Kamis, 10 Maret 2011

Syarat Pahlawan Nasional Seharusnya ‘Beyond Call of Duty’

Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pleno Pengujian Undang-Undang (PUU) No. 20 Tahun 2009 tentang  Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (Pasal 1 angka 4, Pasal 16 ayat (1) huruf b, Pasal 25, dan pasal 26)., Kamis (10/3), di Ruang Sidang Pleno MK.  Sidang perkara Nomor 67/PUU-VIII/2010 ini beragendakan mendengar keterangan pemerintah, DPR, dan saksi/ahli dari Pemohon dan Pemerintah.
Dalam keterangannya, Pemerintah menjelaskan bahwa permohonan pemohon bukan mengenai masalah konstitusionalitasnya. “Permohonan Pemohon lebih karena sikap pro dan kontra rencana pemberian gelar terhadap mantan Presiden Soeharto. Pertanyaan adalah apakah rencana pemberian gelar terhadap mantan presiden soeharto tidak dilakukan Pemohon akan tetap mengajukan permohonan pengujian UU a quo? Karena pada dasarnya, Pemohon tidak menolak rencana pemberian gelar terhadap warga negara lainnya,” ujar wakil dari Pemerintah.
Menurut Pemerintah, pemberian gelar tanda jasa dan gelar kehormatan harus diatur sedemikian rupa agar sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 sehingga nilai dan simbol-simbol tersebut tetap terjaga. Oleh karena itu, pemberian gelar tanda jasa dan gelar kehormatan harus dilakukan dengan cara yang selektif, objektif, dan matang. Pemberian gelar tanda jasa dan gelar kehormatan akan berjalan dengan baik jika diatur dalam undang-undang seperti UU a quo. Menurut Pemerintah, pasal yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak merugikan hak konstitusional Pemohon. Pasal 1 angka 4 hanyalah merupakan definisi dari pahlawan nasional, oleh karenanya hal tersebut tidak menimbulkan kerugian konstiusional Pemohon,” urai wakil dari Pemerintah.
Hal senada juga diungkapkan oleh perwakilan dari DPR, Adang Darajatun yang menjelaskan bahwa tidak ada hak konstitusional Pemohon yang berpotensi dengan adanya ketentuan a quo. Adang menuturkan bahwa pemohon tidak menjelaskan secara konkret kerugian yang dialami Pemohon. “Dan Pemohon hanya mengungkapkan kekhawatiran dan asumsi di masa mendatang jika pasal-pasal a quo masih berlaku. Selanjutnya, para pemohon juga mengkhawatirkan orang-orang yang terlibat kejahatan kemanusiaan, diktator, dan kejam akan mudah mendapat gelar pahlawan nasional,” paparnya.
DPR berpandangan berlakunya pasal a quo tidak ada relevansinya dengan hak konstitusional yang digunakan sebagai batu uji UUD 1945. Selain itu, lanjut Adang, tidak ada hubungan sebab-akibat antara kerguan konstitusional yang didalilkan para pemohon dengan ketentuan pasal a quo. “Karena ketentuan pasal a quo mengatur persyaratan untuk mendapatkan gelar pahlawan, tanda jasa dan gelar kehormatan. Ketentuan a quo tidak ada kaitannya dengan hak konstitusional Pemohon. DPR juga berpendapat bahwa para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo,” urainya.
Pemohon dalam kesempatan ini, menghadirkan seorang Ahli Pemohon, Rocky Gerung menjelaskan bahwa permohonan para pemohon bukan hanya sekadar batu uji prinsip-prinsip hukum. “Kita ingin generasi mendatang mengetahui ide-ide yang kita operasionalkan pada masa reformasi. Keadaan sosiologis ini akan menjadi pertimbangan majelis Hakim (Konstitusi, red.). Karena lubang moral yang ditinggalkan oleh orde baru hanya ditutup dengan prinsip HAM. Seluruh desain reformasi sesungguhnya untuk menghargai HAM dan itu merupakan kontras kualitas antara orde yang baru dengan yang lama. Kita menikmati hasil perjuangan itu bukan karena partai politik, tetapi perjuangan pelaku HAM,” jelasnya.
Menurut Rocky, apa yang dimintakan oleh para pemohon, sebetulnya bukan untuk kepentingan para pemohon sendiri, tetapi juga untuk generasi mendatang agar bisa sepenuhnya merasakan suatu negara yang demokratis. “Apa yang diungkapkan oleh Pemerintah dan DPR terlalu teknis. Seharusnya persyaratan untuk menjadi pahlawan adalah beyond call of duty. Kalau itu yang kita pergunakan sebagai persyaratan, maka permohonan pemohon beralsan karena misalnya Soeharto tidak melakukan beyond call of duty,” katanya.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon merasa hak konstitusionalnya yang diberikan oleh pasal 28C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, berupa jaminan untuk memajukan diri dalam memperjuangkan kepentingan kolektif untuk membangun kemajuan masyarakat bangsa dan negara, telah dirugikan dan dilanggar oleh Pasal 1 angka 4, Pasal 25 dan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar Tanda Jasa, Tanda Kehormatan. (Lulu Anjarsari)
 

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More