Kamis, 31 Maret 2011

UU Advokat Berpotensi Menegasikan Hak Konstitusional

Jakarta, MKOnline - Kehadiran Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat dapat dianggap bertentangan dengan konstitusi jika rumusannya mengakibatkan tidak tercapainya tujuan dibentuknya UU tersebut. “Jika ada yang terganjal karena adanya frasa ‘satu-satunya’ dalam UU Advokat, maka pasal tersebut betentangan dengan UUD 1945,” ujar Saldi Isra, ahli yang dihadirkan oleh Pemohon dalam perkara pengujian undang-undang No. 18 Tahun 2003, Kamis (31/3) di ruang sidang Pleno MK. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Saksi/Ahli dari Pemohon dan Pemerintah.
Dalam perkara tersebut terdapat tiga Pemohon, dengan nomor perkara 66/PUU-VIII/2010, 71/PUU-VIII/2010, dan 79/PUU-VIII/2010. Para Pemohon yang berjumlah 22 orang, semuanya berprofesi sebagai Advokat. Pasal-pasal yang diuji oleh para Pemohon antara lain Pasal 28 Ayat (1), Pasal 30 ayat (2), serta Pasal 32 ayat (3) dan  (4). Untuk Pasal 28 ayat (1), Pemohon menyatakan, frasa ‘satu-satunya’ telah bertentangan dengan konstitusi. Karena, setidaknya, telah membatasi hak untuk berserikat dan berkumpul. Beberapa organisasi Advokat pun menjadi Pihak Terkait dalam perkara ini.
Menurut Saldi, untuk menguji konstitusionalitas suatu norma harus memperhatikan tiga hal, yakni kepastian, kemanfaatan dan keadilan hukum. Namun yang paling penting dari ketiga prinsip itu, menurut dia, adalah kemanfaatan dari berlakunya suatu norma. “Kepastian jadi tidak ada gunanya jika tidak ada manfaat,” tegasnya. Oleh karena itu, ia berkesimpulan, Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat berpotensi atau bahkan telah bertentangan dengan konstitusi. Sebab, berpotensi atau telah menegasikan hak-hak konstitusional seseorang untuk menjadi advokat atau bergabung dalam organisasi advokat tertentu.
Pada kesempatan itu, Pemohon juga menghadirkan Ahli yang telah bersaksi pada persidangan sebelumnya, yakni Todung Mulya Lubis dan H.A.S Natabaya. Dalam paparannya Todung lebih membahas aspek pemenuhan hak asasi manusia, sedangkan Natabaya menyoroti pertimbangan-pertimbangan dibalik pembentukan pasal tersebut. Natabaya merupakan salah satu tokoh yang terlibat langsung dalam pembuatan UU Advokat itu.
Todung menekankan pentingnya kemajemukan dalam pembentukan sebuah organisasi. Ia pun menjelaskan, dalam konteks keberadaan suatu organisasi yang majemuk, penting adanya kesamaan hak dan kewajiban antar organisasi. Artinya, tidak ada organisasi advokat yang memiliki otoritas yang lebih tinggi dari organisasi advokat lainnya. Kemudian, jika ditilik dari hal ini, maka ia berpendapat, selama ini masih terdapat ketidaksetaraan hak antar organisasi yang ada. “Tidak ada equality,” ujarnya. Ia pun menyarankan untuk dibentuk lembaga khusus yang bersifat independen yang mengurusi ujian bagi para calon advokat nantinya.
Sementara itu Natabaya, menegaskan, frasa ‘satu-satunya’ itu menutup kemungkinan dibentuknya organisasi lain. Pasal 32 ayat (3) UU Advokat, lanjut Natabaya, telah mencantumkan kata-kata ‘untuk sementara’, yang artinya jika telah terbentuk organisasi advokat maka organisasi-organisai advokat lainnya sudah tidak ada lagi.
Selain itu, ia juga mengakui bahwa saat pembahasan UU Advokat, tidak menggunakan naskah akademik. “Itu berdasarkan masukan para anggota saja,” katanya. Ia juga menekankan bahwa pemegang kedaulatan tertinggi adalah advokat yang menjadi para anggota asosiasi, jadi bukanlah asosiasi-nya.
Sedangkan Pihak Terkait, pada kesempatan itu menghadirkan Ahli Maruarar Siahaan. Dalam keterangannya, ia menegaskan bahwa UU Advokat adalah inkonstitusional. Karena, menurutnya, Pasal 28, Pasal 30 dan Pasal 32 UU Advokat telah bertentangan dengan konstitusi. (Dodi/mh)

Rabu, 30 Maret 2011

Pemerintah: Mempertentangkan UU PBB dengan UU Perikanan Bukan Ranah MK

Jakarta, MKOnline - Pengujian konstitusional materi UU 12/1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB), kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (30/3/2011). Sidang Pleno untuk perkara 77/PUU-VIII/2010 ini mengagendakan mendengar keterangan Pemerintah dan Ahli Pemohon.

Permohonan ini diajukan oleh PT West Irian Fishing Industries, PT Dwi Bina Utama, PT Irian Marine Product Development, dan PT Alfa Kurnia. Para Pemohon mengujikan Pasal 4 ayat (1) UU PBB yang menyatakan: ““Yang menjadi Subyek Pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.”

Menurut para Pemohon, berlakunya ketentuan tersebut berdampak munculnya beban pungutan berganda yaitu PBB dan pungutan bukan pajak. Ketentuan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil, sehingga menurut para Pemohon, Pasal 4 ayat (1) UU PBB bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

Pemerintah melalui Dirjen Pajak dalam keterangannya menyatakan para Pemohon tidak dapat mengonstruksikan kerugian konstitusional akibat berlakunya norma yang diujikan. ”Para Pemohon tidak secara tegas dan jelas menguraikan kerugian konstitusionalitas yang dialami, baik yang bersifat aktual maupun potensial atas berlakunya norma yang dimohonkan untuk diuji tersebut,” tegas Dirjen Pajak Dr. Fuad Rahmany di hadapan Pleno Hakim MK.

Fuad mendalilkan Pasal 23A UUD 1945 mengamanatkan bahwa segala pengenaan beban pajak kepada rakyat harus dituangkan dalam UU. Penjabaran Pasal 23A UUD 1945 ini dibuktikan dengan terbitnya berbagai UU di bidang perpajakan yaitu, UU 6/1983, UU 7/1983, UU 8/1983, UU 19/1997, UU 13/1985, dan UU 12/1985. “Bahwa perundang-undangan di bidang perpajakan tersebut, termasuk Undang-Undang PBB, telah memuat ketentuan yang jelas, tegas, dan tidak mengandung arti ganda, atau memberikan peluang atau ditafsirkan lain. Bahkan, dalam Undang-Undang PBB telah diatur secara jelas dan tegas mengenai objek, subjek, tarif, dan sanksi,” papar Fuad Rahmany.

Pemerintah melalui Dirjen Pajak lebih jauh menanggapi permohonan mengenai kerugian akibat pemberlakuan pajak berganda, yaitu pengenaan PBB Usaha Bidang Perikanan berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) UUD PBB dan Pasal 48 Ayat (1) UU 31/2004 tentang Perikanan (UU Perikanan). Para Pemohon berpendapat, pungutan atas hasil produksi usaha perikanan lebih tepat dikenakan berdasarkan UU perikanan, dan bukan berdasarkan UU PBB.

Menurut Pemerintah, para Pemohon secara tidak langsung mempertentangkan antara UU PBB dengan UU Perikanan. Sehingga Pemerintah berpendapat, pengujian UU terhadap UU bukanlah merupakan objek yang dapat diajukan uji materiil di MK. “Seandainya pun benar (quad non), dalam penerapan ketentuan kedua undang-undang tersebut terdapat pertentangan, hendaknya para Pemohon mengajukan permohonan melalui mekanisme legislative review dan bukan constitutional review,” tegas Fuad Rahmany.

Berdasarkan ketentuan Pasal 4 Ayat (1) UU PBB, kata Fuad, subjek PBB termasuk orang atau badan yang menguasai dan atau peroleh manfaat atas perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia. Ketentuan tersebut berlaku bagi semua orang atau badan tanpa diskriminasi. “Sangatlah tepat apabila para Pemohon selaku perusahaan di bidang penangkapan ikan menjadi subjek PBB,” simpul Fuad.

“Oleh karena itu, Pemerintah mohon agar Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi memutuskan untuk menyatakan permohonan para Pemohon dalam pengujian Pasal 4 ayat (1) UU PBB terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima,” pinta Fuad Rahmany di ujung paparannya.

Ketentuan Tak Jelas

Berbeda dengan keterangan Pemerintah, Dr. Dwi Andayani Budisetyowati, S.H.,M.H. yang didapuk Pemohon sebagai Ahli mengatakan ketentuan dalam UU PBB kurang jelas. Sebab  peraturan pelaksanaannya mulai dari Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan, Keputusan Dirjen dan Surat Edaran Dirjen Keuangan, sama sekali tidak menyebut Usaha Perikanan. “Tidak ada satu pun judul yang menyebut-nyebut soal areal laut, artinya, usaha perikanan”, papar Dwi Andayani.

