Senin, 13 Desember 2010

Uji UU Pelayaran: APBMI Persoalkan Praktik Monopoli PT Pelindo (Persero)

Andi Muhammad Asrun, kuasa pemohon dari Bambang K. Rahwardi, Ketua Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI) sedang membacakan permohonan dalam uji materi Pasal 90 Ayat (3) huruf g Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Jakarta (13/12).
Jakarta, MKOnline - PT Pelindo (Persero) sebagai penyelenggara pelabuhan telah melakukan praktik monopoli kegiatan dengan memasukkan usaha bongkar muat barang sebagai salah satu segmen usaha yang terjadi di pelabuhan Cirebon, pelabuhan Cilacap, pelabuhan Gresik dan pelabuhan Tanjungpriok. 

Demikian dikatakan kuasa Pemohon, Andi Muhammad Asrun dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (13/12/2010) bertempat di ruang panel lt. IV gedung MK. Panel Hakim sidang perkara Nomor 74/PUU-VIII/2010 ini adalah Achmad Sodiki (Ketua Panel), M. Arsyad Sanusi, dan M. Akil Mochtar.

Permohonan diajukan oleh Bambang K. Rahwardi, Ketua Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI). Bambang mengujikan Pasal 90 Ayat (3) huruf g Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang menyatakan "Penyediaan dan/atau pelayanan jasa kapal, penumpang, dan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas: g. penyediaan dan/atau pelayanan jasa bongkar muat barang."

Terbitnya surat edaran Menteri Perhubungan Nomor SE 6/2002 yang menyatakan penyelenggaraan kegiatan bongkar muat dari dan ke kapal yang dilaksanakan oleh PT Pelabuhan Indonesia (Persero) I, II, III dan IV tidak diperlukan perizinan, dipermasalahkan Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI). 

Menurut Pemohon, ketentuan Pasal 90 Ayat (3) huruf g UU Pelayaran merupakan puncak dari upaya yang sistematis, terstruktur dan terencana untuk mengurangi atau menghalangi peran perusahaan bongkar muat dalam jawatan usaha bongkar muat di pelabuhan. Terbitnya surat edaran Menteri Perhubungan Nomor SE 6/2002 yang menyatakan penyelenggaraan kegiatan bongkar muat dari dan ke kapal yang dilaksanakan oleh PT Pelabuhan Indonesia (Persero) I, II, III dan IV tidak diperlukan perizinan, mengancam kelangsungan perusahaan bongkar muat (PBM).

Menurut Pemohon, surat edaran Menteri Perhubungan tersebut, telah salah menafsirkan Peraturan Pemerintah (PP) 56/1991, PP 57/1991, PP 58/1991, PP 59/1991, yang memberi landasan izin pendirian PT Pelindo (Persero) I, II, III, dan IV sebagai penyedia/pengelola terminal dan fasilitas pelabuhan.

"Dengan demikian, surat edaran Menteri Perhubungan Nomor SE 6/2002 sangat keliru memasukkan lingkup usaha bongkar muat sebagai segmen usaha PT Persero Pelabuhan Indonesia karena PP Nomor 56/1991, PP 57/1991, PP 58/1991, PP 59/1991 tidak mengatur kegiatan bongkar muat sebagai kegiatan PT Persero Pelabuhan Indonesia," Kata kuasa Pemohon, Andi Muhammad Asrun, mendalilkan.  

Yang menjadi permasalahan bagi perusahaan bongkar muat (PBM), lanjut Asrun, PT Pelindo (Persero) berdasarkan pendirian PP No. 56/1991, PP 57/1991, PP 58/1991, PP 59/1991 adalah sebagai pengelola pelabuhan. "Namun oleh surat edaran Menteri Pehubungan Nomor SE 6/2002 telah dipersepsikan sebagai landasan hukum izin usaha bongkar muat yang menyatakan penyelenggaraan kegiatan bongkar muat barang yang dilaksanakan oleh PT Pelindo pada pelabuhan tempat di mana PT Pelindo berada," tandas Andi M. Asrun.

Menurutnya, UU Pelayaran antara lain dibuat dalam rangka untuk meningkatkan peran swasta sekaligus upaya mempertinggi efisiensi dan menghilangkan biaya ekonomi tinggi di industri kepelabuhanan dan kepelayaran. Di samping untuk pemberdayaan industri pelayaran nasional sebagaimana Inpres No. 5/2005.

Ketentuan Pasal 90 Ayat (3) huruf g yang memberikan hak melakukan kegiatan bongkar muat barang kepada badan usaha pelabuhan, memicu praktik monopoli yang selama ini cenderung berkelanjutan. "Sehingga perusahaan bongkar muat yang eksistensinya sudah dimiliki sajak tahun 1988 akan dimarginalisasi atau digusur," lanjut Asrun mendalilkan.

Permohon meminta kepada Mahkamah (petitum) agar mengabulkan permohonan. Kemudian meminta Mahkamah menyatakan Pasal 90 Ayat (3) huruf g UU 17/2008 bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (Nur Rosihin Ana/mh)
 
Sumber:

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More