Selasa, 22 Maret 2011

Permohonan TPI Uji UU Kepailitan Ditolak MK

Jakarta, MKOnline – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengucapan putusan pengujian UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Pasal 16 ayat 1), Selasa (22/3). Dalam amar putusan yang dibacakan langsung oleh Ketua MK yang bertindak sebagai ketua pleno persidangan, Moh. Mahfud MD menyatakan bahwa Mahkamah menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.

Sebelumnya, Pemohon, Chudry Sitompul dkk sebagai kuasa PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) merasa hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 16 ayat (1) UU Kepailitan. Pasalnya, Pemohon menganggap pasal tersebut telah memberikan kewenangan sangat luas kepada kurator, sehingga berpotensi menimbulkan kerugian sangat besar bagi Pemohon selaku debitor pailit yang akan mengancam dinegasikannya hak-hak dasarnya. Selain itu, pasal tersebut dapat merugikan seluruh pihak yang terkait dengan dirinya, antara lain hak kelangsungan hidup karyawan, mitra kerja Pemohon, dan pihak lainnya yang notabene jumlahnya ribuan jiwa atas keputusan pailit yang pada kenyataannya masih belum mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dalam perkara pailit Nomor 52/Pailit/2009/PN.Niaga.JKT.PST tanggal 14 Oktober 2009.

Terhadap hal itu kemudian Mahkamah berpendapat, seperti yang dibacakan Hakim Konstitusi Harjono, bahwa kewenangan penghentian sementara penggunaan kewenangan kurator dalam menjalankan kewenangannya pada perkara pailit bukan merupakan kewenangan MK yang sudah diatur secara tegas dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang kemudian diulang kembali dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Selain itu, Mahkamah juga berpendapat bahwa permohonan provisi yang diajukan Pemohon tidak terkait langsung dengan pokok permohonan a quo. Pertama, dalam pengujian undang-undang (judicial review), putusan Mahkamah hanya menguji norma abstrak, tidak mengadili kasus konkret seperti penghentian sementara kewenangan kurator dalam perkara pailit yang menimpa Pemohon. “Karena permohonan provisi Pemohon sudah masuk ke kasus konkret maka Mahkamah tidak dapat mengabulkannya,” ujar Harjono membacakan pertimbangan hukum Mahkamah. Mahkamah harus menolak permohonan Pemohon yang terkait kasus konkret dikarekan putusan MK bersifat erga omnes atau berlaku umum dan mengikat untuk semua kasus di seluruh Indonesia. Kalau hal itu sampai dilakukan berarti bertentangan dengan sifat erga omnes tersebut.

Selanjutnya, dalam pokok permohonan Pemohon, terhadap dalil Pemohon yang menyatakan pasal a quo melanggar prinsip perlakuan, perlindungan, jaminan, dan kepastian hukum yang adil, Mahkamah  berpendapat, pasal tersebut justru bertujuan untuk memberikan keseimbangan, keadilan, dan kepastian hukum dalam pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit baik terhadap debitor maupun kreditor. “Keberadaan Pasal  a quo tidak menutup hak debitor untuk melakukan upaya hukum kasasi atau PK, sebaliknya tidak pula menutup hak kreditor untuk mendapatkan pemenuhan piutangnya, jelas Mahkamah.

Mahkamah juga berpendapat, dengan dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga maka status hukum debitor tidak cakap melakukan perbuatan hukum, seperti menguasai dan mengurusi harta sehingga sejak adanya putusan pailit dari Pengadilan Niaga secara serta merta hak menguasai dan mengurusi hartanya dialihkan dan/atau dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas. “Bahwa dengan keberadaan Pasal  a quo dengan demikian diharapkan dapat mencegah tindakan debitor yang beritikad buruk untuk mengalihkan atau memindahtangankan hartanya atau melakukan perbuatan hukum yang dapat mengurangi nilai hartanya, sebaliknya harta tersebut dapat digunakan untuk membayar kembali seluruh utang debitor secara adil, merata, dan berimbang kepada kreditor,” lanjut Mahkamah.

Selanjutnya terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa pasal tersebut berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang oleh kurator dengan mengambil alih secara sewenang-wewenang hak milik Pemohon sehingga bertentangan dengan Pasal 28H UUD 1945, Mahkamah menganggap kerugian yang dialami Pemohon in casu TPI tidak berkaitan dengan permasalahan konstitusionalitas norma, melainkan permasalahan penerapan norma. (Yusti Nurul Agustin/mh)

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More