Rabu, 20 Juli 2011



Sri Edy Swasono saat menjadi Ahli dari Pemohon pada Sidang Pengujian Undang-Undang (UU) No. 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of The Association of Southeast Asian Nation (Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara0 [Pasal 1 Ayat (5) dan Pasal 2 Ayat (2) huruf n], Rabu (20/7) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.
Jakarta, MKOnline - Keberadaan Piagam Negara-Negara Anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), yang disahkan oleh Undang-Undang No. 38/2008, telah mengeliminasi kedaulatan rakyat sebagaimana diamanahkan oleh Konstitusi. Dengan kata lain, ketentuan dalam Piagam tersebut, khususnya Pasal 1 Ayat (5) dan Pasal 2 Ayat (2) huruf n, telah ‘melikuidasi’ keberadaan negara. Demikian dinyatakan oleh Sri Edy Swasono, ketika menjadi ahli dalam sidang perkara nomor 33/PUU-IX/2011, Rabu (20/7) di ruang sidang Pleno MK. “Daulat pasar telah menggusur daulat rakyat,” ungkapnya.

Menurutnya, pendapat yang menyatakan free trade (perdagangan bebas) akan mensejahterakan rakyat, hanyalah sebuah ilusi. Tidak hanya itu, kebijakan pasar tunggal ataupun pasar bebas di ASEAN, menurutnya, hanya akan meminggirkan orang miskin, bukan menghilangkan kemiskinan. “Yang terjadi adalah proses pemiskinan dan pelumpuhan,” tegasnya. Ia menekankan bahwa perjanjian internasional seharusnya selaras dengan Undang-Undang Dasar 1945. Terutama terkait ekonomi, haruslah sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945.

Pada kesempatan itu, Pemohon tidak hanya menghadirkan Edy Swasono sebagai ahli. Sebenarnya, menurut Pemohon, ada tujuh ahli dan tiga saksi yang akan dihadirkan oleh pihaknya. Namun, yang dapat hadir pada persidangan kali ini hanyalah empat ahli dan dua saksi. Untuk ahli, selain Edy, hadir Syamsul Hadi, Khudori dan Ichsanudin Noorsy. Sedangkan saksi, hadir Nurul Hidayati dan Surati. Keduanya merupakan pembuat dan pedagang batik yang dianggap merasakan dampak negatif dari diberlakukannya pasar bebas.

Dalam keterangannya, Syamsul Hadi, juga sependapat dengan Edy. Menurutnya, kesepakatan negara-negara ASEAN untuk membangun pasar tunggal yang terintegrasi, hanya menguntungkan negara dengan ekonomi yang sudah mapan. Adanya pasar dan basis produksi tunggal di kawasan ASEAN mengakibatkan kompetisi dan persaingan yang tidak seimbang.

Bahkan, menurut dia, kesepakatan serta perjanjian yang tertuang dalam Piagam ASEAN terlalu normatif dan mengawang-awang. “Tidak mewakili kepentingan masyarakat akar rumput di ASEAN,” ujarnya saat menjelaskan kontribusi Piagam ASEAN dalam aspek sosial dan budaya. Faktanya, ASEAN sulit melakukan tindakan konkrit dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi dibeberapa negara anggota ASEAN. “Seperti kudeta di Thailand dan pelanggaran HAM di Myanmar,” ia memberi contoh.

Senada, Ichsanuddin Noorsy, berpendapat, kesepakatan membangun pasar bebas dan pasar tunggal di ASEAN merupakan seting ekonomi global yang menganut ideologi neoliberal. Dan, ideologi ini, dapat dikatakan bertentangan dengan semangat ekonomi pro rakyat yang diamanahkan oleh Konstitusi.

Dalam persidangan, ia tak lupa memperkuat argumentasinya dengan menyitir pendapat para ekonom pemenang nobel serta sajian data dari beberapa penelitian. Ia bahkan sempat menantang perwakilan Pemerintah yang hadir saat itu untuk membantah data dan pendapatnya. “Rontokkan data ini,” pintanya. Akhirnya, ia menutup paparannya dengan meminta kepada Majelis Hakim untuk mempertmbangkan masak-masak sebelum menjatuhkan putusan. Ia berpesan agar MK tidak hanya menguji dengan menggunakan batu uji pasal-pasal dalam UUD 1945 saja, melainkan juga Pembukaan UUD 1945.

Sedangkan Khudori, dalam paparannya, lebih menyoroti dampak perdagangan bebas di ASEAN terhadap nasib pertanian di Indonesia. Ia memberi judul keterangan ahlinya, “Dampak Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN terhadap Pertanian di Indonesia”. Ia pun berkesimpulan, UU 38/2008 harus dibatalkan karena bertentangan dengan UUD 1945.

Posisi Sulit

Pada kesempatan yang sama, hadir pula perwakilan Pemerintah. Mereka terdiri dari tiga kementerian, yakni Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Luar Negeri. Keterangan Pemerintah disampaikan oleh Linggawaty Hakim.

Linggawaty, pada intinya, menyampaikan, pengesahan Piagam ASEAN melalui UU 38/2008 tidak secara otomatis menjadikan perjanjian internasional tersebut sebagai norma hukum nasional. “Tidak ada ketentuan hukum di Indonesia termasuk Undang-Undang Dasar yang secara tegas menyatakan bahwa pengesahan perjanjian internasional menjadi Undang-Undang mentransformasikan ketentuan-ketentuan hukum internasional sebagai norma hukum nasional,” tegasnya.

Bahkan, menurutnya, berlaku mengikatnya Piagam ASEAN tidak tergantung pada UU 38/2008. “(UU 38/2008) hanyalah landasan hukum Pemerintah Indonesia untuk mengikatkan diri terhadap Piagam ASEAN,” katanya. Dampak jika MK mengabulkan permohonan Pemohon, ujar Linggawaty, akan mengakibatkan Indonesia berada dalam posisi sulit. Ia menjelaskan, berdasarkan hukum internasional, ketentuan nasional tidak dapat digunakan untuk membenarkan sebuah negara yang gagal dalam melaksanakan sebuah perjanjian internasional. “Indonseia akan tetap memiliki kewajiban hukum internasional dan terikat pada ketentuan-ketentuan Piagam ASEAN tersebut,” jelasnya. (Dodi/mh)

sumber:

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More