Jumat, 16 Desember 2011

Terganjal Syarat Dukungan, Cabup Bangkalan Imam Buchori Ujikan UU Pemda

Persyaratan 15% bagi partai politik atau gabungan partai dalam hal usung-mengusung calon kepala daerah merupakan aral yang potensial mengganjal keinginan Imam Buchori untuk tampil sebagai calon Bupati Bangkalan, Jawa Timur. Demikian antara lain pokok permohonan yang disampaikan Muhammad Soleh, kuasa hukum Imam Buchori, dalam sidang panel pendahuluan perkara Nomor 83/PUU-IX/2011 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jum’at (16/12/2011).
H. Imam Buchori yang menjabat Wakil Ketua Pengurus Wilayah Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) Jawa Timur Periode 2010-2015 ini memohonkan judicial review terhadap Pasal 59 ayat (1) huruf a sepanjang frase “atau gabungan partai politik” dan Pasal 59 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda).
Pasal 59 ayat (1) huruf a: “Pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik”. Pasal 59 ayat (2): “Partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan”.
Di hadapan Panel Hakim Konstitusi, Imam melalui kuasa hukumnya, Muhammad Soleh, menganggap pasal UU Pemda yang diujikannya tersebut tidak memberikan penghormatan dan kebebasan kepada semua warga negara untuk bisa dicalonkan menjadi kepala daerah. Karena materi muatan ayatnya dibuat demi menyenangkan partai-partai besar. Pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Imam Buchori merasa dirugikan karena keinginannya mengajukan diri menjadi calon bupati Bangkalan, Jawa Timur Periode 2013-2018 terganjal. Sebab partai pengusungnya yaitu PKNU hanya mendapatkan perolehan 5 kursi di DPRD Kabupaten Bangkalan atau sama dengan 10% dari jumlah kursi yang ada di DPRD Kabupaten. “Kalau kita merujuk pada pasal 59 tadi, maka (perolehan PKNU di Bangkalan) tidak sampai 15 persen,” terang Soleh.
Syarat jumlah kursi 15% sesungguhnya merupakan syarat pembatasan agar calon peserta Pemilukada tidak terlalu banyak. Namun menurut Pemohon, syarat yang dibuat oleh pembentuk UU haruslah mencerminkan rasa keadilan. Misalnya semua partai yang mendapatkan kursi berhak mencalonkan kepala daerah. Gagasan ini sangat rasional, sebab partai yang mendapatkan kursi adalah representasi keterwakilan dan kepercayaan rakyat kepada partai politik. Pemohon menginginkan, hanya dengan perolehan 1 kursi di DPRD sudah bisa menjadi tiket bagi partai untuk mengusung calon kepala daerah. “Satu kursi itu derajat keterwakilan dari partai yang bisa mencalonkan,” pinta Soleh.(Nur Rosihin Ana)

Rabu, 14 Desember 2011

Terpidana Kasus Perbankan Ujikan UU Perbankan

Terpidana kasus perbankan, Fara Novia Manoppo, melalui kuasanya, Ichwan Heru Putranto, menyatakan keberatan terhadap ketentuan dalam Pasal 49 ayat (1) huruf c UU Perbankan yang mensyaratkan adanya pidana maksimal dan minimal serta denda maksimal dan minimal. Demikian sidang uji materi UU Perbankan yang digelar di Mahkamah Konstitusi, Rabu (14/12/2011).
Pasal 49 Ayat (1) huruf c UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan) menyatakan: “Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja: c. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan  kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank, atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan tersebut, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliyar rupiah) dan paling banyak Rp. 20.000.000.000,- (dua puluh milyar rupiah)”.
Menurut Pemohon, ketentuan pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. “Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 49 ayat (1)c Undang-Undang Perbankan bertentangan dengan prinsip pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum yang merupakan hak asasi, sebagaimana dimaksud oleh  Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” kata Ichwan Heru Putranto, kuasa hukum Fara.
Sebagaimana dalam uraian permohonan, Fara Novia Manoppo diputus bersalah oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara karena melakukan tindak pidana perbankan yang terjadi pada Bank OCBC NISP Tbk. Cabang Kelapa Gading sebesar Rp. 385.520.000. Amar Putusan PN Jakarta Utara Nomor: 86/Pid.Sus/2011.PN.Jkt.Ut tertanggal 20 April 2011, menjatuhkan pidana penjara enam tahun dan denda 10 milyar rupiah.
Sanksi pidana penjara dan pidana denda tersebut dijatuhkan berdasarkan pada ketentuan Pasal 49 (1) C UU Perbankan. Fara menganggap putusan PN Jakarta Utara memberatkan dan merugikan hak-hak konstitusionalnya. Terlebih lagi jika dibandingkan dengan sanksi pada tindak pidana Pencucian Uang, tindak pidana Korupsi atau bahkan tindak pidana Penggelapan.
Di sisi lain, Majelis Hakim PN Jakarta Utara yang yang mengadili Fara, tidak mungkin menghukum Fara dengan sanksi pidana di bawah lima tahun karena jika hal tersebut dilakukan, maka Majelis Hakim tersebut telah melanggar ketentuan dan aturan dalam UU Perbankan.
Persidangan pendahuluan untuk perkara Nomor 82/PUU-IX/2011 ini dilaksanakan Panel Hakim Konstitusi yaitu Ahmad Fadlil Sumadi sebagai Ketua, didampingi Achmad Sodiki dan Muhammad Alim. Menanggapi permintaan Fara agar Mahkamah menerbitkan Putusan Sela yang memerintahkan PN Jakarta Utara untuk menghentikan dan atau menunda penghukuman pidana, Hakim Konstitusi Acmad Sodiki menyatakan permintaan ini bukan merupakan wewenang Mahkamah. “Kita tidak punya kewenangan untuk mencampuri pengadilan negeri,” kata Sodiki. (Nur Rosihin Ana)

Kamis, 01 Desember 2011

Jabatan Wakil Menteri Digugat di Mahkamah Konstitusi


Istilah wakil menteri tidak dikenal dalam dalam UUD 1945. Pengangkatan wakil menteri yang dilakukan oleh Presiden pada Kabinet Indonesia Bersatu jilid II (KIB II) yang bersandarkan pada Pasal Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (UU Kementerian Negara), adalah bertentangan dengan Pasal 17 UUD 1945. Demikian dikatakan M. Arifsyah Matondang, saat didaulat menjadi kuasa Pemohon di persidangan Mahkamah Konstitusi, Kamis (1/12/2011).

Sidang permohonan judicial review materi UU Kementerian Negara ini diajukan oleh Adi Warman, Ketua Umum Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (GN-PK) dan H. TB. Imamudin, Sekretaris Jenderal GN-PK. Pemohon meminta Mahkamah agar menyatakan Pasal 10 UU Kementerian Negara yang berbunyi, “Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil Menteri pada Kementerian tertentu” bertentangan dengan Pasal 17 UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya.

Memperkuat dalil permohonan, lebih lanjut kuasa Pemohon, Arifsyah menuturkan, Pasal 51 Peraturan Presiden RI (Perpres) Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara menyatakan, “Susunan organisasi Kementerian yang menyelenggarakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 terdiri atas unsur: a. pemimpin, yaitu Menteri; b. pembantu pemimpin, yaitu sekretariat kementerian; c. pelaksana, yaitu deputi kementerian; dan d. pengawas, yaitu inspektorat kementerian.

Berdasarkan ketentuan tersebut, wakil menteri tidak ada dalam susunan organisasi kementerian. Pengangkatan jabatan wakil menteri akan menaikkan anggaran untuk kantor kementerian. “Apalagi pada kabinet saat ini ada 20 wakil menteri setelah resfhuffle pada selasa 18 Oktober 2011,” lanjut Arif mendalilkan.
Arif juga mengutip pernyataan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono saat pengumuman reshuffle KIB II di Istana Negara pada tanggal 18 Oktober 2011, yaitu “Tidak ada penggemukan dalam kabinet, namun Presiden sesuai UU bisa menunjuk wakil menteri. Wakil Menteri, dia bukan anggota kabinet, jadi tidak ada penambahan anggaran”. Pendapat Presiden ini menurutnya tidak dikenal dalam Pasal 17 UUD 1945.

Konsekuensi pengangkatan menteri menuntut penyediaan berbagai fasilitas khusus dari negara yang dananya bersumber dari APBN, di antaranya: rumah dinas, kendaraan dinas, biaya operasional, gaji, tunjangan jabatan, sekretaris, ajudan, supir, beberapa staf pembantu. Berdasarkan estimasinya, pemakaian uang negara untuk seorang wakil menteri, yaitu sebesar Rp. 1,2 miliar per tahun.

Jabatan wakil menteri menurut Pemohon, dapat diindikasikan sebagai politisasi pegawai negeri sipil, dengan modus operandi: membagi-bagi jabatan wakil wakil menteri dalam kalangan dan lingkungan Presiden. Hal ini adalah dapat dibuktikan dengan diterbitkannya revisi Perpres Nomor 47/2009 tentang Pembentukan dan Organissi Kementerian Negara pada tanggal 13 Oktober 2011 menjadi Perpres Nomor 76/2011. Tujuannya, tuding Pemohon, agar orang dekat Presiden RI yang tidak memenuhi persyaratan dapat diangkat menjadi wakil menteri.