Ahli Pemohon selanjutnya, Arif Satria, menyontohkan tiga model fishing right di yang berlaku di Jepang. Pertama common fishing right yaitu kegiatan perikanan berupa penangkapan dengan jaring. Kedua, set net fishing right, penangkapan menggunakan jaring tapi bersifat statis. Ketiga, demarcated fishing right yaitu kegiatan budidaya kelautan. “Jadi setiap nelayan memiliki titik-titik ordinat tertentu bahwa misalnya si A akan memiliki titik ordinat sekian untuk mengembangkan perikanan budidaya,” terang Arif.

Arif Satria yang juga Anggota Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumber Daya Ikan ini dalam paparannya menyatakan, perikanan tangkap memang dihadapkan pada kondisi bahwa laut adalah sebuah common goods, dimana ciri-ciri common goods adalah high revellery dan low excludability. “Jadi izin yang dilakukan oleh pemerintah adalah izin pada satuan wilayah tertentu pada WPOP, yang kemudian dengan WPOP yang seluas itu untuk sekian jumlah kapal dan sekian jumlah pelaku,” terang Arif. Kegiatan perikanan tangkap pada intinya bukanlah merupakan kegiatan yang para pelakunya mendapatkan exclusive right.

Arif juga membeberkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari hasil perikanan. Tahun 2005, PNBP hasil perikanan Rp. 293 Miliar, tahun 2006 Rp. 215 Miliar, tahun 2007 Rp. 134 Miliar, tahun 2008 Rp. 104 Miliar, dan 2009 Rp. 90 Miliar. “Saya melihat makin lama makin menurun. Ini karena terkait dengan kondisi perikanan yang seperti itu, apalagi dengan kebijakan BBM yang luar biasa tingginya, maka banyak perusahaan-perusahaan yang gulung tikar, dan kemudian menyebabkan sumbangan sektor perikanan terhadap PNBP menjadi menurun. Dan saya perkirakan 2010 dan 2011, semakin turun lagi,” beber Arif. (Nur Rosihin Ana/mh)

Selasa, 29 Maret 2011

Pemerintah: Sertifikasi Veteriner dan Halal Tidak untuk Daging Anjing dan Babi

Jakarta, MKOnline - Sertifikasi veteriner tidak dilakukan terhadap daging anjing. Sebab menurut ketentuan Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (Office Internationale des Epizooties, OIE) dan Codex Alimentarius Commission (CAC), daging anjing tidak termasuk hewan potong untuk dikonsumsi manusia. Anjing termasuk kategori hewan kesayangan atau pet animal. Apabila daging anjing dikonsumsi oleh manusia, menurut OIE dan CAC dianggap melanggar prinsip kesejahteraan hewan atau animal welfare.
Begitu juga sertifikasi veteriner tidak dilakukan terhadap penjualan eceran daging babi tapi dilakukan pada unit usaha peternakan. “Sertifikasi veteriner terhadap babi dilakukan terhadap sistem produksi di unit usaha peternakannya yang harus memenuhi ketentuan kesehatan masyarakat veteriner, syarat kesehatan lingkungan dan perkandangan, tidak dilakukan terhadap penjualan eceran daging babi.”
Demikian simpulan keterangan Pemerintah yang disampaikan oleh Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, drh. Prabowo Respatiyo Caturroso,M.M.,Ph.D. di hadapan majelis Sidang Panel Khusus Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (29/3/2011). Keterangan ini merupakan tanggapan Pemerintah atas pengujian konstitusionalitas Pasal 58 Ayat (4) UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang dimohonkan oleh Deni Juhaeni, I. Griawan Wijaya, Netty Retta Herawaty Hutabarat, dan Bagus Putu Mantra.
Para pemohon yang berprofesi sebagai pedagang telur ayam, pedagang daging babi, pedagang daging anjing, dan peternak babi ini menyatakan hak-hak konstitusionalnya dirugikan akibat berlakunya Pasal 58 ayat (4) UU 18/2009 yang menyatakan: "Produk hewan yang diproduksi di dan/atau dimasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk diedarkan wajib disertai Sertifikat Veteriner dan Sertifikat Halal." Ketentuan tersebut menurut para Pemohon bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945.
Sidang perkara Nomor 2/PUU-IX/2011 ini dilaksanakan oleh Panel Khusus Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati sebagai Ketua Panel Khusus, didampingi Anggota Panel Khusus M. Akil Mochtar, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi dan Hamdan Zoelva.
Menurut Prabowo, usaha yang dijalani Pemohon 1, tidak termaksuk kategori jenis usaha yang diatur dalam Pasal 58 ayat (4) UU Peternakan dan Kesehatan Hewan. Sehingga berlakunya ketentuan pasal dan ayat tersebut tidak menimbulkan kerugian konstitusional bagi para Pemohon 1. yang berprofesi sebagai pedagang telur.
Sedangkan untuk Pemohon 2, Pemohon 3, dan Pemohon 4, yang masing-masing sebagai pedagang daging babi, pedagang daging anjing dan peternak babi, tidak mungkin usahanya disertai sertifikat halal sebagaimana Pasal 58 Ayat (4) UU Peternakan dan Kesehatan Hewan. Hal ini, lanjut Prabowo, sesuai dengan kriteria General Guidelines for Use of the Term “Halal” CAC/GL 24-1997.
Pengertian halal dalam ketentuan Pasal 58 Ayat (4) hanya ditujukan kepada hewan dan produknya yang dipersyaratkan. “Para pemohon sendiri menyatakan bahwa produk-produk yang dijualnya sebagai tidak halal,” tandas Prabowo.
Pemohon, kata Prabowo, kurang jeli memahami ketentuan pasal. “Pemohon seharusnya memperhatikan bahwa ketentuan Pasal 58 Ayat (4) UU Peternakan dan Kesehatan Hewan tidak berdiri sendiri, namun, berkaitan dengan Ayat (6) yang menyatakan, ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri Pertanian,” lanjutnya.

Implikasi Negatif
Pemerintah menanggapi permohonan uji materi ini justru berfikir sebaliknya. Sebab, jika ketentuan Pasal 58 Ayat (4) jika dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat, dikhawatirkan akan menimbulkan implikasi negatif yaitu, tidak ada jaminan keamanan dan kesehatan pangan bagi produk hewan yang diproduksi di/dan/atau dimasukkan ke wilayah RI untuk diedarkan.
Kemudian, kekhawatiran terjadinya disharmoni hukum, implikasi benturan antar UU karena penyusunan UU Peternakan dan Kesehatan Hewan mempertimbangkan semua produk UU yang telah diundangkan, antara lain UU 16/1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan, UU 7/1994 tentang Pengesahan Agreement Assembling the World Threat Organization, UU 7/1996 tentang Pangan, dan UU Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Sedangkan implikasi negatif lainnya yaitu terjadinya konflik horisontal antar pemeluk agama yang berbeda.
Berdasarkan dalil-dalil yang disampaikan dalam paparan Prabowo, Pemerintah berharap Mahkamah dalam putusannya berkenan menolak permohonan Para Pemohon seluruhnya. (Nur Rosihin Ana/mh)

Abu Bakar Ba’asyir Uji Konstitusionalitas KUHAP

Jakarta, Mkonline - Abu Bakar Ba’asyir mengajukan pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ke Mahkamah Konstitusi. Kepaniteraan MK meregistrasi perkara ini dengan Nomor 16/PUU-IX/2011.

Ba’asyir melalui kuasa hukumnya, HM Mahendradatta telah melakukan perbaikan seusai dengan saran Majelis Hakim Panel yang diketuai oleh Hamdan Zoelva. Sebelumnya, Pemohon mengajukan lima pasal dalam UUD 1945 sebagai batu uji. Namun, lanjut Mahendradatta, sesuai saran Majelis, Pemohon hanya menonjolkan satu pasal. yakni Pasal 28D ayat (1).

“Kami juga telah mencermati Putusan MK Nomor 018/PUU-VI/2006 dan menyepakati pendapat Mahkamah. Dalam pendapatnya, Mahkamah berpendapat, bahwa penahanan oleh penyidik atau penuntut umum harus didasarkan atas pertimbangan yang cukup rasional dan tidak dengan serta merta saja dilakukan penahanan yang hanya didasari keinginan subjektif  semata dari penyidik atau penuntut  umum,” urainya.

Mahendradatta menjelaskan bahwa Pemohon memahami pendapat Mahkamah tersebut sudah terkandung dalam muatan Pasal 21 ayat (1). Akan tetapi, lanjut Mahendradatta, norma tersebut tidak dapat diterapkan sama sekali sehingga terjadi kemacetan atau kebuntuan serta norma tidak jalan sama sekali.

“Oleh karena itu, dibutuhkan penafsiran yang mengikat. Tidak ada permasalahan dalam norma pada Pasal 21 ayat (1), namun permasalahan ada pada penafsiran pasal a quo. Dan hal tertsebut menjadi permanen, karena menjurus pada penafsiran yang sama, yaitu diskresi absolut dengan menentukan persyaratan melarikan diri ataupun merusakan barang bukti. Ini bukan masalah penerapan, tapi penafsiran. Jadi, ada penafsiran inkonstitusional di luar sana,” paparnya.

Dalam petitumnya, jelas Mahendradatta, menjelaskan bahwa Pemohon meminta agar Majelis Hakim MK memberikan penafsiran konstitusional terhadap pasal a quo. “Bukan hanya sekadar pertimbangan saja, agar mengikat secara hukum. Hal ini semata-mata agar Pasal 21 ayat (1) sesuai dengan Pasal 28D ayat (1),”ujarnya.

