Kamis, 06 Januari 2011

Masalah Konstitusional dalam Pengujian UU Pelayaran Dipertanyakan

Prinsipal Pemohon, Kapten Priyanto dari DPW APBMI, Jawa Timur menjelaskan mengenai permohonannya terkait pengujian Undang-Undang tentang Pelayaran, Kamis (6/1), di Ruang Panel MK.
Jakarta, MK Online - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan kedua Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran terhadap UUD 1945, Kamis (6/1). Sidang pemeriksaan pendahuluan tersebut dipimpin oleh Ketua Panel, Achmad Sodiki dan dianggotai oleh M, Arsyad Sanusi dan M. Akil Mochtar.

Pemohon yang hadir pada persidangan kali ini, yaitu Bambang K. Rahwardi, Arlen Sitompul, Fuadi, Eten Priyadi, Ari Sartoyo dan Kapten Priyanto. Para Pemohon didampingi kuasa hukumnya, yaitu A. Muhammad Asrun dan Merlina. Pihak Pemohon berasal dari DPW Surabaya dan pengurus-pengurus Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI).

Andi Muhammad Asrun yang diberi kesempatan untuk memberikan keterangan mengatakan telah melakukan perbaikan-perbaikan yang disarankan hakim panel pada persidangan sebelumnya. Perbaikan pertama terdapat pada struktur permohonan. Pemohon sudah memperbaiki struktur permohonan dengan urutan, pertama,  kewenangan Mahkamah Konstitusi, kedua, kedudukan Hukum Pemohon, ketiga kepentingan dan kerugian konstitusional Pemohon, dan keempat, Petitum.

Sementara itu, Prinsipal Pemohon, Priyanto dari DPW APBMI, Jawa Timur menjelaskan perbedaan antara fasilitas yang diberikan dan tidak. Ia menjelaskan dalam UU Pelayaran dijelaskan bahwa kegiatan bongkar muat harus dilaksanakan oleh Badan Hukum Indonesia yang didirikan khusus untuk bongkar muat. Karena itulah Pemohon menganggap, siapapun boleh mengadakan kegiatan bongkar muat barang dari dan ke kapal di daerah pelabuhan asal berbentuk badan hukum yang khusus didirikan untuk itu.

Priyanto juga menjelaskan bahwa Pelindo selama ini bertindak dan menganggap dirinya otomatis sebagai badan hukum yang juga bisa melaksanakan kegiatan bongkar muat. “Rancunya ada di sini, karena selama ini Pelindo bertindak sebagai regulator dan operator di pelabuhan. Karena dia berfungsi sebagai regulator dan operator di mana implementasi di lapangan itu sangat power full jadi, pihak lain yang mempunyai hak untuk itu mau tidak mau kalau tidak sejalan dengan kemauan Pelindo pasti akan tersisih,” jelas Priyanto.

Menanggapi keterangan Pemohon, Ketua Panel Hakim Achmad Sodiki mengatakan yang terjadi lebih terlihat sebagai bentuk persaingan usaha. Pasalnya, hal semacam itu juga terjadi pada PLN. PLN juga menjadi regulator dan operator. Dari sisi pelaku usaha terlihat tidak fair untuk suatu kompetisi yang sehat.

Sementara itu, M. Akil Mochtar menyampaikan pertanyaan kepada Pemohon. Ia menanyakan, mungkinkah yang terjadi dikarenakan norma yang keliru ataukah itu terjadi karena kesalahan penerapan. Dengan penambahan kata-kata seperti yang dimohonkan Pemohon, Akil melihat justru semakin menegaskan bahwa persoalan tersebut bukanlah persoalan konstitusional melaikan persoalan penerapan norma. “Nah, kalau itu, maka ke Komisi Persaingan Usaha karena adanya perlakuan diskriminatif akibat pasal itu. Nah, saya khawatirnya malah hakim memikirkan ke situ, gitu loh. Tapi kan ini sudah di lakukan perubahan tinggal saya kira permohonan yang dengan petitum lalu ditambahkan kalimat atau frase kalimat ‘fasilitas’ itu perlu juga dipertimbangkan lagi dalam proses, “ saran Akil. (Yusti Nurul Agustin/mh)

Sumber:

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More