/2011). Persidangan yang rencananya digelar pukul 13.00 WIB ini sempat tertunda karena Pemohon belum menunjukkan tanda-tanda kehadiran di MK. Selanjutnya, Panel Hakim membuka persidangan pukul 13:24 WIB. Namun, karena Pemohon tidak juga hadir di persidangan dengan agenda pemeriksaaan perbaikan permohonan, akhirnya Panel Hakim terpaksa menutup persidangan pada pukul 13:26 WIB.
“Oleh karena Pemohon untuk perkara nomor 22/PUU-IX/2011 tidak hadir, maka sidang saya nyatakan ditutup,” kata Ketua Panel Achmad Sodiki seraya mengetok palu sidang sebanyak tiga kali pertanda persidangan ditutup.
Sebagaimana persidangan pendahuluan, (18/3), Mahkamah memeriksa uji materi konstitusionalitas materi UU 20/2000 tentang Perubahan Atas UU 21/1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan  (BPHTB) yang diajukan oleh Fahri Alamudie.
Fahri yang kala itu hadir di persidangan tanpa didampingi kuasa hukum, mengadukan hak konstitusionalnya terlanggar akibat berlakunya Pasal 2 ayat (2) huruf  b UU BPHTB yang menyatakan: “Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi: b. pemberian hak baru karena: 1. kelanjutan pelepasan hak; 2. di luar pelepasan hak.” Ketentuan tersebut menurut Pemohon, bertentangan dengan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945.
Fahri mendalilkan membeli sebidang tanah. Saat jual-beli dia sudah dikenakan pajak. Namun, saat pemberian hak baru, dia dikenakan pajak lagi. Menurutnya, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dalam pemberian hak baru tidak dapat dibenarkan karena pemberian hak baru bukanlah suatu peristiwa hukum seperti yang diatur dalam UU 20/2000. Sehingga menurutnya, pemberian hak baru kepada pemilik lahan/tanah dan bangunan adalah kewajiban pemerintah karena pemerintah memperoleh pendapatan setiap tahun dari pajak tanah/lahan tersebut, yaitu berupa pajak bumi dan bangunan. (Nur Rosihin Ana/mh)



Jumat, 08 April 2011

Uji UU Pensiun, Pemohon Belum Lengkapi Syarat Formil

Jakarta, MKOnline - Undang-Undang (UU) 21/1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai diujikan MK, Jumat (8/4/2011) pukul 13.30 wib. Pemohon pengujian UU ini adalah Hasanuddin Shahib, Kusnendar Atmosukarto, dan Suharto.

Para Pemohon menyoal Pasal 2 huruf a dan b UU a quo yang dinilai merugikannya. Pasal ini mengatur tentang pembiayaan pensiun. Bunyinya, “Pensiun-pegawai, pensiun-janda/duda dan tunjangan-tunjangan serta bantuan-bantuan di atas pensiun yang dapat diberikan berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini: a) bagi pegawai negeri/bekas pegawai negeri yang terakhir sebelum berhenti sebagai pegawai negeri atau meninggal dunia, berhak menerima gaji atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, menjelang pembentukan dan penyelenggaraan suatu Dana Pensiun yang akan diatur dengan Peraturan Pemerintah; dibiayai sepenuhnya oleh Negara, sedangkan pengeluaran-pengeluaran untuk pembiayaan itu dibebankan atas anggaran termaksud; b) bagi pegawai negeri/bekas pegawai negeri yang tidak termasuk huruf a di atas ini, dibiayai oleh suatu dana pensiun yang dibentuk dengan dan penyelenggaraannya diatur dengan Peraturan Pemerintah”.

UU yang sama sebenarnya juga sedang diujikan di MK, namun dengan pasal dan nomor registrasi yang berbeda. Pemohon sebelumnya adalah Widodo Edy Budianto, yang merupakan Pegawai Negeri Sipil pada Kantor Administrator Pelabuhan Tegal, yang mengujikan Pasal 9 ayat (1) huruf a. Perkara Widodo teregistrasi dengan No. 7/PUU-IX/2011.

