Kamis, 03 Maret 2011

UU Ombudsman Cederai Makna Otonomi Daerah

Jakarta, MKOnline - Sidang lanjutan terhadap pengujian Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman RI, serta Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dilakukan pada Kamis (3/3), di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara yang teregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 62/PUU-VIII/2010 ini dimohonkan oleh Ilham Arief Sirajuddin dan lainnya.

Dalam sidang yang mengagendakan mendengar keterangan Pemerintah, DPR dan saksi/ahli Pemohon, Subandrio yang mewakili pemerintah mengungkapkan bahwa permohonan para Pemohon sangat tidak beralasan dan tidak tepat. Ketentuan Pasal 46 Ayat (1) dan (2) serta  Pasal 43 Ayat (1) dan (2), lanjut Subandrio, justru memberikan gambaran yang jelas dan kuat tentang apa yang dimaksud dengan Ombudsman, juga batasan tugas, fungsi dan kewenangannya. “Sehingga menurut Pemerintah ketentuan a quo sama sekali tidak berkaitan dengan masalah konstitusionalitas keberlakuan suatu UU,” ujarnya.

Pemohon mengajukan lima orang ahli untuk memperkuat dalil-dalil pokok permohonannya, di antaranya Mintartoha, Amir Binharudin, Yuliandri, Saldi Isra dan Fajrul Falaakh. Dalam keterangannya, yakni Pakar Hukum Tata Negara Saldi Isra menjelaskan bahwa pengujian tidak mempermasalahkan mengenai eksistensi ombudsman, tapi lebih kepada pasal yang menegasikan ombudsman di daerah. Saldi mengungkapkan ketentuan Pasal 46 ayat (1) dan (2) tidak hanya berdampak harus digantinya semua ombudsman yang ada di daerah, tapi juga harus dihapusnya kata ‘ombudsman’ yang dipergunakan oleh institusi-institusi lain.

“Ketentuan a quo mencederai makna otonomi daerah. Pelarangan penggunaan nama ombudsman berdampak pada munculnya nama lain. Padahal dengan adanya ombudsman memaknai arti penting pelaksanaan otonomi daerah. Dengan adanya pelarangan melalui ketentuan a quo, secara tidak langsung,  menyimpang Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) UUD 1945. Dalam pemahaman ahli,  keterlibatan masyarakat untuk ikut mengawasi penyelenggaraan pemerintahan, bukan merupakan wewenang yang dipegang oleh Pemerintah Pusat,” jelasnya.

Ahli Pemohon lainnya, yakni Amir Binharuddin mengemukakan bahwa kehadiran ombudsman baik nasional maupun daerah sangat penting untuk meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan negara dan kualitas pelayanan publik. “Berbeda dengan swasta, pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah banyak yang bersifat monopoli, sifat monopoli inilah yang menyebabkan pelayanan publik oleh pemerintah banyak yang tidak berkualitas serta memungkinkan banyaknya praktik penyalahgunaan bagi para penyelenggara pelayanan publik,” urainya.

Selain itu, lanjut Binharudin, masyarakat yang tidak puas hanya bisa complaint, tidak bisa bertindak. Binharudin menjelaskan kehadiran lembaga seperti ombudsman dapat membantu masyarakat menyalurkan keluhan-keluahan terhadap pelayan pemerintah lebih efektif. “Walaupun negara menjamin kebebasan berpendapat, tidak semua masyarakat memiliki keberanian untuk mengungkapkan keluhan mereka terhadap pelayanan publik lembaga pelayanan publik. Masyarakat seperti inilah yang membutuhkan lembaga yang mudah, murah dan mudah  diakses seperti lembaga ombudsman agar mereka dapat menyampaikan keluhan mereka,” jelasnya.

Sementara itu, Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Andalas Yuliandri mengemukakan rumusan ketentuan Pasal 46 ayat (1) dan (2) pada dasarnya telah menegasikan norma hukum lain, pengaturan-pengaturan yang mengatur keberadaan nama. Dalam hubungannya dengan definisi ombudsman, maka pada dasarnya telah menimbulkan ketidakpastian hukum termasuk Pasal 28D UUD 1945. ”Apabila dikaji lebih lanjut ketentuan pasal a quo berprinsip retroaktif. Lembaga-lembaga ombudsman telah ada sebelum adanya UU a quo. Seyogyanya, pemberlakuan suatu ketentuan untuk mewujudkan negara hukum harusnya tidak memuat asas berlaku surut karena pada dasarnya semua dasar hukum itu seharusnya berlaku ke depan (perspektif),” paparnya.

Ketentuan pasal a quo, lanjut Yuliandri, telah melakukan perubahan terselubung dalam artian apabila sejak dua tahun sejak undang-undang ini diundangkan, nama Ombudsman yang dipakai oleh lembaga lain tidak sah. “Maka inilah yang saya kategorikan sebagai perubahan secara terselubung yang seharusnya lembaga Ombudsman yang sudah ada ikut secara aktif untuk menyelenggarakan pemerintahan yang baik di daerahnya,” katanya. (Lulu Anjarsari/mh)

Sumber:

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More