Pemohon dalam pokok permohonannya mendalilkan Pasal 21 ayat (1) yang berbunyi “Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana” bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon meminta frasa “diduga keras melakukan tindak pidana” dibatalkan MK.

Alasan pengujian Pemohon adalah karena ditangkapnya Abu Bakar Ba’asyir oleh Densus 88 dalam mobil yang sedang ditumpanginya dan adanya penahanan secara paksa oleh polisi. Pemohon merasa polisi hanya mendasarkan pada dugaan adanya tindak pidana yang dilakukan Pemohon.

Penjelasan Pasal 95 ayat (1) juga diujikan. Pasal ini berbunyi “Yang dimaksud dengan ‘kerugian karena dikenakan tindakan lain’ ialah kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum. Termasuk penahanan tanpa alasan ialah penahanan yang lebih lama daripada pidana yang dijatuhkan”.

Dengan penjelasan tersebut, Pemohon mendalilkan tidak bisa mengajukan tuntutan ganti rugi berdasarkan ketentuan Pasal 95 ayat (1) yang berbunyi “tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan”.   (Lulu Anjarsari/mh)

Kamis, 24 Maret 2011

Dari Proses Pemilukada Gowa, Uji Materi UU Sisdiknas Bermula

Jakarta, MKOnline – Bermula dari kekalahan dalam pesta demokrasi Pemilukada Kab. Gowa Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2010, pasangan Andi Maddusila Andi Idjo-Jamaluddin Rustam kemudian ajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mahkamah dalam putusannya pada (27/7/2010) menyatakan permohonan pasangan ini tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) karena melewati tenggat waktu yang telah ditentukan.
Saat itu, pasangan Andi Maddusila Andi Idjo-Jamaluddin Rustam antara lain mendalilkan Ichsan Yasin Limpo tidak dapat membuktikan syarat formal pendidikannya, yaitu ijazah asli yang menjadi persyaratan calon. Pemohon meragukan validitas ijazah yang dilampirkan Yasin Limpo saat itu.
Mantan cabup Gowa ini kembali berperkara di MK tanpa didampingi pasangannya, karena kehadirannya kali ini memang tidak mempersoalkan kekalahan dalam Pemilukada lalu. Namun dalil yang diusung Andi dalam permohonan, terkait dengan proses tahapan pencalonan Pemilukada Gowa yaitu mengenai surat keterangan pengganti ijazah yang digunakan salah satu calon. Andi mengujikan konstitusionalitas materi UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).
Persidangan kedua yang digelar MK pada Kamis (24/3/2011) ini mengagendakan pemeriksaan perbaikan permohonan perkara Nomor 14/PUU-IX/2011. Melalui kuasa hukumnya, Kriya Amansyah, Andi Maddusilla melakukan perbaikan permohonannya sesuai saran Majelis Hakim pada sidang pendahuluan (23/2/2011). Selanjutnya, majelis hakim akan membawa perkara ini ke Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). “Proses berikutnya akan dibawa ke RPH, dan akan ditentukan nasib persidangan berikutnya,” kata Ketua Panel Harjono.
Kendati demikian, Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva sarankan penyempurnaan petitum Pemohon poin 2. “Petitum poin 2 harus terlebih dulu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” saran Hamdan. Perbaikan permohonan itu, kata Hamdan, bisa langsung direnvoi dengan tulisan tangan. “Jadi karena sudah tidak ada lagi waktu untuk perbaikan, saudara renvoi saja ya,” lanjut Hamdan.        
Sebagaimana dalam sidang pendahuluan yang digelar MK, Rabu (23/2/2011), Kriya Amansyah dalam permohonannya mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar akibat berlakunya Pasal 61 ayat (1) UU Sisdiknas yang menyatakan “Sertifikat berbentuk ijazah dan sertifikat kompetensi”. Pasal ini, menurutnya, bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3) dan Pasal 31 Ayat (1) UUD 1945.
Andi  mendalilkan, saat tahapan Pemilukada Gowa, KPU Kab. Gowa meloloskan salah satu pasangan calon yang menggunakan surat keterangan pernah sekolah sebagai pengganti ijazah tanpa melakukan verifikasi kepada lembaga pendidikan yang mengeluarkan surat keterangan tersebut. Menurut Andi, hal tersebut telah mencoreng dunia pendidikan karena tidak mengacu pada Pasal 61 ayat (1) UU Sisdiknas. Ketentuan Pasal 61 ayat (1) UU Sisdiknas merupakan pasal yang potensial dikualifikasikan merugikan alumni peserta didik yang telah menempuh jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi serta telah menempuh ujian akhir  termasuk Pemohon. (Nur Rosihin Ana/mh)
 

Pemerintah: Program Jamsostek Tekankan Melindungi Tenaga Kerja

Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang ketiga pengujian Undang-Undang (PUU) Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Pasal 6 dan Pasal 25), Kamis (24/3). Sidang kali ini beragendakan mendengarkan keterangan Pemerintah, DPR, dan saksi/ahli dari Pemohon dan Pemerintah. Sidang dihadiri kuasa hukum Pemohon dan perwakilan dari Pemerintah. Sedangkan pihak DPR tidak hadir. Dalam keterangannya, pemerintah menganggap hak konstitusional Pemohon tidah dirugikan.

Kuasa hukum Pemohon (Mudhofir dkk) yang hadir pada persidangan kali ini, yaitu Gusmawati Azhar, Saut Pangaribuan, Budiono, Muchtar Pakpahan, Timbul Gultom, dan Yuliana Putri. Sedangkan pihak Pemerintah diwakili oleh Heni Susilawardaya (Kemenkumham), Salkoni (Kabid Hukum PT Jamsostek), Mualimin Abdi (Kemenkumham), Sunarno (Ka. Biro Hukum Kemen. Transmigrasi dan Tenaga Kerja), S. Lumban Daol (Kemen Transmigrasi dan tenaga Kerja), Basani Situmorang (Staf Ahli Direksi PT Jamsostek), Hutri, Rima, Toni, dan Erik. 

Sunarno, wakil pemerintah saat membacakan opening statement Pemerintah, menjelaskan bahwa ketentuan Pasal 6 dan 25 ayat (2) UU Jamsostek telah sesuai dengan ketentuan Pasal 34 UUD 1945. Karena dalam pembentukannya UU Jamsostek berlandaskan pembangunan sektor ketenagakerjaan sebagai salah bentuk pengamalan Pancasila dan UUD 1945 yang diarahkan pada peningkatan harkat dan martabat dan kemampuan manusia serta kepercayaan pada diri sendiri dalam rangka mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur baik materi maupun spiritual.

Selain itu, pemerintah juga menganggap UU Jamsostek telah berlandaskan pada upaya perlindungan, pemeliharaan, dan peningkatan kesejahteraan tenaga kerja. Dan upaya peningkatan kesejahteraan itu diwujudkan dalam program Jamsostek yang berazaskan kekeluargaan, gotong royong, dan usaha bersama.

Pemerintah juga menganggap program Jamsostek  telah menekankan perlindungan terhadap tenaga kerja yang memiliki kedudukan yang lebih rentan atau lemah. Jamsostek pun meminta pengusaha memikul tanggung jawab utama dan secara moral pengusaha memiliki kewajiban untuk meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan tenaga kerja. Pemerintah juga menganggap sudah seharusnya tenaga kerja ikut beperan aktif dan ikut bertanggung jawab atas pelaksanaan program Jamsostek.

Jamsostek, di mata pemerintah juga telah memenuhi prinsip-prinsip yang diminta Pasal 4 UU SJSN. Prinsip-prinsip tersebut, yaitu kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, kepersertaan bersifat wajib, dan portabilitas. Jamsostek juga sudah disesuaikan dengan kesepakatan internasional.

“UU Jamsostek selain sejalan dengan UU SJSN dan konstitusi, juga telah mengacu pada konvensi ILO Nomor 102 Tahun 1952 tentang Social Security yang mewajibkan negara menjalankan minimal empat dari sembilan program, yaitu layanan kesehatan, tunjangan sakit, tunjangan untuk pengangguran, tunjangan persalinan, tunjangan kecacatan, tunjangan hari tua, tunjangan keluarga, tunjangan ahli waris, dan tunjangan kcelakaan. Dari sembilan itu, UU Jamsostek telah menyelenggarakan empat program, yaitu tunjangan kecelakaan kerja, tunjangan kematian, tunjangan hari tua, dan tunjangan pemeliharaan kesehatan,” papar Sunarno.

Di akhir paparannya, Sunarno mengatakan Pasal 6 dan Pasal 25 ayat (2) UU Jamsostek telah sejalan dengan amanat konstitusi dan tidak bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 34 ayat (2). “Karena itu Pasal 6 dan Pasal 25 ayat (2) tidak merugikan hak konstitusional Pemohon,” tutup Sunarno saat membacakan opening statement pemerintah.