Dalam persidangan, para Pemohon menjelaskan Keputusan Direksi PT Telkom Bandung telah merugikan mereka sebagai pensiunan. Ketiga Pemohon ini memang berstatus sebagai pensiunan perusahaan pelat merah tersebut.

Majelis Hakim Panel yang diketuai Achmad Sodiki dengan didampingi Hamdan Zoelva dan Muhammad Alim, menilai apa yang dimohonkan masih harus banyak diperbaiki. “Majelis akan manasehati, nasehat hakim ini untuk menjadi petunjuk bagi Pemohon dalam perbaikan permohonannya. Susunan permohonan belum benar, anda bisa minta tolong ke Panitera Pengganti untuk diberi contoh yang benar,” kata Sodiki.

Mengenai permohonan, Sodiki menjelaskan bahwa MK menguji norma. Hakim yang juga guru besar Univ. Brawijaya ini masih melihat materi yang dilampirkan berupa Surat Keputusan (SK) tentang putusan pensiun, tidak tepat untuk dijadikan alat bukti. “SK-SK itu adalah suatu putusan administratif, jika SK merugikan Bapak, sasarannya bukan ke sini, tapi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN),” tutur Sodiki.

Sementara itu, Muhammad Alim dalam sidang pemeriksaan pendahuluan ini juga menasehati agar kewenangan MK disebutkan dalam permohonan. “Legal standing saudara juga harus dijelaskan, pasal mana yang Bapak tuju, di halaman 3 tertulis ‘apa yang dilakukan Direksi PT Telkom bertentangan dengan UU. Itu tindakan nyata, jadi bukan pasalnya yang merugikan saudara,” katanya.

Alim menegaskan, permohonan yang diajukan belum memenuhi syarat formil permohonan, jadi harus diperbaiki. Selain itu, identitas Pemohon juga harus dilengkapi ulang. (Yazid/mh)

http://mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=5237

Rabu, 06 April 2011

Uji Materi UU Tenaker: SPM Hotel Papandayan Bukan Badan Hukum, Pemohon Ubah Kedudukan Hukum

Jakarta, MKOnline - Uji konstitusionalitas materi UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Tenaker) kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (6/4/2011) pagi. Dalam persidangan perkara Nomor 19/PUU-IX/2011 dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan ini, Pemohon melakukan perubahan cukup fundamental, khususnya mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon.
Semula Pemohon mengambil kedudukan hukum sebagai Serikat Pekerja Mandiri (SPM) Hotel Papandayan Bandung. Setelah mendengar nasihat dan arahan Panel Hakim pada sidang pemeriksaan pendahuluan (11/3) lalu, pada persidangan kali ini Pemohon mengambil posisi hukum sebagai perorangan warga negara Indonesia. Pemohon beralasan SPM Hotel Papandayan bukan sebuah badan hukum. “Pada hari ini kami tidak lagi memakai Serikat Pekerja, karena Serikat Pekerja bukan badan hukum,” kata Pemohon Asep Ruhiyat.
Sementara itu, Anggota Panel Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar kembali mengritisi tuntutan permohonan (petitum) Pemohon. Pada petitum poin 4, Pemohon meminta pemulihan hak-hak konstitusionalnya, yaitu hak untuk bekerja dan mendapatkan imbalan di Hotel Papandayan Bandung. Menurut Akil, permintaan seperti itu tidak dapat dilakukan oleh Hakim MK dalam pengujian UU. “Mahkamah tentu tidak dapat menentukan itu, terkecuali menyatakan bahwa norma pasal yang diuji itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” terang Akil. Kemudian, terkait dengan pengembalian hak, Akil menyarankan Pemohon menempuh jalur hukum di luar MK.
Lebih lanjut Akil membuat tamsil untuk mempermudah pemahaman Pemohon sekaligus menghindari salah persepsi mengenai permohonan pengujian UU di MK. “Seandainya permohonan ini dikabulkan oleh Mahkamah, tentu Mahkamah hanya menyatakan bahwa norma yang ada di dalam Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan dia tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Jadi Pasal itu mati sudah, maka dia mengikat seluruh stakeholder, baik perusahaan maupun pekerja di seluruh Indonesia,” lanjut Akil.
Sebagaimana persidangan sebelumnya (11/3/2011), tiga orang karyawan yang mengalami PHK Hotel Papandayan Bandung, yaitu Asep Ruhiyat, Suhesti Dianingsih, dan Bambang Mardiyanto, dalam permohonannya merasa hak konstitusionalnya yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 terlanggar akibat berlakunya Pasal 164 ayat 3 UU Tenaker. Pasal 164 ayat (3) UU Tenaker menyatakan, “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja tehadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 Ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 Ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat (4).  
Pemohon mendalilkan Hotel Papandayan tempat pemohon bekerja, melakukan renovasi untuk meningkatkan kualitas hotel dari bintang empat menjadi bintang lima. Namun, renovasi gedung yang dilakukan berakibat di-PHKnya karyawan Hotel Papandayan. (Nur Rosihin Ana/mh)