Nur Rosihin Ana

Senin, 31 Oktober 2011

Uji UU MD3: Menyoal Badan Kehormatan dan Rangkap Jabatan

Uji materi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa, (18/10/2011).
Kuasa Hukum para Pemohon, Firman Wijaya, menyampaikan beberapa perbaikan permohonan. Perbaikan menyangkut kewenangan Mahkamah Konstitusi, kedudukan hukum Pemohon (legal standing). “Pemohon I dan Pemohon II adalah warga negara Indonesia yang tergabung dalam Kelompok Kerja Petisi 50 yang giat mengkritisi jalannya roda pemerintahan sejak masa orde baru dan berkuasa hingga saat ini. Sedangkan Pemohon III adalah warga negara Indonesia yang menjadi mahasiswa tahun 1996, senantiasa mengkritisi kebijakan pemerintah hingga sampai saat ini,” kata Firman menyampaikan perbaikan legal standing para Pemohon.
Uji materi UU MD3 ini diajukan Judiherry Justam, Chris Siner Key Timu, dan Muhammad Chozin Amirullah. Materi yang diujikan yaitu Pasal 123, Pasal 124 ayat (1), Pasal 208 ayat (2), Pasal 234 ayat (1) huruf (f), Pasal 245 ayat (1), Pasal 277 ayat (2), Pasal 302 ayat (1) huruf (f), Pasal 327 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf (f), Pasal 378 ayat (2). 
Para Pemohon mendalilkan, pengaturan sifat dan keanggotaan BK DPR, DPD dan DPRD sebagaimana diatur dalam Pasal 12, Pasal 124 ayat (1), Pasal 234 ayat (1) huruf (f), Pasal 245 ayat (1), Pasal 302 ayat (1) huruf (f) dan Pasal 353 ayat (1) huruf (f) UU No.27 Tahun 2009 berpotensi tidak akan mendapatkan perlakuan hukum yang adil karena keanggotaan internal BK berpotensi membela kepentingan anggotanya.
Sedangkan Pasal 208 ayat (2), Pasal 277 ayat (2), Pasal 327 ayat (2) dan Pasal 378 ayat (2) UU MD3 memberikan peluang bagi anggota DPR, DPD dan DPRD sebagai wakil rakyat dan wakil daerah untuk tidak akan bekerja untuk kepentingan rakyat karena adanya pekerjaan lain selain menjadi anggota DPR, DPD dan DPRD. Selain itu, adanya pelanggaran etika yang tidak ditangani secara independen dan obyektif serta adanya rangkap pekerjaan akan sangat berpengaruh pada produk-produk pengawasan, legislasi dan pengawasan anggaran yang akan dihasilkan.
Sidang dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan untuk perkara Nomor 59/PUU-IX/2011 ini dilaksanakan Panel Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva (Ketua Panel), Achmad Sodiki dan Anwar Usman. Sebelum mengakhiri mengesahkan alat bukti para Pemohon, yaitu bukti P-1 sampai P-15. (Nur Rosihin Ana/mh)

Selasa, 23 Agustus 2011

Menungggu Putusan Uji Materi UU Kesehatan

Kuasa Hukum Pemohon Uji Materi UU tentang Kesehatan Saat menjelaskan perbaikan permohonan di hadapan majelis hakim, Selasa (23/8) di ruang sidang Pleno MK.
Jakarta, MKOnline – Peringatan bahaya rokok dalam UU Kesehatan kembali kembali digelar dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (23/8/2011) pagi. Sidang perkara 43/PUU-IX/2011 dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan dilaksanakan oleh Panel Hakim yang terdiri dari Muhammad Alim selaku ketua, didampingi harjono dan Maria farida Indrati selaku anggota.
Menanggapi perbaikan permohonan, Ketua Pleno Muhammad Alim membertahukan, bahwa permohonan yang diajukan, ada kesamaan dengan permohonan Nomor 34 /PUU-IIX/2010. “Permohonan Nomor 43/PUU-IX/2011 yang Anda mohonkan ini adalah persis sama dengan Permohonan Nomor 34/PUU-IIX/2010,” Kata Alim.

Riwayat perkara nomor 34/PUU-IIX/2010 yang juga mengenai uji materi UU Kesehatan, saat ini sudah selesai pemeriksaannya dan tinggal menunggu pengucapan putusan. Menurut Alim, sebaiknya pemeriksaan perkara 43/PUU-IX/2011 menunggu pengucapan putusan perkara 34/PUU-IX/2010. Sebab, perkara 34/PUU-IX/2010 yang mempermasalahkan “tafsir zat adiktif” pada tembakau, materi yang diujikan juga sama, yaitu Pasal 114 UU Kesehatan dan penjelasannya.

Sementara itu, kuasa hukum para Pemohon, Tubagus Haryo Karbianto, mengakui kemiripan uji materi UU Kesehatan yang diujikan kliennya dengan permohonan Nurtanto Wisnu Brata, Amin Subarkah, dkk (perkara Nomor 34/PUU-IX/2010). Namun dia memohon Mahkamah mempertimbangkan perbedaan sudut pandang (angle) dari dua permohonan tersebut. “Kami mohon sebagai Pemohon untuk tetap mempertimbangkan angle-nya yang agak berbeda dari Perkara Nomor 34 Tahun 2010 kemarin,” pinta Tubagus.

Seperti diketahui, pada Senin (18/7/2011) lalu, Mahkamah menggelar sidang perdana Uji materi Pasal 114 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang diajukan oleh Widyastuti Soerojo dan Muherman Harun, beserta Ikatan senat mahasiswa Kesehatan Masyarakat Indonesia (ISMKMI). Para Pemohon menganggap peringatan berupa tulisan bahaya rokok yang tertera pada bungkus rokok, tidak efektif.

Pemohon menganggap penjelasan Pasal 114 UU Kesehatan bertentangan dengan Pasal 199 ayat (1) UU yang sama. Pada Pasal 199 ayat (1) dinyatakan, ”Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau memasukkan rokok ke dalam wilayah Negara Kesatuan republik Indonesia dengan tidak mencantumkan peringatan kesehatan berbentuk gambar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).”

Sedangkan penjelasan Pasal 114 UU Kesehatan menyatakan, ”Yang dimaksud dengan ’peringatan kesehatan’ dalam ketentuan ini adalah tulisan yang jelas dan mudah terbaca dan dapat disertai gambar atau bentuk lainnya”. Adanya kata ”dapat” dalam penjelasan Pasal 114 UU Kesehatan tersebut menurut Pemohon menjadikan peringatan pada Pasal 199 tidak bersifat mutlak. Sehingga, produsen rokok bisa menggunakan peringatan bahaya rokok dalam bentuk tulisan saja tanpa menyertakan gambarnya. Padahal, menurut Pemohon, peringatan dalam bentuk gambar lebih efektif dan terbuka dalam menyampaikan informasi mengenai bahaya merokok dibanding hanya menuliskan peringatan tersebut. (Nur Rosihin Ana)

Rabu, 10 Agustus 2011

Syarat Perceraian Potensial Disalahgunakan

Ahli dari Pemohon Uji Materi UU Perkawinan, Bismar Siregar, Marzuki Darusman, dan Makarim Wibisono saat persidangan yang dimohonkan oleh Halimah Agustina binti Abdullah Kamil di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (9/8).
Jakarta, MKOnline – Pengujian konstitusionalitas materi UU 1/1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) yang diajukan Halimah Agustina binti Abdullah Kamil, kembali disidangkan di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (9/8/2011). Persidangan untuk perkara Nomor 38/PUU-IX/2011 mengegendakan mendengar keterangan ahli.
Di hadapan sembilan Hakim Konstitusi yang diketuai Moh. Mahfud MD, kuasa Pemerintah, H. Tulus menyatakan, perkawinan dalam bahasa agama disebut mitsâqan ghalîzhan yaitu suatu perjanjian yang kuat, menghalalkan yang haram dan menjadikan ibadah. Perkawinan dimaksudkan untuk membentuk sebuah kehidupan keluarga yang kekal, utuh, harmonis, bahagia, dan sejahtera., serta merupakan bentuk penghambaan diri kepada Allah SWT.
“Untuk itu, dalam perkawinan diperlukan adanya saling pengertian, kesepahaman, kesadaran untuk membangun sebuah keluarga yang sakînah, mawaddah, dan wa rahmah,” kata Tulus membacakan keterangan tertulis Pemerintah.

