Kamis, 14 Juli 2011

Pemohon Uji UU Kehutanan Menilai Menhut Melanggar Hukum

Jakarta, MKOnline - Surat Menteri Kehutanan Nomor 1.198 tentang Penambahan Hutan Tanaman Indistri (HTI) PT. Wira Karya Sakti seluas 76.100 hektar di Provinsi Jambi, dipersoalkan oleh Maskur Anang Bin Kemas Anang Muhamad, selaku Pemohon dalam perkara Nomor 34/PUU-IX/2011 tentang Pengujian UU Kehutanan di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (14/7).

Dalam Sidang Panel yang dipimpin oleh Achmad Sodiki, dengan didampingi Anwar Usman dan Harjono yang masing-masing sebagai anggota, melalui kuasa hukumnya M. Ali Darma Utama dan Ferry AS, Pemohon mendalilkan bahwa Menteri kehutanan telah melanggar hukum dengan melakukan manipulasi dan merekayasa alih fungsi atas area tanah di luar kawasan hutan yang peruntukkannya belum ditentukan sebagai kawasan hutan menjadi hutan cadangan. ”Fakta tersebut terjadi pada area perkembunan milik Pemohon,” kata Ali.

Pemohon menjelaskan area perkembunan miliknya ada pada kawasan budi daya pertanian. Namun, oleh Menteri Kehutanan dialihfungsikan dan ditetapkan sebagai cadangan hutan tanaman industri. ”Kebijakan tersebut selain melanggar Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1990 yang mengatakan bahwa Menteri Kehutanan tidak mempunyai kewenangan mencadangkan HTI pada kawasan budi daya pertanian,” jelas Pemohon melalui kuasa hukumnya.

Pemohon melihat bahwa tindakan yang dilakukan oleh Menteri Kehutanan tersebut akibat adanya ketentuan Pasal 4 Ayat 2 Huruf b dan Ayat 3 UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang memberikan keluasan terhadap Menteri Kehutanan untuk menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan, atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan.

”Pasal tersebut sangat merugikan hak dan kewengan konstitusional Pemohon sebagaimana dijamin oleh Pasal 28A, Pasal 28D Ayat 1, Pasal 28G Ayat 1, dan Pasal 28H Ayat 4 UUD 1945,” ucap Ali membacakan isi Permohonan.

Oleh sebab itu, Pemohon mendalilkan bahwa perlu dilakukan uji norma hukum pada Pasal 4 Ayat 2 Huruf b dan ayat 3 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Hal ini dikarenakan implementasi dari pasal tersebut sangat merugikan Pemohon sebagai pemilik tanah perkebunan.

Oleh karena itu, Pemohon memohon agar Pasal 4 Ayat 3 UU No. 41 tahun 1999 oleh Mahkamah ditambahi sehingga berbunyi, “penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaan ‘hak atas tanah yang terbebani hak berdasarkan UU’ serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.”

Dalam nasehatnya, Ketua Sidang Panel, Achmad Sodiki, mengatakan kepada Pemohon bahwa Mahkamah tidak mempunyai wewenang untuk membuat kalimat-kalimat dalam pasal. ”Mahkamah hanya bisa menafsirkan atau mencoret,” terangnya. (Shohibul Umam/mh)

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More