Rabu, 09 Maret 2011

UU Minerba Membelenggu Masyarakat

Jakarta, MKOnline - Masyarakat Bangka Belitung dibelenggu dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Hal ini disampaikan oleh Ketua DPRD Bangka Belitung Ismeriadi ketika memberikan keterangan sebagai Ahli Pemohon dalam pengujian  UU Minerba yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (9/3), di Ruang Sidang Pleno MK.
Tiga perkara sekaligus ini disidangkan oleh MK, yakni perkara Nomor 25/PUU-VIII/2010, 30/PUU-VIII/2010 dan 32/PUU-VIII/2010.  Ketiga perkara ini dimohonkan oleh beberapa badan hukum dan perseorangan warga negara, di antaranya WALHI, PBHI, Asosiasi Pengusaha Timah Indonesia (APTI), Asosiasi Pertambangan Rakyat Indonesia (ASTRADA) Prov. Kepulauan bangka Belitung dan lain-lain.
“Jangan mimpi masyarakat Bangka Belitung dapat merasakan sumber daya alam dari tanah mereka sendiri dengan adanya perizinan seperti ini. Ada kesenjangan perizinan akibat berlakunya UU Minerba ini,” tukas Ismeriadi ketika memberikan keterangan tentang perbedaan perizinan yang diberikan kepada PT Timah oleh Pemerintah.
Menurut Ismeriadi, PT Timah mempunyai izin hingga tahun 2027, sementara perizinan yang biasa dikeluarkan oleh Pemerintahan Daerah Bangka Belitung baik gubernur, walikota hingga bupati hanya sampai 2013. Kemudian, Ismeriadi juga menganggap batasan maksimal 25 meter sebagai kriteria menentukan wilayah pertambangan rakyat tidak masuk akal. “Penambangan rakyat hanya menggunakan alat sederhana, yakni cangkul, Yang Mulia. Apa kedalaman 25 meter memungkinkan untuk dicapai dengan menggunakan cangkul? Aturan ini tidak masuk akal,” jelasnya.
Sementara itu, Ahli Pemohon, yakni I Nyoman Nurjaya mengatakan bahwa seharusnya sebagai sebuah norma hukum, UU Minerba harus memerhatikan beberapa prinsip, di antaranya prinsip pengelolaan sumber daya alam, prinsip keadilan, serta prinsip demokrasi. “Dalam prinsip pengelolaan sumber daya alam, ada beberapa prinsip, yakni keberhati-hatian, perizinan, pengawasan, serta evaluasi dan monitoring. Yang terjadi di lapangan biasanya sampai tahap keluarnya izin, maka Pemerintah memberikan sepenuhnya kepada pengusaha tanpa adanya pengawasan serta evaluasi dan monitoring,” urainya.
Pemerintah dalam sidang kali ini juga mengajukan Ahli, di antaranya Simon Sembiring dan Daud Silalahi. Dalam keterangannya, Simon menjelaskan bahwa UU Minerba mengandung aturan konservasi sebagai bukti bahwa Pemerintah melindung sumber daya yang tidak dapat diperbaharui seperti batubara. “Dalam undang-undang ini mengandung konservasi dibuktikan dengan adanya pembatasan wilayah. Belum lagi perubahan dari kontrak menjadi perizinan. UU ini menguatkan peran Pemerintah sebagai regulator dan menjamin hak masyarakat akibat pertambangan,” urainya.
Kemudian, Ahli Pemerintah lainnya, Daud Silalahi meminta agar Pemohon tidak melihat UU Minerba secara terpisah. Menurut Daud, hal tersebut menghilangkan makna UU Minerba. “UU Minerba ini harus dilihat secara holistik. UU ini jangan dinilai dan diinterpretasi pasal per pasal dan jangan dipenggal-penggal. Ujung tombak dair UU ini adalah AMDAL. Itu yang tidak boleh dilupakan,” tandasnya.
Para pemohon dalam permohonannya berkeberatan dengan berlakunya Pasal 6 ayat (1) juncto Pasal 9 ayat (2), Pasal 10 huruf b, Pasal 22 huruf f, Pasal 38, Pasal 52 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 58 ayat 91), Pasal 61 ayat (1), Pasal 75 ayat (4), Pasal 172, dan pasal 173 ayat (2). Menurut Pemohon, pasal-pasal a quo merugikan hak konstitusional para pemohon yang dijamin oleh UUD 1945. (Lulu Anjarsari/mh)
 

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More