Jalan Terakhir
UU Perkawinan, in casu pengaturan tentang putusnya perkawinan, menurut pemerintah, telah memberikan rambu-rambu yang cukup memadai guna memberikan jalan keluar bagi para pihak suami-istri apabila tidak dapat mempertahankan kerukunan rumah tangganya. Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan, “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.”
“Ketentuan ini menunjukkan bahwa perceraian merupakan jalan terakhir yang harus ditempuh apabila kedua belah pihak tidak dapat mempertahankan keutuhan rumah tangganya,” jelas Tulus.
Menurut Pemerintah, kasus perceraian yang terjadi antara Pemohon (Halimah Agustina binti Abdullah Kamil) dengan suaminya (Bambang Trihatmodjo bin H.M. Soeharto) adalah terkait dengan implementasi praktik penegakan hukum yang dilakukan oleh penegak hukum, dalam hal ini Hakim pada Pengadilan Agama dan bukan merupakan persoalan konstitusionalitas ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut.
Berdasarkan penjelasan tersebut, Pemerintah memohon kepada Mahkamah agar menolak permohonan Halimah. “Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya,” pinta Tulus.

Potensi Disalahgunakan
Pada kesempatan yang sama, Halimah yang diwakili kuasa hukumnya, Chairunnisa Jafizham dan Laica Marzuki, menghadirkan tiga orang ahli, yaitu Bismar Siregar, Marzuki Darusman, dan Makarim Wibisono. Bismar Siregar, dalam keterangannya mengatakan, perceraian antara Bambang Tri Soeharto dengan Halimah setelah sekian puluh tahun mereka membina kehidupan rumah tangga, memunculkan pertanyaan. Sebab permohonan Kasasi Bambang diperiksa dan diadili oleh Hakim Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa hubungan antara Bambang dengan Halimah tidak sesuai dengan kerukunan. Oleh karena itu, Bambang berhak untuk menjatuhkan talak.
Sementara itu Marzuki Darusman mengatakan, penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU Perkawinan berpotensi untuk disalahgunakan. “Masalah yang mungkin timbul di antaranya, terutama adalah akibat dari adanya perbuatan salah satu pihak, pada umumnya laki-laki dalam hubungan dengan pihak ketiga yang tidak dapat diterima oleh pihak lainnya, pada umumnya pihak perempuan. Dalam praktik, keadaan inilah yang menyebabkan penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f lebih banyak merugikan pihak perempuan dan mengakibatkan hak-hak perempuan sebagai hak-hak asasi manusia menjadi rentan,” jelas Marzuki.
Senada dengan Marzuki, ahli Pemohon Makarim Wibisono menyatakan, penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f tersebut merugikan kaum perempuan dan istri karena tidak memberikan keadilan baginya dan mencerminkan tidak adanya persamaan hak bagi kaum perempuan dan istri dengan hak suami. Para suami dapat dengan mudah menceraikan istrinya dengan alasan terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran.
“Karena ketentuan itu tidak meminta atau membutuhkan kejelasan mengenai siapa penyebabnya, siapa pemicunya, atau apa yang menjadi klausa primanya. Ini adalah hal yang tidak adil, siapa pun kaum perempuan atau istri yang membangun rumah tangga dengan dasar luhur, bersumber dari rasa cinta dan kasih sayang tidak akan dapat menerima jika suaminya selingkuh dan menjalani hubungan gelap dengan Wanita Idaman Lain (WIL),” tandas Makarim. (Nur Rosihin Ana/mh)
 

Kamis, 04 Agustus 2011

Ahli Pemohon: Pasal 155 ayat (2) UU Ketenagakerjaan Multitafsir

Anna Erliana, ahli dari Pemohon sedang memberikan keterangan di hadapan Majelis Hakim terkait Uji Materi Undang-Undang Ketenagakerjaan, pada Kamis (4/8) di Ruang Sidang Pleno MK.
Jakarta, MKOnline – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materi UU Ketenagakerjaan, Kamis (4/8). Sidang kali ini beragendakan mendengarkan keterangan ahli dari Pemohon. Dua ahli diajukan oleh Pemohon, yaitu Anna Erliana dan Surya Chandra. Keduanya merupakan dosen di Fakultas Hukum UI dan Atmajaya.

Anna Erliana mendapat kesempatan pertama menyampaikan keterangannya terkait permohonan Pemohon. Pertama, Anna menyampaikan bahwa mengenai penafsiran gramatikal atas frasa ”belum ditetapkan” pada Pasal 155 ayat (2) memiliki tiga penafsiran yang berkembang di lapangan. ”Pertama, upah proses hanya 6 bulan. Kedua, upah proses hanya sampai tahap pengadilan hubungan industrial tahap pertama. Ketiga, upah proses sampai putusan hukum berkekuatan hukum tetap,” jelas Anna mengenai penafsiran frasa “belum ditetapkan”.

Pasal 155 ayat (2) sendiri berbunyi, ”Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya”.

Mengenai upah proses yang ditafsirkan hanya diberikan selama 6 bulan, Anna menjelaskan dalam prakteknya berkembang lebih luas lagi. Bagi para pekerja yang di-PHK dan kemudian mencari keadilan menurut Anna dapat menggunakan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 150 Tahun 2000 sebagai dasar hukum. Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 150/2000 itu berbunyi, “Pembayaran upah proses atau upah yang  biasa diterima dan upah skorsing maksimal 6 bulan”.

Selanjutnya, Anna menyampaikan bahwa berdasarkan pencermatannya terhadap Pasal 155 ayat (2) dan (3) UU Ketenagakerjaan secara jelas diatur mengenai kewajiban pengusaha untuk membayar upah pekerja selama proses perselisihan PHK berlangsung.

Namun, bila penafsiran secara gramatikal seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya masih tidak jelas maka dapat dilakukan penafsiran secara sistematis, yaitu menafsirkan Pasal 155 ayat (2) dengan ketentuan hukum lainnya. ”Pasal 155 tentang Upah Proses selama ada sengketa perselisihan hubungan industrial khususnya pemutusan hubungan kerja dapat dikaitkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Pasal 56 yang menyatakan Pengadilan Hubungan Industrial memeriksa dan memutus pada butir (c) di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja.” papar Anna.

Ahli Pemohon lainnya, Surya Chandra mendapat kesempatan kedua untuk menyampaikan keterangannya terkait permohonan uji materi Pasal 155 ayat (2) UU Ketenagakerjaan. Surya mengatakan selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja buruh harus melaksanakan segala kewajibannya. Artinya, pekerja harus tetap bekerja dan pengusaha harus tetap membayar upah atau hak-hak yang biasa diterima oleh pekerja.
Lebih lanjut Surya mengatakan frasa ”belum ditetapkan” itu mengacu kepada Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industri (PPHI). Namun, dalam prakteknya frasa itu bisa ditafsirkan bermacam-macam. Karena itu Surya setuju agar frasa ”belum ditetapkan” dipertegas lagi sehingga tidak menimbulkan kerancuan seperti yang selama ini terjadi.

”Dengan memperjelas tafsiran itu saya kira akan membantu hakim-hakim di pengadilan hubungan industrial khususnya, sehingga punya pilihan yang tegas. Juga, saya mendukung juga yang tadi dikatakan oleh Prof. Anna bahwa pasal ini penting untuk diberi kepastian hukum, khususnya bagi pihak pekerja. Yang memang secara sosilogis lemah walaupun secara hukum sama kedudukannya,” tutup Surya. (Yusti Nurul Agustin/mh)

Rabu, 27 Juli 2011

Halimah Agustina Kamil Ajukan Bukti Uji Materi UU Perkawinan

Chairunnisa Jafizham Kuasa Hukum dari Halimah Agustina Kamil, mantan istri Bambang Trihatmodjo, saat membacakan permohonan pada sidang uji materi Undang-Undang (UU) nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan), Rabu (27/7) di Ruang Sidang Panel Gedung MK.
Jakarta, MKOnline – Permohonan Halimah Agustina Kamil, mantan istri Bambang Trihatmodjo, kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (27/7/2011). Persidangan untuk perkara Nomor 38/PUU-IX/2011 mengenai pengujian konstitusionalitas materi UU 1/1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) ini dilaksanakan oleh sebuah Panel Hakim yang diketuai Ahmad Fadlil Sumadi, didampingi Achmad Sodiki dan Harjono.


Halimah yang diwakili kuasa hukumnya, Chairunnisa Jafizham menyatakan, setelah melakukan telaah lebih dalam mengenai proses persidangan pendahuluan uji UU Perkawinan, kliennya memutuskan tidak mengajukan perbaikan permohonan. “Majelis Hakim Yang Mulia, setelah kami melakukan telaah pada sidang pertama, kami beranggapan bahwa perbaikan, kami tidak lakukan,” kata Chairunnisa dalam persidangan dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan.


Selanjutnya, Halimah melalui Chairunnisa memperkuat dalil-dalil permohonan dengan mengajukan bukti P-1 sampai P-8. Bukti tersebut berisi: Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Putusan Kasasi Mahkamah Agung, Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung, Surat nikah, KTP dan Kartu Keluarga, UU 1/1974 tentang Perkawinan, dan terakhir surat pindah rumah. “Dengan demikian untuk bukti-bukti itu dianggap telah disahkan pada hari ini,” kata Ahmad Fadlil Sumadi seraya mengetokkan palu satu kali pertanda bukti disahkan.