Pada persidangan sebelumnya, Pemohon berpendapat bahwa UU Jamsostek bertentangan dengan Pasal 32 Undang-Undang Dasar 1945. Pasalnya, program Jamsostek saat ini tidak mencakup dana pensiun seperti yang diperintahkan UU Nomor 40 Tahun 2004 yang mengharuskan Jamsostek mencakup program pensiun. “Peserta Jamsostek yang sudah meninggal tidak dapat dana pensiun. Berarti presiden menyengsarakan rakyat yang seharusnya mendapat dana pensiun menjadi tidak dapat dana pensiun. Seperti saya, kalau tidak ada Undang-Undang Jamsostek yang nantinya disesuaikan ini, saya akan pensiun tiga tahun lagi sebagai peserta Jamsostek. Berarti, tiga tahun lagi saya tidak menerima dana pensiun,” jelas Muchtar pada persidangan pertama (24/1). (Yusti Nurul Agustin/mh)

Selasa, 22 Maret 2011

Permohonan TPI Uji UU Kepailitan Ditolak MK

Jakarta, MKOnline – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengucapan putusan pengujian UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Pasal 16 ayat 1), Selasa (22/3). Dalam amar putusan yang dibacakan langsung oleh Ketua MK yang bertindak sebagai ketua pleno persidangan, Moh. Mahfud MD menyatakan bahwa Mahkamah menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.

Sebelumnya, Pemohon, Chudry Sitompul dkk sebagai kuasa PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) merasa hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 16 ayat (1) UU Kepailitan. Pasalnya, Pemohon menganggap pasal tersebut telah memberikan kewenangan sangat luas kepada kurator, sehingga berpotensi menimbulkan kerugian sangat besar bagi Pemohon selaku debitor pailit yang akan mengancam dinegasikannya hak-hak dasarnya. Selain itu, pasal tersebut dapat merugikan seluruh pihak yang terkait dengan dirinya, antara lain hak kelangsungan hidup karyawan, mitra kerja Pemohon, dan pihak lainnya yang notabene jumlahnya ribuan jiwa atas keputusan pailit yang pada kenyataannya masih belum mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dalam perkara pailit Nomor 52/Pailit/2009/PN.Niaga.JKT.PST tanggal 14 Oktober 2009.

Terhadap hal itu kemudian Mahkamah berpendapat, seperti yang dibacakan Hakim Konstitusi Harjono, bahwa kewenangan penghentian sementara penggunaan kewenangan kurator dalam menjalankan kewenangannya pada perkara pailit bukan merupakan kewenangan MK yang sudah diatur secara tegas dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang kemudian diulang kembali dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Selain itu, Mahkamah juga berpendapat bahwa permohonan provisi yang diajukan Pemohon tidak terkait langsung dengan pokok permohonan a quo. Pertama, dalam pengujian undang-undang (judicial review), putusan Mahkamah hanya menguji norma abstrak, tidak mengadili kasus konkret seperti penghentian sementara kewenangan kurator dalam perkara pailit yang menimpa Pemohon. “Karena permohonan provisi Pemohon sudah masuk ke kasus konkret maka Mahkamah tidak dapat mengabulkannya,” ujar Harjono membacakan pertimbangan hukum Mahkamah. Mahkamah harus menolak permohonan Pemohon yang terkait kasus konkret dikarekan putusan MK bersifat erga omnes atau berlaku umum dan mengikat untuk semua kasus di seluruh Indonesia. Kalau hal itu sampai dilakukan berarti bertentangan dengan sifat erga omnes tersebut.

Selanjutnya, dalam pokok permohonan Pemohon, terhadap dalil Pemohon yang menyatakan pasal a quo melanggar prinsip perlakuan, perlindungan, jaminan, dan kepastian hukum yang adil, Mahkamah  berpendapat, pasal tersebut justru bertujuan untuk memberikan keseimbangan, keadilan, dan kepastian hukum dalam pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit baik terhadap debitor maupun kreditor. “Keberadaan Pasal  a quo tidak menutup hak debitor untuk melakukan upaya hukum kasasi atau PK, sebaliknya tidak pula menutup hak kreditor untuk mendapatkan pemenuhan piutangnya, jelas Mahkamah.

Mahkamah juga berpendapat, dengan dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga maka status hukum debitor tidak cakap melakukan perbuatan hukum, seperti menguasai dan mengurusi harta sehingga sejak adanya putusan pailit dari Pengadilan Niaga secara serta merta hak menguasai dan mengurusi hartanya dialihkan dan/atau dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas. “Bahwa dengan keberadaan Pasal  a quo dengan demikian diharapkan dapat mencegah tindakan debitor yang beritikad buruk untuk mengalihkan atau memindahtangankan hartanya atau melakukan perbuatan hukum yang dapat mengurangi nilai hartanya, sebaliknya harta tersebut dapat digunakan untuk membayar kembali seluruh utang debitor secara adil, merata, dan berimbang kepada kreditor,” lanjut Mahkamah.

Selanjutnya terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa pasal tersebut berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang oleh kurator dengan mengambil alih secara sewenang-wewenang hak milik Pemohon sehingga bertentangan dengan Pasal 28H UUD 1945, Mahkamah menganggap kerugian yang dialami Pemohon in casu TPI tidak berkaitan dengan permasalahan konstitusionalitas norma, melainkan permasalahan penerapan norma. (Yusti Nurul Agustin/mh)

Pemerintah: UU Kepailitan Bertujuan Melindungi Kepentingan Para Pihak

Jakarta, MKOnline - Kepercayaan atau trust kepada kurator menjadi pijakan dan kunci utama dalam penunjukan kurator. Sehingga, permohonan Pemohon yang mempersoalkan Pasal 15 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004, khususnya frasa “Kurator yang diangkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus independen, tidak mempunyai benturan kepentingan dengan Debitor atau Kreditor…”, bukanlah persoalan konstitusionalitas. Namun, kalaupun ada kerugian, hal itu hanyalah persoalan penerapan pasal bukan dikarenakan rumusan yang multitafsir.
Demikian dinyatakan oleh perwakilan Pemerintah, Mualimin Abdi, dalam sidang pengujian Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang pada Selasa (22/3) pagi, di Ruang Sidang MK. Sidang dengan nomor perkara 78/PUU-VIII/2010 ini telah memasuki agenda mendengarkan keterangan Pemerintah, DPR, dan saksi/Ahli dari Pemohon dan Pemerintah. Pada kesempatan itu, Pihak DPR tidak hadir.
Mualimin menambahkan, ketentuan dalam pasal tersebut tidak sedikitpun bermaksud menguntungkan salah satu pihak saja. Pengaturan itu, lanjutnya, malah berfungsi untuk melindungi kepentingan hukum debitor maupun kreditor serta para pihak terkait secara seimbang. “Tidak merugikan debitor dan tidak memberikan perlakuan yang berlebihan pada kreditor,” tegasnya.
Penunjukan kurator oleh Pengadilan Niaga, menurut Mualimin, bertujuan untuk melakukan pemberesan harta pailit guna menyelesaikan hak dan kewajiban kreditur maupun debitur secara seimbang dan adil. Bahkan, dalam hal penggantian kurator, menurut dia, Pengadilan Niaga bersifat pasif, yakni hanya mengabulkan permohonan dari debitor maupun kreditor.
Selain itu, sambung Mualimin, ketentuan tersebut juga dimaksudkan untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada para pihak yang berkepentingan dalam proses pemberesan harta pailit. Menurutnya, setidaknya ada tiga hal yang menjadi pertimbangan dalam hal ini. Pertama, untuk menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditor yang menagih hutangnya kepada debitor.
Kedua, untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang miliki debitor tanpa memperhatikan kepentingan para pihak lainnya, yakni debitor, kreditor, maupun pihak yang terkait. Ketiga, untuk menghindari kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor atau debitor itu sendiri sehingga kreditur lainnya dirugikan. “Atau adanya perbuatan curang dari debitor untuk melarikan hartanya,” ujar Mualimin.
Oleh karena itu, ia berkesimpulan, pasal atau ketentuan dalam pasal yang diuji tersebut tidaklah bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), 28D ayat (1), dan 28I ayat (2) UUD 1945 sebagaimana didalilkan oleh Pemohon, malah sebaliknya telah memberikan kepastian dalam proses pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit tersebut secara baik, cermat, tepat waktu, saling percaya, dan fairness baik terhadap debitur, kreditur maupun pihak terkait.
Untuk selanjutnya, Mahkamah akan langsung menggelar sidang pembacaan putusan. Karena Pemohon, yang tediri dari Endang Srikarti Handayani (Pemohon I), Sugeng Purwanto (Pemohon II), dan Sutriono (Pemohon III) tidak menggunakan haknya untuk menghadirkan saksi ataupun ahli. “Saya serahkan kepada MK,” ungkap Endang yang juga diamini oleh Pemohon lainnya. (Dodi/mh)

