Jumat, 18 Maret 2011

Dirugikan Membayar Pajak Dua Kali, UU BPHTB Dipersoalkan

Jakarta, MKOnline - Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan  (BPHTB) diujikan ke Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (18/3), di Gedung MK. Kepaniteraan MK meregistrasi perkara yang diajukan oleh Fahri Alabudi ini dengan Nomor 22/PUU-IX/2011.
Dalam pokok permohonannya, Fahri yang tidak didampingi kuasa hukum merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 2 ayat (2) huruf  b UU BPHTB. Pasal 2 ayat (2) huruf b UU tersebut menyatakan bahwa “Ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 2 berbunyi sebagai berikut: … (2) Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi: b. pemberian hak baru karena: 1). kelanjutan pelepasan hak; 2). di luar pelepasan hak”.
“Kebijakannya bertentangan dengan UUD 1945 karena pengaturan mengenai pajak BPHTB sudah diatur dalam pasal lain. Namun dalam pasal a quo dikenalkan kembali sebagai kelanjutan. Permohonan saya memohon agar pasal dibatalkan demi keadilan,” jelasnya.
Menurut Fahri, dirinya membeli sebidang tanah saat jual beli yang sudah dikenakan pajak dan saat pemberian hak baru Pemohon dikenakan pajak lagi. “Alasan dikenakan pajak itu karena adanya pelepasan hak dalam pasal a quo, Yang Mulia,” ujarnya.
Ketua Hakim Panel Achmad Sodiki menyarankan agar Pemohon memperbaiki permohonannya sesuai dengan standar baku yang ada di Kepaniteraan MK. “Pemohon bisa datang ke Kepaniteraan MK untuk melihat permohonan yang pernah diajukan ke MK. Selain itu, harus mencantukan norma dalam UUD 1945 sebagai batu uji. Pemohon harus membedakan antara Hak Milik dan Hak Guna Bangunan merupakan dua hal berbeda. Pemohon harus menguraikan argumentasi pada permohonan Pemohon,” katanya.
Sodiki menjelaskan bahwa Pemohon harus menguraikan tentang kedudukan hukum dan dalil-dalil dalam permohonan. Sementara itu, Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi meminta agar Pemohon mengkaji kembali mengenai undang-undang yang diajukan. “Pemohon harus teliti, apa benar undang-undang ini masih berlaku? Jangan-jangan undang-undang ini sudah tidak berlaku lagi,” jelasnya. (Lulu Anjarsari/mh)

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More