Selain bukti, Halimah juga mengajukan enam orang ahli untuk didengar keterangannya pada persidangan berikutnya. Chairunnisa menyebut seorang ahli yang akan dihadirkan yaitu Shinta Nuriah Abdurrahman Wahid.


Untuk diketahui, pada Jum’at (8/7/2011) lalu Mahkamah membuka persidangan pendahuluan uji materi UU Perkawinan yang diajukan oleh Halimah Agustina Kamil. Halimah mengujikan ketentuan mengenai syarat perceraian yang termaktub dalam Pasal 39 Ayat (2) huruf f UU  Perkawinan sepanjang frase “antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri” bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28H Ayat (2) UUD 45.


Menurut Halimah melalui kuasanya, Chairunnisa, istri seringkali menjadi pihak yang dikorbankan dalam pertengkaran dan perselisihan. Padahal, faktanya perselisihan dan pertengkaran paling sering disebabkan ulah suami, misalnya suami mempunyai hubungan gelap dengan wanita lain. (Annisa Anindya/Nur Rosihin Ana/mh)
 

Pemerintah: Kewajiban Pekerja-Pengusaha Selama Proses Perselisihan untuk Lindungi Pekerja


Perwakilan dari Pemerintah, Mualimin Abdi (Kemenkumham) saat membacakan jawaban Pemerintah atas dalil-dalil permohonan Pemohon pada sidang uji materi Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Rabu (27/7) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.
Jakarta, MKOnline – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Uji Materi Pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang beragendakan mendengar keterangan Pemerintah, Rabu (27/7). Sidang pleno perkara nomor 37/PUU-IX/2011 ini diketuai Hakim Konstitusi Achmad Sodiki.
 
Hadir dalam persidangan kali ini wakil dari pemerintah, yaitu Mualimin Abdi (Kemenkumham), Heni Susila Wardaya (Kemenkumham), Budiman (Kemenakertrans), Hutri (Kemenakertrans), Agung (Kemenakertrans), dan Liana (Kemenkumham).
 
Dalam kesempatan itu, Mualimin Abdi menjadi juru bicara pihak pemerintah. Ia membacakan jawaban pemerintah atas permohonan Pemohon yang menganggap pasal  yang diujikan mengandung arti atau makna bahwa pekerja berhak atas upah dan hak-hak lainnya sampai jatuhnya putusan yang berkekuatan hukum tetap dan tetap dalam proses perselisihan hubungan industrial. 

Selain itu Pemohon juga menganggap tidak adanya tafsir yang tegas terhadap ketentuan Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan, utamanya terhadap frasa ”belum ditetapkan”. Menurut pemerintah, justru Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjadi salah satu bentuk perlindungan kepada tenaga kerja. ”Jadi menurut hemat Pemerintah, justru ketentuan Pasal 155 ayat (2) itu memberikan suatu kepastian. Jadi normanya sebetulnya memberikan kepastian agar pengusaha itu tidak ingkar dan tetap memenuhi kewajibannya untuk memberikan hak-hak kepada pekerja selama dalam proses perselisihan di dalam pengadilan hubungan industrial itu sendiri,” ujar Mualimin.
 
Lebih lanjut, Mualimin menjelaskan bahwa dalam pelaksaaan hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja seringkali timbul perselisihan yang dapat menyebabkan adanya pemutusan hubungan kerja. Sebelum memutuskan hubungan kerja, pengusaha bersangkutan diwajibkan untuk merundingkan maksud pemutusan hubungan kerja tersebut dengan serikat pekerja, serikat buruh atau langsung dengan pekerja yang bersangkutan apabila tidak menjadi anggota serikat pekerja atau serikat buruh.
 
Selanjutnya, masih seperti yang dibacakan Mualimin, dalam perundingan penyelesaian pemutusan hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja apabila tidak mencapai kesepakatan, pengusaha hanya dapat melakukan pemutusan hubungan kerja dengan pekerja setelah memperoleh penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
 
”Proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial, sebagaimana ditentukan dalamUndang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan Industrial, dimulai dari perundingan bipartit, mediasi, konsiliasi, atau melalui arbiter. Dan apabila kedua belah pihak tidak dapat menerima hasil mediasi, konsiliasi, maupun arbiter, maka para pihak atau yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Hubungan Industrial, bahkan dapat melakukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung,” jelas Mualimin mengenai mekanisme penyelesaian pemutusan hubungan kerja.
 
Mualimin juga menegaskan bahwa selama proses penyelesaian persilisihan pemutusan hubungan kerja, baik pengusaha maupun pekerja atau buruh, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan, maka pekerja  atau pengusaha tetap harus melaksanakan segala kewajibannya dan tetap memperoleh hak-haknya. Meski begitu, Mualimin mengakui, dalam praktiknya kerap ditemui pemutusan hubungan kerja yang sebelum ada putusan berkekuatan hukum tetap, para pengusaha “nakal” sudah tidak melakukan kewajibannya lagi.
 
“Menurut pemerintah hal demikian adalah ada di dalam lapangan atau tatanan implementasi yang semestinya itu bisa diinformasikan kepada Kementerian Tenaga Kerja karena Kementerian Tenaga Kerja juga memiliki apa yang disebut dengan PPNS untuk melakukan penilaian, untuk melakukan penelitian, mengapa pengusaha tidak melakukan atau tidak melaksanakan kewajiban-kewajibannya kepada pekerja itu sendiri, Yang Mulia,” tandas Mualimin. (Yusti Nurul Agustin/mh)

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=5617

Selasa, 26 Juli 2011

Uji UU Kehutanan: Pemerintah Anggap Permohonan Kabur

Kuasa Hukum Pemohon, Muhammad Ali Dharma Utama saat mendengarkan keterangan dari Pemerintah dalam sidang pengujian Pasal 4 Ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan), Selasa (26/7) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.
Jakarta, MKOnline - Permohonan tidak jelas dan kabur (obscuur libel) karena Pemohon tidak menguraikan dengan jelas kedudukan hukum pemohon. Hal ini disampaikan oleh Pemerintah yang diwakili oleh Gunardo Agung Prasetyo dalam jawaban terhadap permohonan pengujian Pasal 4 Ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan), Maskur Anang bin Kemas Anang Muhamad mengajukan pengujian terhadap UU tersebut. Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang mendengarkan keterangan Pemerintah dan DPR yang teregistrasi dengan Nomor 34/PUU-IX/2011 ini pada Selasa (26/7).
“Dalam uraian permohonannnya, Pemohon tidak menjelaskan kedudukan hukumnya sebagai perseorangan atau WN atau sebagai badan hukum privat mengingat Pemohon mendalilkan sebagai pemilik PT Ricky Mas Jaya. Pemohon tidak menjelaskan kedudukannya dan juga tidak menjelaskan kedudukannya dalam perusahaan tersebut. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka kedudukan pemohon dianggap kabur dan tidak memenuhi kualifikasi sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK,” ujar Gunardo.
Selanjutnya, Gunardo memaparkan bahwa konstruksi pelanggaran hak konstitusional yang digambarkan Pemohon tidak tegas terurai. Pemohon mendalilkan bahwa timbulnya kerugian diakibatkan adanya peralihan fungsi lahan perkebunan milik Pemohon oleh Pemerintah melalui Keputusan Menteri Kehutanan. Jika hal tersebut benar, lanjut Gunardo, keputusan a quo berada pada domain kewenangan pejabat tata usaha negara, sehingga tidak terdapat hubungan sebab akibat antara kerugian yang dialami oleh Pemohon dengan ketentuan yang dimohonkan untuk diuji. “Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, mestinya upaya hukum yang dilakukan oleh Pemohon adalah melalui lembaga peradilan lain, yaitu PTUN atau Pengadilan Negeri,” jelasnya.
Menurut Gunardo, khusus terhadap kewenangan dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b undang-undang tersebut dimaksudkan untuk menampung adanya dinamika pembangunan, baik di luar sektor kehutanan maupun di dalam sektor kehutanan sendiri. Di sisi lain, tidak menutup kemungkinan adanya penetapan wilayah tertentu menjadi kawasan hutan. Pengaturan lebih lanjut mengenai penetapan wilayah tertentu menjadi kawasan hutan atau kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan. “Ketentuan Pasal 4 ayat (3) undang-undang a quo menentukan bahwa penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional,” katanya.
Di samping itu penguasaan hutan oleh negara, lanjut Gunardo, Pemerintah juga memperhatikan adanya hak-hak atas tanah yang ada. Terhadap dalil adanya kerugian Pemohon yang diderita akibat ditahan berdasarkan putusan dari badan peradilan umum, menurut Pemerintah bukan merupakan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 UU MK, tetapi terkait dengan perbuatan pidana yang dilakukan oleh Pemohon, yaitu dengan sengaja menggerakkan orang lain untuk melakukan perusakkan barang milik orang lain. “Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah mohon kepada Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dapat memberi putusan menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum standing atau legal standing yang jelas.  Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima niet ontvankelijk verklaard,” paparnya.
Majelis Hakim yang diketuai oleh Ketua MK Moh Mahfud MD dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya mengesahkan 40 lembar alat bukti. “Kalau begitu, sidang berikutnya itu akan dibuka kalau Pemohon mau mengajukan saksi atau ahli. Jadi, Bapak tanggal 2 paling lambat itu sudah mendaftarkan kalau menghadirkan ahli. Kalau tanggal 2 tidak mendaftarkan ahli atau saksi, berarti menganggap pemeriksaan ini cukup, sehingga jadwal sidang berikutnya adalah pengucapan putusan. Dan untuk itu kalau memang pengucapan putusan, maka tentu baik Pemerintah maupun Pemohon, paling lambat tanggal 9 menyampaikan kesimpulan dari keseluruhan jalannya sidang ini,” urai Mahfud.
Melalui kuasa hukumnya, Muhammad Ali Dharma Utama, Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar akibat berlakunya Pasal 4 Ayat (2) huruf  b UU Kehutanan. Menurut Ali Dharma, pasal a quo bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28C Ayat (2), 28D Ayat (3), serta 28H Ayat (4) UUD 1945. Pasal 4 Ayat 92) UU Kehutanan menyatakan “(2) Penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi wewenang kepada pemerintah untuk:  (b) menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan”. Pemohon beralasan pasal tersebut memberikan keleluasaan kepada Menteri Kehutanan untuk menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau bukan kawasan hutan sebagai kawasan hutan yang demikian telah memberi peluang kepada Menteri Kehutanan untuk melanggar hukum dengan cara memanipulasi serta merekayasa tanah menjadi alih fungsi yang berada di kawasan luar hutan yang belum menjadi kawasan hutan. Seperti yang terjadi pada tanah perkebunan Pemohon yang berada pada kawasan budidaya pertanian oleh Menteri Kehutanan sudah dialihfungsikan sebagai hutan tanaman industri. (Lulu Anjarsari/mh)
 