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=5156

Jumat, 18 Maret 2011

Dirugikan Membayar Pajak Dua Kali, UU BPHTB Dipersoalkan

Jakarta, MKOnline - Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan  (BPHTB) diujikan ke Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (18/3), di Gedung MK. Kepaniteraan MK meregistrasi perkara yang diajukan oleh Fahri Alabudi ini dengan Nomor 22/PUU-IX/2011.
Dalam pokok permohonannya, Fahri yang tidak didampingi kuasa hukum merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 2 ayat (2) huruf  b UU BPHTB. Pasal 2 ayat (2) huruf b UU tersebut menyatakan bahwa “Ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 2 berbunyi sebagai berikut: … (2) Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi: b. pemberian hak baru karena: 1). kelanjutan pelepasan hak; 2). di luar pelepasan hak”.
“Kebijakannya bertentangan dengan UUD 1945 karena pengaturan mengenai pajak BPHTB sudah diatur dalam pasal lain. Namun dalam pasal a quo dikenalkan kembali sebagai kelanjutan. Permohonan saya memohon agar pasal dibatalkan demi keadilan,” jelasnya.
Menurut Fahri, dirinya membeli sebidang tanah saat jual beli yang sudah dikenakan pajak dan saat pemberian hak baru Pemohon dikenakan pajak lagi. “Alasan dikenakan pajak itu karena adanya pelepasan hak dalam pasal a quo, Yang Mulia,” ujarnya.
Ketua Hakim Panel Achmad Sodiki menyarankan agar Pemohon memperbaiki permohonannya sesuai dengan standar baku yang ada di Kepaniteraan MK. “Pemohon bisa datang ke Kepaniteraan MK untuk melihat permohonan yang pernah diajukan ke MK. Selain itu, harus mencantukan norma dalam UUD 1945 sebagai batu uji. Pemohon harus membedakan antara Hak Milik dan Hak Guna Bangunan merupakan dua hal berbeda. Pemohon harus menguraikan argumentasi pada permohonan Pemohon,” katanya.
Sodiki menjelaskan bahwa Pemohon harus menguraikan tentang kedudukan hukum dan dalil-dalil dalam permohonan. Sementara itu, Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi meminta agar Pemohon mengkaji kembali mengenai undang-undang yang diajukan. “Pemohon harus teliti, apa benar undang-undang ini masih berlaku? Jangan-jangan undang-undang ini sudah tidak berlaku lagi,” jelasnya. (Lulu Anjarsari/mh)

Kamis, 17 Maret 2011

UU Pelayaran Memberikan Hak Sama Badan Usaha Bongkar Muat

Jakarta, MKOnline - Sidang lanjutan terhadap pengujian Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran (UU Pelayaran) digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (17/3), di ruang Sidang Pleno MK. Kepaniteraan MK meregistrasi perkara ini dengan Nomor 74/PUU-VIII/2010. Perkara yang diajukan oleh Ketua Umum DPP APBMI  Bambang K. Rahwandi, Sekretaris Umum DPP APBMI Arlen Sitompul, serta Kabid Org. Hukum dan Otoda APBMI M. Fuadi mengagendakan mendengarkan keterangan Pemerintah, DPR, dan Saksi/Ahli Pemohon.

Dalam keterangannya, Pemerintah yang diwakili oleh Dirjen Perhubungan Laut Sunaryo menjelaskan bahwa ketentuan Pasal 90 ayat (3) huruf  g tidak menghilangkan hak pemohon untuk melakukan kegiatan bongkar muat sebagaimana telah diatur dalam pasal 31, Pasal 32, serta Pasal 33 UU Pelayaran. “Selain itu, menurut Pemerintah, apa yang dialami Pemohon tidak terkait dengan konstitusionalitas pasal, tetapi terkait dengan implementasi atau operasionalisasi di lapangan antara para pemohon dengan badan usaha (pelaku usaha di pelabuhan),” jelasnya.

Selain itu, lanjut Sunaryo, terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa pasal a quo bersifat diskriminatif terhadap pelaku ekonomi adalah tidak benar. Menurut Sunaryo,  pasal a quo mengatur mengenai kegiatan pelayanan dan penyediaan jasa bongkar muat barang. “Seluruh badan usaha pelabuhan dapat melakukan kegiatan bongkar muat barang dan tidak terbatas hanya pada badan usaha tertentu (PT Pelindo, red.).  Ketentuan a quo  justru memberikan hak yang sama kepada badan usaha yang memiliki izin untuk melakukan bongkar muat di pelabuhan,” urainya.

Pemerintah, lanjut Sunaryo, berpendapat bahwa Pemohon kurang memahami mengenai ketentuan pasal a quo karena ketentuan dalam Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor Se6/2002 tidak ada kaitannya dengan pasal a quo. Menurut Sunaryo, ketentuan surat edaran Menhub tersebut mengacu pada UU Nomor 21 Tahun 1992 tentang pelayaran telah dinyatakan tidak berlaku lagi sejak berlakunya UU Nomor 17 Tahun 2008. “Oleh karena itu, anggapan Pemohon merupakan puncak upaya sistematis, terstruktur dan terencana untuk mengurangi peran perusahaan bongkar muat tidak beralasan hukum,” ujarnya.

Sementara itu, DPR menganggap dalil-dalil yang diungkapkan Pemohon berlebihan. Menurut DPR, telah dipisahkan secara jelas fungsi regulator yang dilakukan oleh Pemerintah dengan operator di Pelabuhan yang salah satunya dilakukan oleh PT Pelindo. “Dengan pemisahan tersebut, dapat mendorong minat dan peran serta dunia swasta untuk membangun persaiangan sehat. UU pelayaran juga menghapus praktik monopoli dan memberikan porsi kepada pemerintah, Pemda, dan swatsa secara proporsional yang diberikan berdasarkan perundang-undangan. Dengan demikian dalil pemohon tentang penyelenggaran monopoli oleh PT Pelindo berlebihan. Dalam UU a quo tidak ada pengaturan mengenai PT Pelindo,” jelas wakil dari DPR.

Kemudian Pemohon diminta untuk memahami UU pelayaran secara sistematis. Penafsiran yang tidak sistematis dan parsial menimbulkan pemahaman yang kontradiktif dari UU pelayaran. “Pemohon harus memahami UU Pelayaran secara komprehensif dengan memperhatikan keterkaitan UU per pasal,” papar wakil DPR.

Sementara itu, Saksi Pemohon Sodiq Harjono menganggap bahwa ketentuan a quo menjadi sarana praktik yang tidak tepat oleh PT Pelindo. Menirut Sodiq, semua perusahaan bongkar muat harus menggunakan dokumen perizinan PT Pelindo jika ingin melakukan kegiatan bongkar muat. “Hal ini merupakan pembunuhan karakter bagi perusahaan bongkar muat dan menyebabkan kerugian bagi perusahaan bongkar muat,” ujarnya.

Hal serupa juga diungkapkan oleh  Saksi Pemohon Suhaili yang menganggap ketentuan a quo merugikan perusahaan bongkar muat baik secara materi maupun dalam pengembangan perusahaan. “Pada setiap kegiatan bongkar muat di pelabuhan, harus menggunakan BUP milik PT Pelindo, padahal kami harus bayar kontribusi bongkar muat sendiri,” kata Suhaili.

Dalam permohonannya, Pemohon sebagai badan hukum dirugikan hak-hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 90 ayat (3) huruf g UU Pelayaran. Pemohon menganggap pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 terutama Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2). (Lulu Anjarsari/mh)

Rabu, 16 Maret 2011

UU Sistem Jaminan Sosial Nasional Eksploitasi Rakyat

Jakarta, MKOnline – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang ketiga Pengujian Pasal 17 UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dengan agenda mendengarkan keterangan pemerintah, DPR, dan saksi/ahli dari Pemohon dan pemerintah, Rabu (16/3).

Pada persidangan kali ini dihadiri kuasa Pemohon, Hermawanto. Para Pemohon principal juga hadir di persidangan, yaitu Maimunah (Pengguna Jamkesmas/Pemohon 1), Sugiarto (Pengguna Jamkesmas/Pemohon 2), Sri Lindayanti (Pengguna Jamkesmas/ Pemohon 3), Rohayati Ketaren (Pengguna Jamkesmas/Pemohon 4), Tutut Herlina (Pembayar Pajak/Pemohon 6), Wiliam Enjelbes Warraw (Dewan Kesehatan Rakyat/Pemohon 7), dan Salamuddin Daeng (Institute Global Justice/Pemohon 8).

Sedangkan dari pihak pemerintah yang hadir, yaitu Mulaimin Abdi (Kemenkumham), Hedy Susilawardaya (Kemenkumham), Sunarno (Kementakertrans), dan Sahat (Kemenkertrans). Dari pihak DPR tidak hadir dalam persidangan kali itu. Dalam keterangan pemerintah atas permohonan Pemohon dijelaskan bahwa sisitem SJSN program pemerintah yang memberikan kepastian jaminan kepada setiap penduduk. Terkait dengan permohonan Pemohon, pemerintah tidak sependapat dengan Pemohon yang mengatakan pungutan jamsostek memberatkan. Pemerintah menganggap hal itu sudah menjadi kewajiban perusahaan yang memperkerjakan lebih dari sepuluh orang pegawai.

Hadir pula pada persidangan kali ini yaitu empat ahli dari Pemohon, yaitu Siti Fadilah Supari (Mantan Menteri Kesehatan), Sri Edi Suharsono, Poppy Ismalina, dan Margarito Kamis. Saksi-saksi fakta juga dihadirkan oleh Pemohon, yaitu Rosidah, Amiruddin, Indrajaya, Tarmuji, sajaah, dan Rohman.

Siti Fadilah Supari menjelaskan bahwa pelayanan kesehatan oleh pemerintah kepada rakyat belum seperti yang diharapkan. Sebenarnya tugas pemerintah secara konstitusional telah jelas tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa tugas pemerintah Indonesia yaitu melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia.

