Rabu, 27 Juli 2011

Pemerintah: Kewajiban Pekerja-Pengusaha Selama Proses Perselisihan untuk Lindungi Pekerja


Perwakilan dari Pemerintah, Mualimin Abdi (Kemenkumham) saat membacakan jawaban Pemerintah atas dalil-dalil permohonan Pemohon pada sidang uji materi Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Rabu (27/7) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.
Jakarta, MKOnline – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Uji Materi Pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang beragendakan mendengar keterangan Pemerintah, Rabu (27/7). Sidang pleno perkara nomor 37/PUU-IX/2011 ini diketuai Hakim Konstitusi Achmad Sodiki.
 
Hadir dalam persidangan kali ini wakil dari pemerintah, yaitu Mualimin Abdi (Kemenkumham), Heni Susila Wardaya (Kemenkumham), Budiman (Kemenakertrans), Hutri (Kemenakertrans), Agung (Kemenakertrans), dan Liana (Kemenkumham).
 
Dalam kesempatan itu, Mualimin Abdi menjadi juru bicara pihak pemerintah. Ia membacakan jawaban pemerintah atas permohonan Pemohon yang menganggap pasal  yang diujikan mengandung arti atau makna bahwa pekerja berhak atas upah dan hak-hak lainnya sampai jatuhnya putusan yang berkekuatan hukum tetap dan tetap dalam proses perselisihan hubungan industrial. 

Selain itu Pemohon juga menganggap tidak adanya tafsir yang tegas terhadap ketentuan Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan, utamanya terhadap frasa ”belum ditetapkan”. Menurut pemerintah, justru Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjadi salah satu bentuk perlindungan kepada tenaga kerja. ”Jadi menurut hemat Pemerintah, justru ketentuan Pasal 155 ayat (2) itu memberikan suatu kepastian. Jadi normanya sebetulnya memberikan kepastian agar pengusaha itu tidak ingkar dan tetap memenuhi kewajibannya untuk memberikan hak-hak kepada pekerja selama dalam proses perselisihan di dalam pengadilan hubungan industrial itu sendiri,” ujar Mualimin.
 
Lebih lanjut, Mualimin menjelaskan bahwa dalam pelaksaaan hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja seringkali timbul perselisihan yang dapat menyebabkan adanya pemutusan hubungan kerja. Sebelum memutuskan hubungan kerja, pengusaha bersangkutan diwajibkan untuk merundingkan maksud pemutusan hubungan kerja tersebut dengan serikat pekerja, serikat buruh atau langsung dengan pekerja yang bersangkutan apabila tidak menjadi anggota serikat pekerja atau serikat buruh.
 
Selanjutnya, masih seperti yang dibacakan Mualimin, dalam perundingan penyelesaian pemutusan hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja apabila tidak mencapai kesepakatan, pengusaha hanya dapat melakukan pemutusan hubungan kerja dengan pekerja setelah memperoleh penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
 
”Proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial, sebagaimana ditentukan dalamUndang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan Industrial, dimulai dari perundingan bipartit, mediasi, konsiliasi, atau melalui arbiter. Dan apabila kedua belah pihak tidak dapat menerima hasil mediasi, konsiliasi, maupun arbiter, maka para pihak atau yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Hubungan Industrial, bahkan dapat melakukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung,” jelas Mualimin mengenai mekanisme penyelesaian pemutusan hubungan kerja.
 
Mualimin juga menegaskan bahwa selama proses penyelesaian persilisihan pemutusan hubungan kerja, baik pengusaha maupun pekerja atau buruh, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan, maka pekerja  atau pengusaha tetap harus melaksanakan segala kewajibannya dan tetap memperoleh hak-haknya. Meski begitu, Mualimin mengakui, dalam praktiknya kerap ditemui pemutusan hubungan kerja yang sebelum ada putusan berkekuatan hukum tetap, para pengusaha “nakal” sudah tidak melakukan kewajibannya lagi.
 
“Menurut pemerintah hal demikian adalah ada di dalam lapangan atau tatanan implementasi yang semestinya itu bisa diinformasikan kepada Kementerian Tenaga Kerja karena Kementerian Tenaga Kerja juga memiliki apa yang disebut dengan PPNS untuk melakukan penilaian, untuk melakukan penelitian, mengapa pengusaha tidak melakukan atau tidak melaksanakan kewajiban-kewajibannya kepada pekerja itu sendiri, Yang Mulia,” tandas Mualimin. (Yusti Nurul Agustin/mh)

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=5617

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More