Salim Alkatiri Uji Aturan Putusan MK Final dan Mengikat

Pemohon Prinsipal, Salim Alkatiri saat membacakan perbaikan Permohonannya pada sidang uji materi Pasal 10 ayat 1 huruf a, Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Selasa (26/7) di Ruang Sidang Panel Gedung MK.
Jakarta, MKOnline – Uji konstitusional materi UU 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (26/7/2011). Sidang dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan ini dilaksanakan oleh Panel Hakim yang terdiri, Ahmad Fadlil Sumadi sebagai Ketua Panel, didampingi Achmad Sodiki dan Anwar Usman. Persidangan untuk perkara Nomor 36/PUU-IX/2011 ini dimohonkan oleh Salim Alkatiri. Materi yang diujikan Salim yaitu Pasal 10 ayat 1 huruf a, UU 24/2003 yang mengatur kewenangan MK untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.

Di hadapan Panel Hakim Konstitusi, Salim memperbaiki kedudukan hukum (legal standing) Pemohon. “Hal-hal yang paling penting adalah pada poin 3, dari kedudukan hukum legal standing,” kata Salim.

Salim merasa dirugikan dengan keputusan MK Nomor 224/PHPU.D VIII/2010 mengenai Perselisihan Hasil Pemilukada Kab. Buru Selatan yang diucapkan tanggal 31 Desember 2010 lalu. Dalam amar putusan Nomor 224/PHPU.D VIII/2010, Mahkamah menyatakan permohonan pasangan Salim Alkatiri-La Ode Badwi  tidak dapat diterima.

Putusan MK tersebut bersifat final dan mengikat. Hal inilah yang menjadi halangan bagi Salim untuk melakukan banding, sehingga Salim tidak bisa lolos sebagai calon peserta Pemilukada Buru Selatan karena pernah menjadi narapidana dengan vonis 2 tahun penjara. Salim mendalilkan MK merubah putusannya sendiri, yaitu Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009, sehingga mengakibatkan dia tidak bisa mengikuti Pemilukada Buru Selatan.

Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009, tanggal 24 Maret 2009 telah menentukan syarat mengenai ketentuan Pasal 58 huruf f UU 12/2008 mengenai persyaratan sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pasal 58 huruf f UU 12/2008 poin 3 menyatakan, “Kejujuran atau keterbukaan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan Terpidana”.

Salim mengaku sudah mengungkap jati dirinya sebagai mantan narapidana. “Kami telah mengemukakan secara terbuka pada publik di koran Suara Maluku di Ambon, Provinsi Maluku,” terang Salim.

Menurutnya, MK telah melanggar putusan Nomor 4/PUU-VII/2009. “Mahkamah Konstitusi melanggar putusan yang dia buat sendiri,“ lanjutnya. Padahal, tambah Salim, putusan Pengadilan Negeri Kelas I Ambon memperbolehkan pasangan Salim Alkatiri-La Ode Badwi mengikuti Pemilukada Buru Selatan Tahun 2010. (Nur Rosihin Ana/mh)
 

Rabu, 20 Juli 2011

Ahli Pemohon: Piagam ASEAN Menggusur Daulat Rakyat

Sri Edy Swasono saat menjadi Ahli dari Pemohon pada Sidang Pengujian Undang-Undang (UU) No. 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of The Association of Southeast Asian Nation (Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara0 [Pasal 1 Ayat (5) dan Pasal 2 Ayat (2) huruf n], Rabu (20/7) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.
Jakarta, MKOnline - Keberadaan Piagam Negara-Negara Anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), yang disahkan oleh Undang-Undang No. 38/2008, telah mengeliminasi kedaulatan rakyat sebagaimana diamanahkan oleh Konstitusi. Dengan kata lain, ketentuan dalam Piagam tersebut, khususnya Pasal 1 Ayat (5) dan Pasal 2 Ayat (2) huruf n, telah ‘melikuidasi’ keberadaan negara. Demikian dinyatakan oleh Sri Edy Swasono, ketika menjadi ahli dalam sidang perkara nomor 33/PUU-IX/2011, Rabu (20/7) di ruang sidang Pleno MK. “Daulat pasar telah menggusur daulat rakyat,” ungkapnya.

Menurutnya, pendapat yang menyatakan free trade (perdagangan bebas) akan mensejahterakan rakyat, hanyalah sebuah ilusi. Tidak hanya itu, kebijakan pasar tunggal ataupun pasar bebas di ASEAN, menurutnya, hanya akan meminggirkan orang miskin, bukan menghilangkan kemiskinan. “Yang terjadi adalah proses pemiskinan dan pelumpuhan,” tegasnya. Ia menekankan bahwa perjanjian internasional seharusnya selaras dengan Undang-Undang Dasar 1945. Terutama terkait ekonomi, haruslah sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945.

Pada kesempatan itu, Pemohon tidak hanya menghadirkan Edy Swasono sebagai ahli. Sebenarnya, menurut Pemohon, ada tujuh ahli dan tiga saksi yang akan dihadirkan oleh pihaknya. Namun, yang dapat hadir pada persidangan kali ini hanyalah empat ahli dan dua saksi. Untuk ahli, selain Edy, hadir Syamsul Hadi, Khudori dan Ichsanudin Noorsy. Sedangkan saksi, hadir Nurul Hidayati dan Surati. Keduanya merupakan pembuat dan pedagang batik yang dianggap merasakan dampak negatif dari diberlakukannya pasar bebas.

Dalam keterangannya, Syamsul Hadi, juga sependapat dengan Edy. Menurutnya, kesepakatan negara-negara ASEAN untuk membangun pasar tunggal yang terintegrasi, hanya menguntungkan negara dengan ekonomi yang sudah mapan. Adanya pasar dan basis produksi tunggal di kawasan ASEAN mengakibatkan kompetisi dan persaingan yang tidak seimbang.

Bahkan, menurut dia, kesepakatan serta perjanjian yang tertuang dalam Piagam ASEAN terlalu normatif dan mengawang-awang. “Tidak mewakili kepentingan masyarakat akar rumput di ASEAN,” ujarnya saat menjelaskan kontribusi Piagam ASEAN dalam aspek sosial dan budaya. Faktanya, ASEAN sulit melakukan tindakan konkrit dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi dibeberapa negara anggota ASEAN. “Seperti kudeta di Thailand dan pelanggaran HAM di Myanmar,” ia memberi contoh.

Senada, Ichsanuddin Noorsy, berpendapat, kesepakatan membangun pasar bebas dan pasar tunggal di ASEAN merupakan seting ekonomi global yang menganut ideologi neoliberal. Dan, ideologi ini, dapat dikatakan bertentangan dengan semangat ekonomi pro rakyat yang diamanahkan oleh Konstitusi.

Dalam persidangan, ia tak lupa memperkuat argumentasinya dengan menyitir pendapat para ekonom pemenang nobel serta sajian data dari beberapa penelitian. Ia bahkan sempat menantang perwakilan Pemerintah yang hadir saat itu untuk membantah data dan pendapatnya. “Rontokkan data ini,” pintanya. Akhirnya, ia menutup paparannya dengan meminta kepada Majelis Hakim untuk mempertmbangkan masak-masak sebelum menjatuhkan putusan. Ia berpesan agar MK tidak hanya menguji dengan menggunakan batu uji pasal-pasal dalam UUD 1945 saja, melainkan juga Pembukaan UUD 1945.

