Kamis, 17 Maret 2011

UU Pelayaran Memberikan Hak Sama Badan Usaha Bongkar Muat

Jakarta, MKOnline - Sidang lanjutan terhadap pengujian Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran (UU Pelayaran) digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (17/3), di ruang Sidang Pleno MK. Kepaniteraan MK meregistrasi perkara ini dengan Nomor 74/PUU-VIII/2010. Perkara yang diajukan oleh Ketua Umum DPP APBMI  Bambang K. Rahwandi, Sekretaris Umum DPP APBMI Arlen Sitompul, serta Kabid Org. Hukum dan Otoda APBMI M. Fuadi mengagendakan mendengarkan keterangan Pemerintah, DPR, dan Saksi/Ahli Pemohon.

Dalam keterangannya, Pemerintah yang diwakili oleh Dirjen Perhubungan Laut Sunaryo menjelaskan bahwa ketentuan Pasal 90 ayat (3) huruf  g tidak menghilangkan hak pemohon untuk melakukan kegiatan bongkar muat sebagaimana telah diatur dalam pasal 31, Pasal 32, serta Pasal 33 UU Pelayaran. “Selain itu, menurut Pemerintah, apa yang dialami Pemohon tidak terkait dengan konstitusionalitas pasal, tetapi terkait dengan implementasi atau operasionalisasi di lapangan antara para pemohon dengan badan usaha (pelaku usaha di pelabuhan),” jelasnya.

Selain itu, lanjut Sunaryo, terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa pasal a quo bersifat diskriminatif terhadap pelaku ekonomi adalah tidak benar. Menurut Sunaryo,  pasal a quo mengatur mengenai kegiatan pelayanan dan penyediaan jasa bongkar muat barang. “Seluruh badan usaha pelabuhan dapat melakukan kegiatan bongkar muat barang dan tidak terbatas hanya pada badan usaha tertentu (PT Pelindo, red.).  Ketentuan a quo  justru memberikan hak yang sama kepada badan usaha yang memiliki izin untuk melakukan bongkar muat di pelabuhan,” urainya.

Pemerintah, lanjut Sunaryo, berpendapat bahwa Pemohon kurang memahami mengenai ketentuan pasal a quo karena ketentuan dalam Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor Se6/2002 tidak ada kaitannya dengan pasal a quo. Menurut Sunaryo, ketentuan surat edaran Menhub tersebut mengacu pada UU Nomor 21 Tahun 1992 tentang pelayaran telah dinyatakan tidak berlaku lagi sejak berlakunya UU Nomor 17 Tahun 2008. “Oleh karena itu, anggapan Pemohon merupakan puncak upaya sistematis, terstruktur dan terencana untuk mengurangi peran perusahaan bongkar muat tidak beralasan hukum,” ujarnya.

Sementara itu, DPR menganggap dalil-dalil yang diungkapkan Pemohon berlebihan. Menurut DPR, telah dipisahkan secara jelas fungsi regulator yang dilakukan oleh Pemerintah dengan operator di Pelabuhan yang salah satunya dilakukan oleh PT Pelindo. “Dengan pemisahan tersebut, dapat mendorong minat dan peran serta dunia swasta untuk membangun persaiangan sehat. UU pelayaran juga menghapus praktik monopoli dan memberikan porsi kepada pemerintah, Pemda, dan swatsa secara proporsional yang diberikan berdasarkan perundang-undangan. Dengan demikian dalil pemohon tentang penyelenggaran monopoli oleh PT Pelindo berlebihan. Dalam UU a quo tidak ada pengaturan mengenai PT Pelindo,” jelas wakil dari DPR.

Kemudian Pemohon diminta untuk memahami UU pelayaran secara sistematis. Penafsiran yang tidak sistematis dan parsial menimbulkan pemahaman yang kontradiktif dari UU pelayaran. “Pemohon harus memahami UU Pelayaran secara komprehensif dengan memperhatikan keterkaitan UU per pasal,” papar wakil DPR.

Sementara itu, Saksi Pemohon Sodiq Harjono menganggap bahwa ketentuan a quo menjadi sarana praktik yang tidak tepat oleh PT Pelindo. Menirut Sodiq, semua perusahaan bongkar muat harus menggunakan dokumen perizinan PT Pelindo jika ingin melakukan kegiatan bongkar muat. “Hal ini merupakan pembunuhan karakter bagi perusahaan bongkar muat dan menyebabkan kerugian bagi perusahaan bongkar muat,” ujarnya.

Hal serupa juga diungkapkan oleh  Saksi Pemohon Suhaili yang menganggap ketentuan a quo merugikan perusahaan bongkar muat baik secara materi maupun dalam pengembangan perusahaan. “Pada setiap kegiatan bongkar muat di pelabuhan, harus menggunakan BUP milik PT Pelindo, padahal kami harus bayar kontribusi bongkar muat sendiri,” kata Suhaili.

Dalam permohonannya, Pemohon sebagai badan hukum dirugikan hak-hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 90 ayat (3) huruf g UU Pelayaran. Pemohon menganggap pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 terutama Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2). (Lulu Anjarsari/mh)

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More