Senin, 13 Desember 2010

UU Pemilu Multitafsir, Pemohon Minta MK Nyatakan Konstitusional Bersyarat

Pemohon Perkara 63/PUU-VIII/2010, Jamil B, S.H. telah membacakan perbaikan permohonan kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
Jakarta, MKOnline - Sidang lanjutan uji materi Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jum’at (3/12) pagi, di ruang sidang pleno MK. Perkara dengan nomor 63/PUU-VIII/2010 ini mengujikan pasal 30 ayat (1) dan Pasal 111 ayat (1) dan (2) UU No. 22/2007. Agenda sidang kali ini adalah pemeriksaan perbaikan permohonan.
Dalam persidangan yang hanya dihadiri Pemohon Prinsipal, Jamil B, tersebut, disampaikan beberapa perbaikan dalam permohonan. Jamil menuturkan, sudah dilakukan perbaikan dalam uraian kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, dan sedikit perubahan redaksi pada petitum.
Pada pokoknya, Pemohon meminta kepada Mahkamah untuk menyatakan pasal yang diuji adalah konstitusional bersyarat (conditionally constitutional). Menurut Pemohon, pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28 ayat (1) UUD 1945. “Bertentangan dengan prinsip Negara hukum,” ujarnya.
Sebelumnya, seperti disampaikan pada persidangan pendahuluan, Rabu (20/10) yang lalu, Pemohon merasa dirugikan karena pasal tersebut bersifat multitafsir atau berpotensi memunculkan kekeliruan tafsir. Jamil menjelaskan bahwa Bawaslu pada tanggal 14 Juli 2010, merekomendasikan pembentukan Dewan Kehormatan terhadap tiga anggota KPU Kabupaten Toli-Toli, yakni terhadap Adam Malik, Yahdi Basmah, Patricia Lamarauna karena diduga melanggar kode etik. Namun, karena pasal tersebut bersifat multitafsir mengakibatkan rekomendasi Bawaslu tidak dilaksanakan atau diperlambat dalam pelaksanaannya oleh KPU.
“Keputusan tersebut didasari atas kajian dan pengajuan dari Pemohon bahwa ketiga anggota KPU a quo terbukti terkait dengan terbitnya Surat KPU Nomor 320/2010 dan Surat KPU Nomor 20/2010.  Setelah rekomendasi a quo diterima KPU, akan tetapi sampai diajukannya permohonan ini, KPU belum merespon dan menindaklanjuti rekomendasi a quo. Padahal berbeda halnya dengan ketika KPU membentuk dewan kehormatan bagi Andi Nurpati pelaksanaannya cepat, sepertinya ada kekeliruan penafsiran dari KPU terhadap Pasal 30 ayat (1), Pasal 111 ayat (1) dan (2),” ujarnya saat itu. Atas kejadian itu, Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya.
Adapun Majelis Hakim yang terdiri dari Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi (Ketua Panel), M. Akil Mochtar dan M. Arsyad Sanusi, meminta kepada Pemohon untuk mempertimbangkan apakah ingin menarik atau meneruskan permohonannya. Menurut Akil, permohonan Pemohon bukanlah kewenangan Mahkamah. “Apakah ini masalah konstitusional ataukah penerapan hukum?” tanyanya kepada Pemohon. Bahkkan ia menyimpulkan, Pemohon belum memperbaiki permohonan sesuai dengan anjuran Majelis Hakim.
Senada dengan itu, Arsyad Sanusi berpendapat, permohonan Pemohon adalah constitutional complaint. “Ini semacam pengaduan konstitutional,” ungkapnya. “Pasal yang diuji harus jelas-jelas merugikan hak konstitusional saudara (Pemohon, red) atau berpotensi merugikan,” lanjutnya. (Dodi/mh)

Sumber:

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More