Sedangkan Khudori, dalam paparannya, lebih menyoroti dampak perdagangan bebas di ASEAN terhadap nasib pertanian di Indonesia. Ia memberi judul keterangan ahlinya, “Dampak Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN terhadap Pertanian di Indonesia”. Ia pun berkesimpulan, UU 38/2008 harus dibatalkan karena bertentangan dengan UUD 1945.

Posisi Sulit

Pada kesempatan yang sama, hadir pula perwakilan Pemerintah. Mereka terdiri dari tiga kementerian, yakni Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Luar Negeri. Keterangan Pemerintah disampaikan oleh Linggawaty Hakim.

Linggawaty, pada intinya, menyampaikan, pengesahan Piagam ASEAN melalui UU 38/2008 tidak secara otomatis menjadikan perjanjian internasional tersebut sebagai norma hukum nasional. “Tidak ada ketentuan hukum di Indonesia termasuk Undang-Undang Dasar yang secara tegas menyatakan bahwa pengesahan perjanjian internasional menjadi Undang-Undang mentransformasikan ketentuan-ketentuan hukum internasional sebagai norma hukum nasional,” tegasnya.

Bahkan, menurutnya, berlaku mengikatnya Piagam ASEAN tidak tergantung pada UU 38/2008. “(UU 38/2008) hanyalah landasan hukum Pemerintah Indonesia untuk mengikatkan diri terhadap Piagam ASEAN,” katanya. Dampak jika MK mengabulkan permohonan Pemohon, ujar Linggawaty, akan mengakibatkan Indonesia berada dalam posisi sulit. Ia menjelaskan, berdasarkan hukum internasional, ketentuan nasional tidak dapat digunakan untuk membenarkan sebuah negara yang gagal dalam melaksanakan sebuah perjanjian internasional. “Indonseia akan tetap memiliki kewajiban hukum internasional dan terikat pada ketentuan-ketentuan Piagam ASEAN tersebut,” jelasnya. (Dodi/mh). 





Sri Edy Swasono saat menjadi Ahli dari Pemohon pada Sidang Pengujian Undang-Undang (UU) No. 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of The Association of Southeast Asian Nation (Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara0 [Pasal 1 Ayat (5) dan Pasal 2 Ayat (2) huruf n], Rabu (20/7) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.
Jakarta, MKOnline - Keberadaan Piagam Negara-Negara Anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), yang disahkan oleh Undang-Undang No. 38/2008, telah mengeliminasi kedaulatan rakyat sebagaimana diamanahkan oleh Konstitusi. Dengan kata lain, ketentuan dalam Piagam tersebut, khususnya Pasal 1 Ayat (5) dan Pasal 2 Ayat (2) huruf n, telah ‘melikuidasi’ keberadaan negara. Demikian dinyatakan oleh Sri Edy Swasono, ketika menjadi ahli dalam sidang perkara nomor 33/PUU-IX/2011, Rabu (20/7) di ruang sidang Pleno MK. “Daulat pasar telah menggusur daulat rakyat,” ungkapnya.

Menurutnya, pendapat yang menyatakan free trade (perdagangan bebas) akan mensejahterakan rakyat, hanyalah sebuah ilusi. Tidak hanya itu, kebijakan pasar tunggal ataupun pasar bebas di ASEAN, menurutnya, hanya akan meminggirkan orang miskin, bukan menghilangkan kemiskinan. “Yang terjadi adalah proses pemiskinan dan pelumpuhan,” tegasnya. Ia menekankan bahwa perjanjian internasional seharusnya selaras dengan Undang-Undang Dasar 1945. Terutama terkait ekonomi, haruslah sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945.

Pada kesempatan itu, Pemohon tidak hanya menghadirkan Edy Swasono sebagai ahli. Sebenarnya, menurut Pemohon, ada tujuh ahli dan tiga saksi yang akan dihadirkan oleh pihaknya. Namun, yang dapat hadir pada persidangan kali ini hanyalah empat ahli dan dua saksi. Untuk ahli, selain Edy, hadir Syamsul Hadi, Khudori dan Ichsanudin Noorsy. Sedangkan saksi, hadir Nurul Hidayati dan Surati. Keduanya merupakan pembuat dan pedagang batik yang dianggap merasakan dampak negatif dari diberlakukannya pasar bebas.

Dalam keterangannya, Syamsul Hadi, juga sependapat dengan Edy. Menurutnya, kesepakatan negara-negara ASEAN untuk membangun pasar tunggal yang terintegrasi, hanya menguntungkan negara dengan ekonomi yang sudah mapan. Adanya pasar dan basis produksi tunggal di kawasan ASEAN mengakibatkan kompetisi dan persaingan yang tidak seimbang.

Bahkan, menurut dia, kesepakatan serta perjanjian yang tertuang dalam Piagam ASEAN terlalu normatif dan mengawang-awang. “Tidak mewakili kepentingan masyarakat akar rumput di ASEAN,” ujarnya saat menjelaskan kontribusi Piagam ASEAN dalam aspek sosial dan budaya. Faktanya, ASEAN sulit melakukan tindakan konkrit dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi dibeberapa negara anggota ASEAN. “Seperti kudeta di Thailand dan pelanggaran HAM di Myanmar,” ia memberi contoh.

Senada, Ichsanuddin Noorsy, berpendapat, kesepakatan membangun pasar bebas dan pasar tunggal di ASEAN merupakan seting ekonomi global yang menganut ideologi neoliberal. Dan, ideologi ini, dapat dikatakan bertentangan dengan semangat ekonomi pro rakyat yang diamanahkan oleh Konstitusi.

Dalam persidangan, ia tak lupa memperkuat argumentasinya dengan menyitir pendapat para ekonom pemenang nobel serta sajian data dari beberapa penelitian. Ia bahkan sempat menantang perwakilan Pemerintah yang hadir saat itu untuk membantah data dan pendapatnya. “Rontokkan data ini,” pintanya. Akhirnya, ia menutup paparannya dengan meminta kepada Majelis Hakim untuk mempertmbangkan masak-masak sebelum menjatuhkan putusan. Ia berpesan agar MK tidak hanya menguji dengan menggunakan batu uji pasal-pasal dalam UUD 1945 saja, melainkan juga Pembukaan UUD 1945.

Sedangkan Khudori, dalam paparannya, lebih menyoroti dampak perdagangan bebas di ASEAN terhadap nasib pertanian di Indonesia. Ia memberi judul keterangan ahlinya, “Dampak Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN terhadap Pertanian di Indonesia”. Ia pun berkesimpulan, UU 38/2008 harus dibatalkan karena bertentangan dengan UUD 1945.

Posisi Sulit

Pada kesempatan yang sama, hadir pula perwakilan Pemerintah. Mereka terdiri dari tiga kementerian, yakni Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Luar Negeri. Keterangan Pemerintah disampaikan oleh Linggawaty Hakim.

Linggawaty, pada intinya, menyampaikan, pengesahan Piagam ASEAN melalui UU 38/2008 tidak secara otomatis menjadikan perjanjian internasional tersebut sebagai norma hukum nasional. “Tidak ada ketentuan hukum di Indonesia termasuk Undang-Undang Dasar yang secara tegas menyatakan bahwa pengesahan perjanjian internasional menjadi Undang-Undang mentransformasikan ketentuan-ketentuan hukum internasional sebagai norma hukum nasional,” tegasnya.

Bahkan, menurutnya, berlaku mengikatnya Piagam ASEAN tidak tergantung pada UU 38/2008. “(UU 38/2008) hanyalah landasan hukum Pemerintah Indonesia untuk mengikatkan diri terhadap Piagam ASEAN,” katanya. Dampak jika MK mengabulkan permohonan Pemohon, ujar Linggawaty, akan mengakibatkan Indonesia berada dalam posisi sulit. Ia menjelaskan, berdasarkan hukum internasional, ketentuan nasional tidak dapat digunakan untuk membenarkan sebuah negara yang gagal dalam melaksanakan sebuah perjanjian internasional. “Indonseia akan tetap memiliki kewajiban hukum internasional dan terikat pada ketentuan-ketentuan Piagam ASEAN tersebut,” jelasnya. (Dodi/mh)

sumber:

MK Tolak Seluruh Permohonan Susno Duadji

Selasa, 19 Juli 2011

Ahli Pemohon: UU Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan Langgar HAM

Majelis Hakim Konstitusi sedang mendengarkan keterangan dari Komisioner Komnas HAM Kabul Supriyadi sebagai Ahli dari Pemohon dalam Sidang Pengujian Undang-Undang (PUU) No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, Selasa (19/7), di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.
Jakarta, MKOnline - Pengujian Undang-Undang (PUU) No. 20 Tahun 2009 tentang  Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan kembali digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (19/7), di Ruang Sidang Pleno MK.  Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 67/PUU-VIII/2010 ini dimohonkan oleh Ray Rangkuti, Muhammad Chozin Amirullah. Asep Wahyuwijaya, AH. Wakil Kamal, Edwin Partogi, Abdullah, Arif Susanto, Dani Setiawan, Embay Supriyanto, Abdul Rohman dan Herman Saputra.