Pernah Diputus, MK Tidak Menerima Permohonan Bupati Lampung Timur

Jakarta, MKonline - Mahkamah Konstitusi (MK) tidak dapat menerima permohonan Bupati Lampung Timur Hi. Satono. Demikian amar putusan nomor 53/PUU-VIII/2010 yang dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi oleh delapan hakim konstitusi lainnya, Rabu (6/4), di Ruang Sidang Pleno MK.  Satono merasa hak konstitusionalnya terlanggar akibat berlakunya Pasal 31 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi, Mahkamah menjelaskan bahwa pengujian Pasal 31 ayat (1) UU 32/2004 dan Penjelasannya pernah dilakukan terhadap Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan pernah diputus oleh Mahkamah (vide  Putusan Nomor 024/PUU-III/2005 bertanggal 29 Maret 2006) sehingga  mutatis mutandis (dapat diberlakukan juga, red.) alasan hukum putusan tersebut berlaku dalam putusan ini sepanjang berkenaan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. “Selain itu, dianggap ne bis in idem  (sudah pernah diperiksa dan diputus, red.), maka yang akan dipertimbangkan adalah Pengujian Pasal 31 ayat (1) UU 32/2004 dan Penjelasannya terhadap Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945,” ujarnya.
Fadlil menambahkan meskipun Pemohon menambahkan batu uji (touch stone) pengujian a quo yaitu terhadap Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 sehingga seolah-olah tampak adanya perbedaan dengan perkara Nomor 024/PUU-III/2005. Akan tetapi, lanjut Fadlil, dari uraian permohonan dan keterangan ahli Pemohon (Syaiful Ahmad Dinar) tidaklah berbeda karena baik permohonan maupun keterangan ahli Pemohon menguraikan pengujian a quo terhadap prinsip praduga tak bersalah, prinsip kepastian hukum, dan prinsip non-diskriminatif sehingga Mahkamah berpendapat secara substansi permohonan beserta alasan-alasan atas pengujian a quo adalah sama dengan permohonan yang telah diputus dalam Perkara Nomor 024/PUU-III/2005 tanggal 29 Maret 2006.
“Menimbang bahwa dari rangkaian pertimbangan Mahkamah di atas dalam kaitannya satu dengan yang lain, menurut Mahkamah, Pemohon tidak dapat menunjukkan alasan konstitusionalitas yang berbeda dari permohonan yang telah diputus dalam Perkara Nomor 024/PUU-III/2005 tanggal 29 Maret 2006 sehingga terhadap permohonan Perkara Nomor 53/PUU-VIII/2010 dinyatakan  ne  bis  in idem,” urai Fadlil.
Oleh karena itu, dalam konklusi yang dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD, Mahkamah menyimpulkan Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo serta pokok permohonan Pemohon ne bis in idem. “Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” tandas Mahfud membacakan amar putusan. (Lulu Anjarsari/mh)
 

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More