Pada Pasal 28 H ayat 3 UUD 1945, dijelaskan jaminan sosial adalah hak setiap orang, artinya merupakan kewajiban pemerintah untuk memberikan jaminan sosial tersebut. Hal itu juga sesuai dengan Pancasila, sebagai konsensus nasional, namun pelaksanaannya oleh pemerintah akan diatur lewat UU SJSN.

“UU ini terlihat dari namanya seakan-akan mengatur mengenai jaminan sosial, namun kalau kita lihat isinya mengatur asuransi sosial yang akan dikelola badan pelaksana jaminan social (BPJS). Dari dua hal ini saja sudah tidak konsisten. Hal ini terlihat jelas di Pasal 17 ayat 1, 2, dan 3 UU SJSN sebagai asuransi sosial. Hal itu jelas bertentangan dengan konstitusi tertinggi yaitu pembukaan UUD 1945,” tegas Siti. 

Lebih lanjut Siti menjelaskan, bahwa perlindungan dari bencana kesehatan adalah hak rakyat, dan pemerintah wajib memberikan perlindungan termasuk terhadap bencana kesehatan itu. Namun, ayat 1, 2, dan 3 Pasal 17 UU SJSN, rakyat diharuskan membeli premi untuk melindungi dirinya sendiri dari bencana sosial. Pada ayat 2 Pasal 17 UU SJSN juga dinyatakan pemberi kerja diharuskan memungut upah pekerjanya untuk dibayarkan ke pihak ketiga yang notabene adalah pemerintah untuk mendapatkan asuransi kesehatan.

Terakhir, Siti mengatakan pemerintah yang memberikan peraturan dalam SJSN telah mengeksploitasi rakyatnya demi keuntungan pengelola asuransi yang notabene juga milik pemerintah. Hal itu jelas tidak sesuai dengan tujuan bernegara bangsa Indonesia.
Pemohon nomor 50/PUU-VIII/2010 ini menyoal atas Pasal 17 UU SJSN yang menyatakan, (1) Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu. (2) Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial secara berkala. (3) Besarnya iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi dan kebutuhan dasar hidup yang layak. (Yusti Nurul Agustin/mh)

Selasa, 15 Maret 2011

Bukan Anggota Organisasi Satu-Satunya, Advokat Tak Bisa Praktik

Jakarta, MKOnline - Konstruksi norma hukum yang terbangun dari Pasal 28 ayat (1), Pasal 30 ayat (2) dan Pasal 32 ayat (3), (4) UU 18/2003 tentang Advokat (UU Advokat)  adalah bahwa setelah berlakunya UU tersebut yakni setelah tahun 2003, setiap advokat tidak lagi boleh mendirikan atau bergabung dengan organisasi profesi baru dan setiap advokat harus menjadi anggota organisasi advokat satu-satunya tersebut. Dengan kata lain, tidak ada advokat yang tidak menjadi anggota organisasi advokat tersebut. Bila seorang advokat tidak bergabung dalam organisasi advokat satu-satunya tersebut, maka ia tidak bisa menjalankan praktek profesi advokat.

Demikian dikatakan Todung Mulya Lubis  saat didaulat menjadi Ahli Pemohon dalam sidang uji konstitusionalitas materi UU Advokat yang digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (15/3/2011), di Ruang Sidang Pleno MK. Dalam sidang dengan agenda mendengarkan keterangan Ahli Pemohon dan Ahli Pihak Terkait ini, tiga perkara sekaligus disidangkan MK, yakni perkara Nomor 66/PUU-VIII/2010, 71/PUU-VIII/2010, serta 79/PUU-VIII/2010. Sebanyak 24 warga negara yang berprofesi sebagai advokat tercatat sebagai pemohon dalam tiga perkara ini, di antaranya Frans Hendra Winarta, Nursyahbani Katjasungkana, H. F. Abraham Amos, S.F. Marbun, Husen Pelu, dan pemohon lainnya.

Pendirian organisasi advokat yang dianggap sebagai satu-satunya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) UU Advokat tersebut, yakni Peradi, menurut Todung, tidak ‘elected by it’s members’ melainkan berdasarkan kesepakatan bersama pimpinan 8 organisasi advokat yang ada saat itu. “Maka hal ini juga bertentangan dengan, ataupun dengan kata lain tidak memenuhi standar profesi advokat yang ditetapkan PBB melalui Pasal 24 UN Basic Principles,” kata Todung.

Selanjutnya Ahli Pemohon Teguh Samudra dalam paparannya menyatakan, materi pokok yang terpenting dalam UU Advokat adalah mengenai pengakuan bahwa advokat adalah penegak hukum yang bebas dan mandiri dan dijamin oleh UU. Untuk menjaga kemandiriannya, advokat mengatur dan mengurus sendiri profesinya dalam satu organisasi profesi advokat, tanpa campur tangan dan kontrol dari kekuasaan pemerintah. “Dengan demikian, tidak boleh organisasi advokat dibentuk hanya oleh beberapa orang pengurus dari organisasi advokat yang ada, yang kemudian mengklaim pembentukan tersebut sah dan benar karena untuk dan atas nama para anggota dari masing-masing organisasi, kemudian memproklamirkan sebagai satu-satunya organisasi advokat yang sah,” tegas Teguh.

Ahli Pemohon selanjutnya, Fajrul Falaakh dalam presentasinya antara lain memaparkan, UU Advokat membatasi hak advokat untuk berserikat membentuk professional self governing bar. UU Advokat menurut Fajrul, mengandung arti kewajiban dan larangan. “Jadi, bukan hanya mewajibkan para advokat masuk dalam integrated bar, tetapi juga sekaligus melarang para advokat mendirikan dan menjadi anggota organisasi advokat yang lain.“ terang Fajrul.

Melindungi Masyarakat
Sementara itu, Ahli Pihak Terkait Peradi, Abdul Hakim Garuda Nusantara mengatakan, pengaturan organisasi profesi melalui UU, tidak mempunyai kaitan dengan masalah kebebasan berserikat karena fungsi publik yang bersifat spesifik yang diemban oleh organisasi profesi. “Yang sesungguhnya hendak dilindungi oleh undang-undang itu adalah masyarakat luas agar diperoleh pelayanan jasa profesi yang bermutu dan dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga masyarakat pengguna atau konsumen jasa profesi itu terlindungi dari kemungkinan tirani profesi atau kesewenang-wenangan oleh penyelenggara jasa profesi,” jelas Abdul Hakim.

Lebih lanjut Abdul Hakim mengatakan, Pasal 28 ayat (1) juncto Pasal 32 ayat (4)  juncto Pasal 30 ayat (2) UU Advokat, jelas dan terang tidak dimaksudkan untuk mengurangi atau membatasi hak atas kebebasan berserikat. Pasal-pasal tersebut bagaikan lampu Kristal, merupakan suatu kebijakan hukum, a legal policy  yang dimaksudkan untuk mengatur pencapaian standar profesi advokat bagi terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan. Di situlah fungsi publik yang spesifik, dari organisasi profesi advokat. “Dengan demikian, isu hak atas berserikat menjadi tidak relevan, non isu, ketika dihadapkan dengan fungsi publik yang spesifik, organisasi profesi advokat,” lanjutnya.(Nur Rosihin Ana/mh)

Uji Konstitusionalitas UU Hak Tanggungan

Jakarta, MKOnline - Sidang lanjutan pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (15/3). Sidang perkara Nomor 70/PUU-VIII/2010 mengagendakan mendengarkan keterangan Pemerintah, DPR, Saksi Ahli Pemohon/Pemerintah dimohonkan oleh Uung Gunawan.
Pemerintah membantah adanya kerugian konstitusional yang dialami Pemohon dengan berlakunya Pasal 6 dan pasal 15 ayat (1) huruf b UU Nomor 4 Tahun 1996. “Pemerintah menjamin pemohon tidak dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya pasal a quo. Karena adalam pasal 20 ayat (1) huruf b masih dimungkinkan Pemohon untuk memberikan jasa bantuan hukum melalui pelaksanaan title eksekutorial yang tercantum dalam sertifikat hak tanggungan melalui mekanisme hukum acara perdata,” jelas perwakilan dari Pemerintah.
Selain itu bahwa Pasal 6 UU Hak Tanggungan pada prinsipnya hanya memberi kewenangan  pada pemberi hak tanggungan pertama selaku eksekutor untuk mengajukan permohonan praktik eksekusi pada KPKNL dan bukan melalui kuasa. Sedangkan Pasal 15 ayat (1) huruf b mengatur tentang surat kuasa untuk membebankan hak tanggungan  yang tidak terkait Pasal 6. “Semestinya Pasal a quo tidak dilihat sebagai pasal yang berdiri sendiri karena UU Hak Tanggungan bertujuan untuk menjamin perlindungan terhadap semua pihak, seperti kreditur, debitur, dan pihak-pihak lain yang berkepentingan terhadap hak atas tanah. Selain itu, kewenangan advokat untuk memberikan jasa bantuan hukum di dalam ekseskusi hak tanggungan dijamin oleh UU a quo,” urai perwakilan dari Pemerintah.
Menurut Pemerintah, jika permohonan Pemohon diterima, maka akan berdampak pada berbagai hal. “Jikalaupun seandainya anggapan Pemohon benar adanya dan dikabulkan oleh MK dapat berdampak pada berbagai hal, di antaranya hilangnya makna terhadap hak tanggungan. Selain itu, UU Hak Tanggungan tidak bisa memberikan jamiman perlindungan kepada seluruh pemegang hak tanggungan dari debitur yang beritikad tidak baik melunasi utangnya sehingga tidak ada lagi pijakan dan dasar utama bagi kreditur dalam pelunasan utangnya,” papar wakil dari pemerintah.
Sementara itu, Pemohon yang mengajukan Ahli Pemohon, Zulkifli Harahap menjelaskan bahwa dalam penjelasan Pasal 15 ayat (1) huruf b mengatur tentang teknis pemasangan hak tanggungan. “Eksekusi hak tanggungan terjadi apabila debitur melakukan cidera janji atau wan prestasi terhadap perjanjian pokok, maka kreditur diberikan hak preference untuk menjual barang jaminan melalui lelang,” jelasnya.
Zulkifli juga menjelaskan bahwa tidak mungkin seseorang menjual barang jaminan tanpa adanya sesuatu yang sudah diperjanjikan lebih dahulu dengan ddidaftarkannya penerima hak tanggungan, maka penerima hak tanggungan memiliki hak yang didahulukan untuk menerima pelunasan atas utang-utangnya. “Tidak ada keterkaitan antara mekanisme pemasangan hak tanggungan dengan kuasa hukum mengajukan permohonan eksekusi melalui lembaga lelang. Sudah berbeda lembaganya, SKMHT merupakan pengantar untuk melakukan APHT,” ujarnya.
Pemohon beserta kuasa hukumnya mengajukan pengujian terhadap Pasal 6 dan pasal 15 ayat (1) huruf b UU Nomor 4 Tahun 1996. Pada persidangan kali ini Pemohon mendapat kesempatan untuk menjelaskan perbaikan permohonan yang sudah diberikan ke Mahkamah sebelumnya pada  9 Desember 2010. (Lulu Anjarsari/mh)