Sidang yang beragendakan mendengarkan keterangan Ahli Pemohon ini, menghadirkan Komisioner Komnas HAM Kabul Supriyadi sebagai Ahli Pemohon. Dalam keterangannya, Kabul mengungkapkan bahwa ketentuan dalam Pasal 1 angka 4, Pasal 16 ayat (1) huruf b, Pasal 25, dan Pasal 26 UU 20/2009 disharmonisasi dengan hukum mengenai hak asasi manusia. “Mengacu pada undang-undang, seseorang yang melakukan pelanggaran HAM dan aturan normatif masih dapat menerima tanda jasa dan bintang kehormatan,” jelasnya.

Selain itu, Kabul mengungkapkan perspektif HAM dalam UUD 1945 yang tercantum pada Pasal 28J, harus tertuang secara ketat bagi mereka yang berhak menerima gelar tanda jasa maupun bintang jasa. “Relasi penguasa dengan rakyat yang otoriter kepada warga negaranya dan juga penguasa yang menyalahgunakan kewenangan seharusnya dibatasi hak dan kewenangannya untuk menerima gelar tanda jasa maupun bintang kehormatan,” urainya.

Kemudian, Kabul merasa keberadaan militer maupun akademisi di dewan gelar belum tentu menjamin orang-orang yang terpilih menerima gelar tanda  jasa maupun bintang kehormatan. “Keberadaan kalangan militer maupun akademisi dalam dewan gelar belum tentu menjamin kualitas orang-orang yang terpilih untuk mendapatkan gelar tanda jasa maupun bintang kehormatan,” katanya.

Dalam sidang sebelumnya, melalui kuasa hukumnya, Gatot Goei mengungkapkan bahwa Pemohon merasa hak konstitusional terlanggar dengan berlakunya Pasal 1 angka 4, Pasal 25 dan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar Tanda Jasa, Tanda Kehormatan. Terutama hak konstitusional yang diberikan oleh pasal 28C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, berupa jaminan untuk memajukan diri dalam memperjuangkan kepentingan kolektif untuk membangun kemajuan masyarakat bangsa dan negara. (Lulu Anjarsari/mh)

Sumber:
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=5595

Senin, 18 Juli 2011

Pasangan Calon Gubernur Sulut Uji Materi UU Pemda Ditolak MK

Jakarta, MKOnline - Permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004  tentang Pemerintahan Daerah yang diajukan oleh pasangan calon Gubernur Sulut Linneke Syennie Watoelangkow-Jimmy Stefanus Wewengkang ditolak seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan dengan Nomor 11/PUU-IX/2011 dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi oleh tujuh hakim konstitusi pada Senin (18/7), di Ruang Sidang Pleno MK.


“Menyatakan, dalam Provisi, menolak permohonan provisi  Pemohon. Dalam Pokok Permohonan, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya," ucap Mahfud.


Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, Mahkamah menolak permohonan provisi Pemohon meminta Mahkamah untuk menerbitkan putusan sela yang memerintahkan Menteri Dalam Negeri untuk menghentikan atau setidak-tidaknya menunda penetapan calon Wakil Kepala Daerah Tomohon sebagai Kepala Daerah Tomohon. Mahkamah beralasan kewenangan menghentikan atau setidak-tidaknya menunda penetapan calon wakil Kepala Daerah Tomohon sebagai Kepala Daerah Tomohon bukan merupakan kewenangan MK.


“Bahwa selain itu, permohonan provisi yang diajukan Pemohon tidak terkait langsung dengan pokok permohonan  a quo. Pertama, dalam Pengujian Undang-Undang  (judicial review),  putusan Mahkamah hanya menguji norma abstrak, tidak mengadili kasus konkret seperti menghentikan atau menunda penetapan calon Wakil Kepala Daerah Tomohon sebagai Kepala Daerah Tomohon. Oleh karena itu, Mahkamah tidak dapat memutus kasus konkret yang tertuju hanya terhadap satu kasus seperti dalam permohonan  a quo karena kalau hal itu dilakukan berarti bertentangan dengan sifat erga omnes tersebut. Ketiga, putusan Mahkamah bersifat prospektif sesuai dengan ketentuan Pasal 58 UU MK serta Pasal 38 dan Pasal 39 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, sehingga amar putusan Mahkamah dalam perkara a quo tidak berlaku surut terhadap perkara konkret yang sudah berlangsung. Berdasarkan alasan-alasan tersebut  di atas, Mahkamah menolak permohonan provisi yang dimohonkan Pemohon,” papar Hamdan.


Sedangkan mengenai pokok permohonan, Hakim Konstitusi Muhammad Alim menguraikan bahwa mengenai Pasal 108 ayat (4) UU 32/2004 yang menentukan bahwa kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengusulkan dua calon wakil kepala daerah kepada DPRD untuk dipilih, menurut Mahkamah karena calon wakil kepala daerah terpilih kemudian dilantik menjadi kepala daerah sesuai ketentuan Pasal 108 ayat (3) UU 32/2004, adalah pihak yang dipilih  oleh rakyat, maka ia yang mengusulkan dua calon  wakilnya yang sejalan dengan rencana pembangunan daerah yang telah dibuatnya. Pengajuan dua calon wakil kepala daerah tersebut dimaksudkan untuk memberi alternatif bagi DPRD untuk memilih salah satu dari calon yang diusulkan tersebut. 


“Pasal 108 ayat  (5) UU 32/2004 yang menentukan bahwa dalam hal pasangan calon terpilih berhalangan tetap, partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya meraih suara terbanyak pertama dan kedua mengusulkan pasangan calon kepada DPRD untuk dipilih menjadi kepala daerah dan wakil  kepala daerah selambat-lambatnya dalam waktu 60 (enam puluh) hari. Pengajuan dua pasangan calon untuk dipilih oleh DPRD yang bersangkutan menurut Mahkamah juga adalah cara yang demokratis, berbeda dengan permohonan Pemohon yang menganggap Pasal 108 ayat (5)  UU 32/2004 juga tidak konstitusional,” ujar Alim.


Alim menjelaskan bahwa Mahkamah dalam Putusan Nomor  22/PUU-VII/2009, tanggal 17 November 2009 mempertimbangkan perbedaan sistem pemilihan kepala daerah baik tidak langsung maupun langsung tidaklah berarti bahwa sistem Pemilihan Kepala Daerah  tidak langsung, tidak atau kurang demokratis dibandingkan dengan sistem langsung, begitu pula sebaliknya. Keduanya merupakan kebijakan negara tentang sistem pemilihan kepala daerah yang sama demokratisnya sesuai dengan  Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. 


“Selain itu, karena berdasarkan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 Pemilihan Umum  diselenggarakan setiap lima tahun sekali, dan berdasarkan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Pemilukada termasuk rezim pemilihan umum, maka ketentuan Pasal 108 ayat (4) dan ayat (5) UU 32/2004 yang menetapkan pemilihan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah oleh DPRD, dengan demokrasi perwakilan, telah memenuhi  ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yakni Pemilu hanya sekali setiap lima tahun, sekaligus menyelenggarakan Pemilukada secara demokratis memenuhi ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat Pasal 108 ayat (3), ayat  (4), dan ayat (5) UU 32/2004 tidak bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945,” urai Alim. (Lulu Anjarsari/mh)

Lagi, UU Otsus Papua Diuji ke MK

Jakarta, MKOnline – Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) kembali diuji oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (18/7). Pemohon perkara yang teregristrasi dengan nomor 41/PUU-IX/2011, Habel Rumbiak menganggap Pasal 17 ayat (1) UU Otsus Papua mengandung frasa yang multitafsir sehingga menimbulkan ketidakjelasan.

Pemohon, Habel Rumbiak, melalui kuasa hukumnya Libert Cristo menganggap frasa “dapat dipilih kembali” menimbulkan ketidakjelasan. Pasalnya, frasa tersebut dapat diartikan seseorang yang telah mencalonkan diri sebagai kepala daerah pada satu kali pemilihan, pada periode berikutnya dapat mencalonkan diri kembali. Pasal tersebut berbunyi, “(1)  Masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur adalah 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu masa jabatan berikutnya”.

Padahal, menurut Pemohon, seperti yang disampaikan Cristo, seseorang yang sudah mencalonkan diri sebanyak dua kali tidak bisa mencalonkan diri lagi dalam pemilihan kepala daerah berikutnya. “Tidak ada ketegasan dalam frasa itu sehingga bisa memunculkan pemahaman orang dapat mencalonkan diri lebih dari dua kali. Untuk itu, kami minta ketegasan saja dalam pasal ini,” ujar Cristo.

