Selasa, 15 Maret 2011

Uji Konstitusionalitas UU Hak Tanggungan

Jakarta, MKOnline - Sidang lanjutan pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (15/3). Sidang perkara Nomor 70/PUU-VIII/2010 mengagendakan mendengarkan keterangan Pemerintah, DPR, Saksi Ahli Pemohon/Pemerintah dimohonkan oleh Uung Gunawan.
Pemerintah membantah adanya kerugian konstitusional yang dialami Pemohon dengan berlakunya Pasal 6 dan pasal 15 ayat (1) huruf b UU Nomor 4 Tahun 1996. “Pemerintah menjamin pemohon tidak dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya pasal a quo. Karena adalam pasal 20 ayat (1) huruf b masih dimungkinkan Pemohon untuk memberikan jasa bantuan hukum melalui pelaksanaan title eksekutorial yang tercantum dalam sertifikat hak tanggungan melalui mekanisme hukum acara perdata,” jelas perwakilan dari Pemerintah.
Selain itu bahwa Pasal 6 UU Hak Tanggungan pada prinsipnya hanya memberi kewenangan  pada pemberi hak tanggungan pertama selaku eksekutor untuk mengajukan permohonan praktik eksekusi pada KPKNL dan bukan melalui kuasa. Sedangkan Pasal 15 ayat (1) huruf b mengatur tentang surat kuasa untuk membebankan hak tanggungan  yang tidak terkait Pasal 6. “Semestinya Pasal a quo tidak dilihat sebagai pasal yang berdiri sendiri karena UU Hak Tanggungan bertujuan untuk menjamin perlindungan terhadap semua pihak, seperti kreditur, debitur, dan pihak-pihak lain yang berkepentingan terhadap hak atas tanah. Selain itu, kewenangan advokat untuk memberikan jasa bantuan hukum di dalam ekseskusi hak tanggungan dijamin oleh UU a quo,” urai perwakilan dari Pemerintah.
Menurut Pemerintah, jika permohonan Pemohon diterima, maka akan berdampak pada berbagai hal. “Jikalaupun seandainya anggapan Pemohon benar adanya dan dikabulkan oleh MK dapat berdampak pada berbagai hal, di antaranya hilangnya makna terhadap hak tanggungan. Selain itu, UU Hak Tanggungan tidak bisa memberikan jamiman perlindungan kepada seluruh pemegang hak tanggungan dari debitur yang beritikad tidak baik melunasi utangnya sehingga tidak ada lagi pijakan dan dasar utama bagi kreditur dalam pelunasan utangnya,” papar wakil dari pemerintah.
Sementara itu, Pemohon yang mengajukan Ahli Pemohon, Zulkifli Harahap menjelaskan bahwa dalam penjelasan Pasal 15 ayat (1) huruf b mengatur tentang teknis pemasangan hak tanggungan. “Eksekusi hak tanggungan terjadi apabila debitur melakukan cidera janji atau wan prestasi terhadap perjanjian pokok, maka kreditur diberikan hak preference untuk menjual barang jaminan melalui lelang,” jelasnya.
Zulkifli juga menjelaskan bahwa tidak mungkin seseorang menjual barang jaminan tanpa adanya sesuatu yang sudah diperjanjikan lebih dahulu dengan ddidaftarkannya penerima hak tanggungan, maka penerima hak tanggungan memiliki hak yang didahulukan untuk menerima pelunasan atas utang-utangnya. “Tidak ada keterkaitan antara mekanisme pemasangan hak tanggungan dengan kuasa hukum mengajukan permohonan eksekusi melalui lembaga lelang. Sudah berbeda lembaganya, SKMHT merupakan pengantar untuk melakukan APHT,” ujarnya.
Pemohon beserta kuasa hukumnya mengajukan pengujian terhadap Pasal 6 dan pasal 15 ayat (1) huruf b UU Nomor 4 Tahun 1996. Pada persidangan kali ini Pemohon mendapat kesempatan untuk menjelaskan perbaikan permohonan yang sudah diberikan ke Mahkamah sebelumnya pada  9 Desember 2010. (Lulu Anjarsari/mh)

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More