Jumat, 11 Maret 2011

Mahkamah Tidak Berwenang Menguji Putusan MA

Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengucapan ketetapan PUU Nomor 24/PUU-IX/2011. Mahkamah menetapkan bahwa pengujian putusan Mahkamah Agung (MA) No. 301K/pdt/200 tersebut bukan kewenangan MK untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan Pemohon, Jumat (11/3).

Ketetapan tersebut dibacakan sendiri oleh Ketua MK yang juga Ketua sidang pleno Moh. Mahfud MD. “Menyatakan, Mahkamah Konstitusi tidak berwenang untuk memeriksa, mengadili,dan memutus permohonan Pemohon,” ujar Mahfud membacakan ketetapan bersama tujuh hakim konstitusi lainnya.

Permohonan yang diajukan Pemohon, Bibit, dimaksudkan agar MK menguji materi Putusan Mahkamah Agung Nomor 301 K/Pdt/2004, bertanggal 29 Juni 2005. Pemohon merasa sebagai pemegang sah hak atas tanah bersertifikat dirugikan dan meminta Mahkamah untuk memutuskan kebenaran surat tersebut.
Sebelumnya, MK telah membahas dengan saksama permohonan Pemohon dalam Rapat Permusyawaratan Hakim pada Kamis, 10 Maret 2011. Dari pembahasan tersebut diketahui bahwa permohonan Pemohon kabur (obscuur libel) meski substansinya dapat dipahami. “Berdasarkan pemahaman Mahkamah Konstitusi terhadap substansi tersebut, Mahkamah Konstitusi berkesimpulan bahwa objek permohonan Pemohon tidak termasuk kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutusnya,” ujar Hamdan Zoelva. 

Hal itu disimpulkan sesuai ketentuan dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. (Yusti Nurul Agustin/mh)

SP Mandiri Hotel Papandayan Gugat UU Ketenagakerjaan

Jakarta, MKOnline - Serikat Pekerja Mandiri Hotel Papandayan, Bandung, mengajukan pengujian atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Tenaker), Jumat (11/3), di Ruang Sidang Pleno MK. Kepaniteraan MK meregistrasi perkara ini dengan Nomor 19/PUU-IX/2011. Para Pemohon merupakan perwakilan dari para karyawan Hotel Papandayang yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak, yakni Asep Ruhiyat, Suhesti Dianingsih dan Bambang Mardiyanto.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon merasa hak konstitusionalnya yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 terlanggar akibat Pasal 164 ayat 3 UU Ketenagakerjaan. Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja tehadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 Ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 Ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat (4).
Menurut Asep Ruhiyat selaku Ketua Serikat Pekerja Mandiri Hotel Papandayan Bandung, Hotel Papandayan melakukan renovasi untuk meningkatkan kualitas hotel dari bintang empat menjadi bintang lima, tetapi rtenovasi gedung yang dilakukan berakibat di-PHKnya karyawan Hotel Papandayan. “Padahal di antara kami sudah ada yang bekerja di Hotel Papandayan sampai 20 tahun. Kami masih ingin terus memajukan Hotel Papandayan, tetapi kami malah menjadi korban PHK,” jelasnya.
Menurut Asep, SP Mandiri Hotel Papandayan pun menanyakan mengenai PHK tersebut, akan tetapi yang terjadi justru perusahaan membawa masalah PHK ini ke jalur hukum. Karyawan yang terkena PHK, lanjut Asep, menjadi tergugat sampai ke Mahkamah Agung. “Kami yang jadi korban PHK, tetapi kami juga yang menjadi Tergugat. Padahal seharusnya mereka yang kami gugat. Gugatan itu menggunakan Pasal 164 ayat 3. Perusahaan memaksakan keadaan yang semula hanya renovasi gedung menjadi efisiensi,” urainya.
Ketua Panel Hakim Achmad Sodiki menyarankan agar Pemohon memperbaiki kedudukan hukum sesuai dengan Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. “Apa Serikat Pekerja ini termasuk badan hukum seperti yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK? Jika tidak, lebih baik Pemohon mengganti kedudukan hukum (legal standing) menjadi perseorangan warga negara,” jelasnya.
Sementara, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati sebagai anggota panel menjelaskan bahwa pemaparan Pemohon merupakan sesuatu yang konkret, sementara pengujian UU bersifat abstrak. “Jadi, Pemohon harus menemukan cara bagaimana mengemas sesuatu yang konkret seperti PHK itu sebagai landasaan untuk hakim konstitusi agar teryakini bahwa hak konstitusional Pemohon terlanggar,” paparnya.
Kemudian, Maria menyarankan agar Pemohon membandingkan UU Ketenagakerjaan ini dengan UU sebelumnya. “Kejadian yang dialami Pemohon terjadi pada 2001, tetapi UU yang diajukan berlaku pada 2003. Maka apakah sama mengenai aturan pada Pasal 164 ayat (3) ini dengan sebelumnya? Karena seharusnya UU yang baru harus lebih baik dari UU sebelumnya,” sarannya. (Lulu Anjarsari/mh)

Tiada Kerugian Konstitusional, Uji Soal PK Tidak Diterima

Jakarta, MKOnline - Ada atau tidak adanya permohonan peninjauan kembali (PK), tidak menghalangi pelaksanaan putusan demi kepastian hukum yang adil. Asas tersebut justru mengimplementasikan prinsip negara hukum.
Demikian diantara pertimbangan hukum MK dalam gelar sidang pengucapan putusan perkara Nomor 22/PUU-VIII/2010 mengenai uji materi UU 8/1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Jum’at (11/3/2011), bertempat di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Permohonan diajukan oleh Yusri Ardisoma Bin Urdiman. Pria kelahiran Subang, Jawa Barat, ini menguji konstitusionalitas Pasal 268 ayat (1) KUHAP. Yusri mendalilkan hak konstitusionalnya yang dijamin oleh Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28I Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (5) UUD 1945 telah dilanggar dengan berlakunya Pasal 268 ayat (1) UU tersebut.
Yusri beralasan, berdasarkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Subang Nomor 214/Pid/B/2006/PN.Sbg, bertanggal 28 Mei 2007, dia dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana korupsi. Kemudian, berdasarkan putusan tersebut, Yusri mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Bandung yang putusannya menguatkan Putusan PN Subang. Setelah itu, Yusri mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Menurut Yusri, Pasal 268 ayat (1) KUHAP yang menyatakan: ”Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari suatu putusan tersebut”, telah merugikan hak konstitusionalnya. Sebab, berdasarkan pasal tersebut, harus ada eksekusi terhadap dirinya. Di sisi lain, Yusri sedang melakukan upaya hukum kasasi. Jika kasasi dikabulkan, sementara dia sudah menjalani hukuman, hal tersebut hanya merehabilitasi hak-hak dan martabatnya. Sedangkan penderitaan lahir batin dan keluarga sudah tidak bisa dipulihkan lagi.
Mahkamah dalam pertimbangan hukum menyatakan, pasal 268 ayat (1) KUHAP mengatur tentang pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, meskipun terhadap putusan tersebut terdapat upaya hukum PK. Dengan kata lain bahwa pasal tersebut meneguhkan suatu asas bahwa putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, harus dilaksanakan.
Oleh sebab itu, menurut Mahkamah, pasal yang dimohonkan pengujian tidak menimbulkan kerugian konstitusional baik yang bersifat spesifik (khusus) maupun yang bersifat aktual, serta tidak ada hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya pasal yang dimohonkan pengujian. Apalagi secara fakta, Pemohon sedang melakukan upaya hukum kasasi atas Putusan Pengadilan Tinggi Bandung.
PK merupakan upaya hukum luar biasa yang dapat ditempuh oleh terpidana atau ahli warisnya atas putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sesuai dengan syarat yang ditentukan di dalam UU dan tanpa dibatasi jangka waktunya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 264 ayat (3) KUHAP.
Oleh karena itu, apabila ketentuan Pasal 268 ayat (1) tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, baik terhadap terpidana dan ahli warisnya maupun bagi hukum itu sendiri. Kalau pun terdapat permasalahan, hal tersebut bukan masalah konstitusionalitas norma, tetapi masalah implementasi suatu norma.
Dalam konklusinya, Mahkamah menyatakan berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tersebut. Namun, karena Pemohon tidak memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing), maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan. (Nur Rosihin Ana/mh)

