Rabu, 15 Desember 2010

UU Minerba Timbulkan Kesenjangan antara Masyarakat Adat dan Pemda



Majelis Hakim Konstitusi mengambil sumpah saksi dan ahli dari Pemohon dalam pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), Jakarta (15/12).
Jakarta, MKOnline - Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) kembali digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (15/12), di Ruang Sidang Pleno MK. Kepaniteraan MK meregistrasi perkara ke dalam tiga permohonan berbeda, yakni Pemohon dengan nomor perkara 25/PUU-VIII/2010, 30/PUU-VIII/2010, serta 32/PUU-VIII/2010. Beberapa Pemohon tersebut adalah para penambang, organisasi penambang serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Mereka, di antaranya Fatriansyah Aria, Fahrizah, APTI, ASTRADA Prov. Kepulauan Bangka Belitung, WALHI, PBHI, KPA, KIARA, Solidaritas Perempuan, Nur Wenda dkk.

Dalam sidang mendengarkan saksi maupun ahli Pemohon, Para Pemohon menghadirkan empat orang saksi, yakni Gunawan, Florianus Surion, Maryanto dan Supari. Gunawan yang merupakan saksi dari Pemohon perkara Nomor 30/PUU-VIII/2010 ini menjelaskan ketentuan Pasal 58 ayat (1) UU Minerba yang menyebutkan luas wilayah IUP Posplorasi yang minimum 5.000 hektar. Menurut Gunawan, beberapa kendala operasional di lapangan di antaranya mengenai luas  wilayah. Luas wilayah 5.000 hektar dalam pasal tersebut sangat tidak dimungkinkan  di Pulau Bangka Belitung.

“Saya sebagai pelaku di sini bahwa sebelum kita melakukan pengajuan, KP, yang dulu namanya KP sekarang menjadi IOP, itu tentu kita lakukan kajian geologi dulu dan selama ini hamparan yang ada di Pulau Bangka, yaitu hamparan deposit  timah itu katakanlah dengan maksimum yang kita temui adalah lebar valley atau lembah itu 200 meter ya. Kemudian kalau katakanlah 5.000 ha, kita ambil saja 30% dari 5.000  ha itu 2.000 ha, artinya 2 juta m².  Kalau 2 juta m², dibagi dengan lebar  valley  200 meter berarti ada 100.000 meter. Artinya 100 km.  Sementara timah atau endapan  timah mineral timah itu dari sumbernya itu maksimum hanya 15 km,” ujarnya.
Kemudian yang ketiga, lanjut Gunawan, sebagai pengusaha menengah dan kecil untuk mengajukan 5.000 hektar itu sesuatu yang mempunyai konsekuensi finansial yang tidak kecil. Ketiga pertimbangan tersebut tidak bisa diaplikasikan di lapangan, “Kemudian yang kedua mengenai bahwa usaha pertambangan izin usaha pertambangan rakyat yang mengatakan bahwa hanya ada boleh di lahan yang sudah ditambang selama 15 tahun. Nah  ini juga satu hal yang tidak akan mungkin. Tambang rakyat ini kebanyakan adalah mereka mengusahakan di wilayah-wilayah yang memang belum pernah ditambang. Tidak pernah ada itu karena timah itu maksimum 3 tahun juga sudah habis kalau diusahakan begitu karena bentuknya hanya endapan. Tidak pernah ada satupun di Pulau Bangka yang sampai 10 tahun saja dalam satu wilayah  front penambangan itu  tidak pernah ada apalagi 15 tahun,” paparnya.

Sementara itu, Florianus Surion yang mewakili masyarakat hak Ulayat mengungkapkan keresahannya akibat kehadiran 10 kuasa pertambangan di Pulau Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Flores NTT. “Ada 10 KP (Kuasa Pertambangan, red.) yang diberikan oleh Pemerintah di wilayah yang topografinya berpotensi untuk pariwisata. Kehadiran tambang di Kabupaten Manggarai Barat saat ini meresahkan  karena seluruh wilayah itu masuk dan  inklap tanah ulayat masyarakat setempat yang sampai hari ini belum ada satu negosiasi untuk memberikan harapan terhadap warga pemilik tanah hak ulayat di 10 KP tersebut.  Pada tahun 2008, KP ini dikeluarkan oleh Pemerintah tanpa sedikitpun upaya untuk meminta atau meminta izin kepada pemilik tanah, terutama hak ulayat yang berakibat pada akhirnya masyarakat ulayat, akhirnya ada kesenjangan bersama Pemerintah Daerah dan ini sangat berpotensi konflik,” jelasnya.

Dalam permohonannya, para Pemohon merasa hak konstitusionalnya terlanggar akibat UU Minerba terutama Pasal 22, Pasal 38, Pasal 51, Pasal 52 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 58 ayat (1), Pasal 60, Pasal 61 ayat (1), Pasal 75 ayat (4), Pasal 172, dan Pasal 173 ayat (3). Pemohon menganggap pasal-pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 terutama Pasal 28I ayat (2), Pasal 33 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (1). (Lulu Anjarsari/mh)
ٍsumber: 

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More