Seusai Pihak pemohon menyampaikan pokok permohonannya, Panel Hakim kemudian memberikan saran yang dapat digunakan atau tidak oleh Pemohon pada perbaikan permohonannya. Anggota Panel Hakim, M. Akil Mochtar dalam kesempatan itu menyarankan agar Pemohon menjelaskan mengenai legal standing Pemohon. ”Tolong dijelaskan legal standing Pemohon. Apakah warga negara biasa, apakah pernah jadi kepala daerah, apakah pernah mencalonkan diri sebagai kepala daerah? Itu tolong dijelaskan,” ujar Akil menyarankan.

Akil juga menyarankan agar Pemohon mencantumkan tentang kerugian konstitusional yang diderita Pemohon akibat multitafsirnya frasa pada Pasal 17 ayat (1) UU Otsus Papua tersebut. Dengan menjelaskan kerugian konstitusional yang dirasakan Pemohon, Akil mengatakan para hakim mendapati gambaran yang utuh mengenai perkara yang dimohonkan.

Mengenai legal standing dan kerugian konstitusional yang diderita Pemohon, Ketua Panel Hakim Hamdan Zoelva juga menegaskannya. ”Soal legal standing itu perlu untuk diuraikan. Karena kalau tidak ada, pokok permohonan saudara bisa tidak diperiksa. Legal standing juga berkaitan erat dengan hak atau kerugian konstitusional Saudara. Jadi tolong dijelaskan,” saran Hamdan seraya mengingatkan agar Pemohon menyerahkan perbaikan permohonan paling lambat 14 hari kerja terhitung sejak sidang kali ini berakhir. (Yusti Nurul Agustin/mh)

Intervensi Kemandirian Profesi Advokat, Pasal 65 UU MK Diuji

Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan UU No.24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) - Perkara No.42/PUU-IX/2011 - pada Senin (18/7) siang di ruang sidang MK. Pemohon adalah Suhardi Somomoelyono, S.H.M.H selaku Ketua Umum Kolektif Pimpinan Pusat Komite Kerja Advokat Indonesia (KPP KKAI) dan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (DPP HAPI).


Pemohon mengajukan permohonan uji materil terhadap muatan Pasal 65 UU MK karena muatan pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Dalam Pasal 65 UU MK disebutkan bahwa Mahkamah Agung tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi.


Dalam legal standing Pemohon dijelaskan bahwa Pemohon adalah pendiri sekaligus Ketua Umum KPP KKAI dan Ketua Umum DPP HAPI. Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) - di dalamnya terdapat 7 organisasi advokat antara lain IKADIN, AAI, IPHI, SPI - sebagai wujud nyata persatuan dan kesatuan semua advokat/pengacara/konsultan hukum/penasehat hukum warga negara Indonesia yang menjalankan profesi advokat.


Kemudian diberlakukannya UU No.18/2003 tentang Advokat, maka dimasukkanlah satu organisasi profesi advokat yaitu Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) yang tertuang dalam Pasal 32 Ayat (3) UU Advokat. Dengan demikian, terdapat 8 organisasi profesi advokat yang dikenal dalam UU Advokat. 


Delapan organisasi profesi advokat tersebut merupakan bentuk federasi, keterkaitan dengan dengan Pasal 28 Ayat (1) UU No.18/2003 yang berbunyi “Organisasi advokat merupakan satu-satunya wadah profesi advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan undang-undang ini, dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi advokat”.


Pemohon menjelaskan, badan negara yang disebut KKAI diatur dalam UU No.18/2003 tentang Advokat. Sedangkan Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, menurut Pemohon, KKAI selaku badan negara merupakan alat kelengkapan kekuasaan kehakiman yang sejajar dengan Mahkamah Agung. “Baik KKAI dan Mahkamah Agung masing-masing memiliki kemandirian dan kewenangan dalam arti tidak ada intervensi kewenangan masing-masing,” ungkap Pemohon.


Intervensi Kewenangan KKAI
Pemohon melanjutkan, meski Mahkamah Agung dan KKAI masing-masing memiliki hak dan kewenangan, tapi dalam praktik ketatanegaraan, Mahkamah Agung selalu mengintervensi kewenangan KKAI dengan menerbitkan surat Mahkamah Agung No.089/KMA/VI/2010 tanggal 25 Juni 2010 Jo. Surat Ketua Mahkamah Agung No.052/KMA/HK.01/III/2011 tanggal 23 Maret 2011. Surat tersebut menyebutkan “Pada intinya organisasi advokat yang disepakati dan merupakan satu-satunya wadah profesi advokat adalah Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI)”.


Menurut Pemohon, perkataan Mahkamah Agung dalam surat tersebut tidak sejiwa dengan 8 organisasi profesi advokat diatur dalam Pasal 32 Ayat 3, ketentuan Kode Etik Advokat Indonesia Pasal 22 Ayat (3) ditetapkan tanggal 23 Mei 2002, disahkan dalam Pasal 33  UU No.18/2003 tentang Advokat. “Oleh karena itu KKAI adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang disengketakan sesuai amanat Pasal 61 Ayat (1) UU No.24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi,” imbuh Pemohon. 


Bahwa badan yang disebut sebagai KKAI yang dibentuk berdasarkan Pasal 24 Ayat (3) UUD 1945 merupakan staats fundamental norm (norma dasar negara) sebagai pelaksana UU diatur dalam Pasal 34 UU No.18/2003 tentang Advokat yang berbunyi “Peraturan pelaksana yang mengatur mengenai advokat tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum dibentuk atau diganti dengan peraturan perundang-undangan yang baru sebagai pelaksana UU ini”.


Dikatakan Pemohon, dengan adanya ketentuan tersebut menunjukkan bahwa peran serta 8 organisasi profesi advokat termuat dalam Pasal 32 Ayat (3) UU Advokat dapat dijalankan. Selain itu, ketentuann Kode Etik Advokat Indonesia Pasal 22 Ayat (3) yang mengatur KKAI, kemudian disahkan dalam Pasal 33 UU No.18/2003 tetap berlaku.


“Oleh karena itu terbentuknya organisasi KKAI selaku badan negara yang mewakili 8 organisasi profesi advokat tetap sebagai induk organisasi KKAI serta sebagai pelaksana UU Advokat,” tegas tim kuasa hukum Pemohon, Dominggus Maurits Luitnan, SH, dkk. (Nano Tresna A./mh)
 

Peringatan Bahaya Merokok Tidak Efektif, UU Kesehatan Diuji di MK

Jakarta, MKOnline – Dua orang dokter yang fokus pada bahaya tembakau pada rokok, Widyastuti Soerojo dan Muherman Harun, beserta Ikatan senat mahasiswa Kesehatan Masyarakat Indonesia (ISMKMI) mengajukan permohonan pengujian materi Pasal 114 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Senin (18/7). Pemohon menganggap peringatan pada bungkus rokok dengan tulisan tidak efektif. 

Pemohon menganggap penjelasan Pasal 114 UU Kesehatan bertentangan dengan Pasal 199 ayat (1) UU yang sama. Pada Pasal 199 ayat (1) dinyatakan, ”Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau memasukkan rokok ke dalam wilayah Negara Kesatuan republik Indonesia dengan tidak mencantumkan peringatan kesehatan berbentuk gambar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah.”

Sedangkan penjelasan Pasal 114 UU Kesehatan menyatakan, ”Yang dimaksud dengan ’peringatan kesehatan’ dalam ketentuan ini adalah tulisan yang jelas dan mudah terbaca dan dapat disertai gambar atau bentuk lainnya”.

Adanya kata ”dapat” dalam penjelasan Pasal 114 UU Kesehatan tersebut menurut Pemohon menjadikan peringatan pada Pasal 199 tidak bersifat mutlak. Sehingga, produsen rokok bisa menggunakan peringatan bahaya rokok dalam bentuk tulisan saja tanpa menyertakan gambarnya. Padahal, menurut Pemohon, peringatan dalam bentuk gambar lebih efektif dan terbuka dalam menyampaikan informasi mengenai bahaya merokok dibanding hanya menuliskan peringatan tersebut.

Mustakim, kuasa hukum Pemohon, mengatakan seharusnya penjelasan pasal 114 UU kesehatan berbunyi, ”Yang dimaksud dengan ’peringatan kesehatan’ dalam ketentuan ini adalah tulisan yang jelas dan mudah terbaca dan disertai gambar atau bentuk lain.”

Panel Hakim yang terdiri dari Muhammad Alim selaku ketua serta didampingi Anwar Usman dan Ahmad Fadlil Sumadi selaku anggota dalam sidang perdana tersebut menyampaikan saran kepada Pemohon. Alim menyarankan agar Pemohon menegaskan kembali penggunaan istilah frasa atau kata yang lebih tepat digunakan pada penjelasan Pasal 114 UU Kesehatan tersebut. Sedangkan Fadlil meminta pemohon untuk menjelaskan pasal mana yang diuji oleh Pemohon atau pasal mana yang bertentangan dengan penjelasan pasal lainnya. (Yusti Nurul Agustin/mh)

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More