Selasa, 08 Maret 2011

UU Advokat ‘Incompatible’ dengan UUD 1945

Jakarta, MKOnline - Sidang lanjutan pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) kembali digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (8/3), di Ruang Sidang Pleno MK. Tiga perkara sekaligus disidangkan MK, yakni perkara Nomor 66/PUU-VIII/2010, 71/PUU-VIII/2010, serta 79/PUU-VIII/2010. Sebanyak 22 warga negara yang berprofesi sebagai advokat tercatat sebagai pemohon dalam tiga perkara ini, di antaranya Nursyahbani Katjasungkana, H. F. Abraham Amos, S.f. marbun, dan lainnya.
Dalam sidang mendengarkan keterangan Pemerintah, DPR, dan Saksi/Ahli Pemohon, para pemohon mengajukan beberapa orang ahli, di antaranya Mantan Hakim Konstitusi Syarifuddin Natabaya. Natabaya memaparkan bahwa Pasal 28 ayat (1) UU advokat tidak sesuai dengan UUD 1945. “Dalam menafsirkan undang-undang dasar, kita juga harus melihat kepada ketentuan-ketentuan di negara lain. Dalam American Convention of Human Rights dikatakan bahwa sesuatu organisasi profesional mempunyai kebebasan untuk berserikat, tidak boleh ada pemaksaan dari Pemerintah agar mereka bersatu.  Oleh karena itu, undang-undang ini  (UU Advokat, red.) memiliki kecenderungan pemaksaan untuk satu, maka undang-undang ini incompatible dengan UUD kita,” urainya.
Disinggung mengenai Mahkamah Agung (MA) yang melarang adanya wadah lain bagi para advokat, Natabaya menjelaskan bahwa MA tidak memiliki kewenangan terhadap hal tersebut. “Sesuatu hal yang kurang tepat apabila MA melarang orang yang disumpahnya untuk bersidang karena itu bukan syarat konstitusif untuk menjadi seorang advokat. Oleh karena itu, mengenai hal ini kewenangan MA melarang, red.) adalah sesuatu yang di luar koridornya,” paparnya.
Sementara itu, Nudirman Munir yang mewakili DPR mengungkapkan bahwa adanya satu organisasi advokat justru memudahkan para advokat. Nudirman juga menjelaskan bahwa yang terjadi hanyalah perbedaan pandangan. “Selain itu, para advokat yang telah memenuhi Pasal 2 dan Pasal 3 undang-undang a quo wajib disumpah di Pengadilan negeri. Pengadilan negeri wajib mengambil sumpah para advokat yang telah memenuhi syarat tersebut tanpa melihat darimana organisasi para advokat itu berasal,’ ujarnya.
Nudirman juga menguraikan bahwa permohonan pemohon bukanlah persoalan konstitusionalitas norma pasal-pasal a quo. Selain itu, lanjut Nudirman, tidak terjadi pelanggaran hak konstitusional Pemohon karena organisasi advokat tetap dapat melakukan aktibitasnya memberikan jasa hukum bagi para pencari keadilan. “Oleh karena itu, MK tidak berwenang untuk menyelesaikan sengketa antar-organisasi advokat ini. Yang seharusnya menyelesaikan adalah para advokat itu sendiri,” katanya.
Sama halnya dengan DPR, Pemerintah yang diwakili oleh Mualimin Abdi menjelaskan bahwa kedudukan pemohon tidak dalam posisi yang dirugikan atau terhalangi dalam melakukan aktivitas memberikan jasa hukum terhadap para pencari keadilan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Ketentuan yang dimohonkan oleh para pemohon tidak terkait dengan hak konstitusional pemohon ataupun konstitusionalitas pasal. “Pasal-pasal yang diajukan untuk diuji telah diputus oleh MK pada sidang pleno tanggal 30 November 2006. Perselisihan antarorganisasi advokat sehrusnya diselesaikan di pengadilan umum,’” jelasnya.
Dalam sidang tersebut, Pemohon juga menghadirkan beberapa saksi fakta yang menjelaskan bahwa jika keberadaan PERADI akan dijadikan satu organisasi advokat, maka PERADI harus mengadakan musyawarah nasional untuk mengakomodir  pasal 18 ayat (2) UU Advokat. Dalam pokok permohonannya, Pemohon mendalilkan bahwa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 28 ayat (1), Pasal 30 ayat (2) dan Pasal 32 ayat (3) dan (4). (Lulu Anjarsari/mh)
 

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More