Kamis, 31 Maret 2011

UU Advokat Berpotensi Menegasikan Hak Konstitusional

Jakarta, MKOnline - Kehadiran Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat dapat dianggap bertentangan dengan konstitusi jika rumusannya mengakibatkan tidak tercapainya tujuan dibentuknya UU tersebut. “Jika ada yang terganjal karena adanya frasa ‘satu-satunya’ dalam UU Advokat, maka pasal tersebut betentangan dengan UUD 1945,” ujar Saldi Isra, ahli yang dihadirkan oleh Pemohon dalam perkara pengujian undang-undang No. 18 Tahun 2003, Kamis (31/3) di ruang sidang Pleno MK. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Saksi/Ahli dari Pemohon dan Pemerintah.
Dalam perkara tersebut terdapat tiga Pemohon, dengan nomor perkara 66/PUU-VIII/2010, 71/PUU-VIII/2010, dan 79/PUU-VIII/2010. Para Pemohon yang berjumlah 22 orang, semuanya berprofesi sebagai Advokat. Pasal-pasal yang diuji oleh para Pemohon antara lain Pasal 28 Ayat (1), Pasal 30 ayat (2), serta Pasal 32 ayat (3) dan  (4). Untuk Pasal 28 ayat (1), Pemohon menyatakan, frasa ‘satu-satunya’ telah bertentangan dengan konstitusi. Karena, setidaknya, telah membatasi hak untuk berserikat dan berkumpul. Beberapa organisasi Advokat pun menjadi Pihak Terkait dalam perkara ini.
Menurut Saldi, untuk menguji konstitusionalitas suatu norma harus memperhatikan tiga hal, yakni kepastian, kemanfaatan dan keadilan hukum. Namun yang paling penting dari ketiga prinsip itu, menurut dia, adalah kemanfaatan dari berlakunya suatu norma. “Kepastian jadi tidak ada gunanya jika tidak ada manfaat,” tegasnya. Oleh karena itu, ia berkesimpulan, Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat berpotensi atau bahkan telah bertentangan dengan konstitusi. Sebab, berpotensi atau telah menegasikan hak-hak konstitusional seseorang untuk menjadi advokat atau bergabung dalam organisasi advokat tertentu.
Pada kesempatan itu, Pemohon juga menghadirkan Ahli yang telah bersaksi pada persidangan sebelumnya, yakni Todung Mulya Lubis dan H.A.S Natabaya. Dalam paparannya Todung lebih membahas aspek pemenuhan hak asasi manusia, sedangkan Natabaya menyoroti pertimbangan-pertimbangan dibalik pembentukan pasal tersebut. Natabaya merupakan salah satu tokoh yang terlibat langsung dalam pembuatan UU Advokat itu.
Todung menekankan pentingnya kemajemukan dalam pembentukan sebuah organisasi. Ia pun menjelaskan, dalam konteks keberadaan suatu organisasi yang majemuk, penting adanya kesamaan hak dan kewajiban antar organisasi. Artinya, tidak ada organisasi advokat yang memiliki otoritas yang lebih tinggi dari organisasi advokat lainnya. Kemudian, jika ditilik dari hal ini, maka ia berpendapat, selama ini masih terdapat ketidaksetaraan hak antar organisasi yang ada. “Tidak ada equality,” ujarnya. Ia pun menyarankan untuk dibentuk lembaga khusus yang bersifat independen yang mengurusi ujian bagi para calon advokat nantinya.
Sementara itu Natabaya, menegaskan, frasa ‘satu-satunya’ itu menutup kemungkinan dibentuknya organisasi lain. Pasal 32 ayat (3) UU Advokat, lanjut Natabaya, telah mencantumkan kata-kata ‘untuk sementara’, yang artinya jika telah terbentuk organisasi advokat maka organisasi-organisai advokat lainnya sudah tidak ada lagi.
Selain itu, ia juga mengakui bahwa saat pembahasan UU Advokat, tidak menggunakan naskah akademik. “Itu berdasarkan masukan para anggota saja,” katanya. Ia juga menekankan bahwa pemegang kedaulatan tertinggi adalah advokat yang menjadi para anggota asosiasi, jadi bukanlah asosiasi-nya.
Sedangkan Pihak Terkait, pada kesempatan itu menghadirkan Ahli Maruarar Siahaan. Dalam keterangannya, ia menegaskan bahwa UU Advokat adalah inkonstitusional. Karena, menurutnya, Pasal 28, Pasal 30 dan Pasal 32 UU Advokat telah bertentangan dengan konstitusi. (Dodi/mh)

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More