Kamis, 10 Maret 2011

Tak Miliki Legal Standing, Permohonan Uji KUHAP Tidak Diterima

Jakarta, MKOnline - Mahkamah tidak menemukan adanya kerugian yang dialami para Pemohon karena adanya norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujian, tetapi karena para Pemohon merasa mendapatkan tindakan sewenang-wenang akibat berlarut-larutnya penahanan terhadap para Pemohon karena tidak segera diajukan ke sidang pengadilan.
Demikian pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi (MK) dalam gelar sidang pengucapan putusan perkara nomor 41/PUU-VIII/2010 mengenai uji materi UU 8/1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (UU KUHAP), pada Kamis (10/3/2011), di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima.
Permohonan diajukan oleh Chairulhadi, Afdal Azmi Jambak, Yanto Kurniawan, Carmadi, Sugeng Hari Santoro, Fransiskus Januarta, Dede Kusmanto, Ryan M, Andi W, Robby Sugiharto, Kamari, Oktavian, Riang Ayus A, Sigit P, Siperianto, Ely Irwan Harahap, Ahmad Zulpan Daulay, dan Tedung Siahaan. Para Pemohon mengujikan konstitusionalitas Pasal 21 ayat (1), Pasal 24 ayat (2), Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28 ayat (2), Pasal 29 ayat (2) UU 8/1981 tentang KUHAP.
Para Pemohon mendalilkan telah mengalami kerugian konstitusional dengan berlakunya pasal-pasal dalam UU KUHAP. Dengan pasal-pasal dalam UU tersebut, Bareskrim Polri selaku penyidik perkara pidana telah menangkap dan menahan para Pemohon secara sewenang-wenang selama 20 hari yang kemudian diperpanjang oleh Kejaksaan sebagai penuntut umum selama 40 hari, dilanjutkan penahanan oleh Kejaksaan dan selanjutnya oleh Pengadilan Negeri.
Menurut para Pemohon, Penyidik tidak melakukan optimalisasi penyidikan, tetapi hanya semata-mata melakukan penahanan tanpa tujuan yang jelas, sehingga para Pemohon hanya menunggu ketidakpastian pelimpahan berkas perkara untuk disidangkan oleh pengadilan. Tindakan penahanan telah merugikan hak konstitusional para Pemohon berdasarkan Pasal 28A UUD 1945, karena para Pemohon dihukum sebelum dibuktikan kesalahannya dalam proses persidangan di pengadilan dan ditahan dengan masa perpanjangan yang berulang-ulang tanpa dilakukan lagi proses penyidikan yang maksimal untuk segera melimpahkan berkas perkara ke tahap selanjutnya.
Di samping itu, tindakan penahanan dan perpanjangan penahanan mengakibatkan kerugian hak konstitusional para Pemohon atas kepastian hukum yang adil sebagai prasyarat yang tidak dapat dipisahkan dari negara hukum, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Menurut Mahkamah, tindakan penangkapan dan penahanan dalam perkara pidana terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah tindakan yang dimungkinkan untuk dilakukan oleh aparat penegak hukum demi kepentingan hukum. Tindakan demikian diperbolehkan oleh hukum negara di mana pun. Apalagi tindakan penahanan terhadap para Pemohon tidak melampaui waktu yang ditetapkan dalam UU.
Walaupun tindakan penangkapan dan penahanan adalah bentuk pembatasan terhadap kebebasan dan kemerdekaan individu, tetapi pembatasan yang demikian adalah pembatasan yang dimungkinkan berdasarkan Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945, sepanjang pembatasan tersebut ditetapkan dengan UU dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam masyarakat demokratis.
Lagi pula, menurut Mahkamah, apabila kewenangan penangkapan dan penahanan berdasarkan norma pasal-pasal dalam UU yang dimohonkan pengujian dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, maka akan menyulitkan dan mengancam penegakan hukum dan keadilan untuk ketertiban masyarakat secara keseluruhan.
Tiada Kerugian Konstitusional
Hal yang dipersoalkan oleh para Pemohon, menurut Mahkamah, adalah mengenai implementasi norma pasal-pasal dalam UU KUHAP, khususnya terhadap para Pemohon yang merasa mendapat perlakuan sewenang-wenang, bukan persoalan inkonstitusionalitas norma pasal yang dimohonkan pengujian. Artinya, pasal-pasal tersebut secara normatif tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Oleh sebab itu, menurut Mahkamah, para Pemohon tidak mengalami kerugian konstitusional akibat berlakunya norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujian, melainkan karena penerapan norma dalam praktik. Lagi pula, jika pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dikabulkan, kerugian para Pemohon tidak akan hilang, bahkan justru menimbulkan kesewenang-wenangan yang lebih besar karena tidak ada lagi pembatasan masa penahanan terhadap setiap tersangka oleh Penyidik atau Penuntut Umum di kemudian hari sebagaimana diatur dalam pasal-pasal tersebut.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan, sehingga Mahkamah tidak perlu mempertimbangkan pokok permohonan.
Sidang Pleno MK terbuka untuk umum ini dilaksnaakan oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD, selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Hamdan Zoelva, Maria Farida Indrati, M. Akil Mochtar, Ahmad Fadlil Sumadi, Harjono, dan Muhammad Alim, masing-masing sebagai Anggota.
Alhasil, Mahkamah dalam amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima, “Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua Pleno Moh. Mahfud MD di ujung persidangan. (Nur Rosihin Ana/mh)
 

Syarat Pahlawan Nasional Seharusnya ‘Beyond Call of Duty’

Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pleno Pengujian Undang-Undang (PUU) No. 20 Tahun 2009 tentang  Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (Pasal 1 angka 4, Pasal 16 ayat (1) huruf b, Pasal 25, dan pasal 26)., Kamis (10/3), di Ruang Sidang Pleno MK.  Sidang perkara Nomor 67/PUU-VIII/2010 ini beragendakan mendengar keterangan pemerintah, DPR, dan saksi/ahli dari Pemohon dan Pemerintah.
Dalam keterangannya, Pemerintah menjelaskan bahwa permohonan pemohon bukan mengenai masalah konstitusionalitasnya. “Permohonan Pemohon lebih karena sikap pro dan kontra rencana pemberian gelar terhadap mantan Presiden Soeharto. Pertanyaan adalah apakah rencana pemberian gelar terhadap mantan presiden soeharto tidak dilakukan Pemohon akan tetap mengajukan permohonan pengujian UU a quo? Karena pada dasarnya, Pemohon tidak menolak rencana pemberian gelar terhadap warga negara lainnya,” ujar wakil dari Pemerintah.
Menurut Pemerintah, pemberian gelar tanda jasa dan gelar kehormatan harus diatur sedemikian rupa agar sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 sehingga nilai dan simbol-simbol tersebut tetap terjaga. Oleh karena itu, pemberian gelar tanda jasa dan gelar kehormatan harus dilakukan dengan cara yang selektif, objektif, dan matang. Pemberian gelar tanda jasa dan gelar kehormatan akan berjalan dengan baik jika diatur dalam undang-undang seperti UU a quo. Menurut Pemerintah, pasal yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak merugikan hak konstitusional Pemohon. Pasal 1 angka 4 hanyalah merupakan definisi dari pahlawan nasional, oleh karenanya hal tersebut tidak menimbulkan kerugian konstiusional Pemohon,” urai wakil dari Pemerintah.
Hal senada juga diungkapkan oleh perwakilan dari DPR, Adang Darajatun yang menjelaskan bahwa tidak ada hak konstitusional Pemohon yang berpotensi dengan adanya ketentuan a quo. Adang menuturkan bahwa pemohon tidak menjelaskan secara konkret kerugian yang dialami Pemohon. “Dan Pemohon hanya mengungkapkan kekhawatiran dan asumsi di masa mendatang jika pasal-pasal a quo masih berlaku. Selanjutnya, para pemohon juga mengkhawatirkan orang-orang yang terlibat kejahatan kemanusiaan, diktator, dan kejam akan mudah mendapat gelar pahlawan nasional,” paparnya.
DPR berpandangan berlakunya pasal a quo tidak ada relevansinya dengan hak konstitusional yang digunakan sebagai batu uji UUD 1945. Selain itu, lanjut Adang, tidak ada hubungan sebab-akibat antara kerguan konstitusional yang didalilkan para pemohon dengan ketentuan pasal a quo. “Karena ketentuan pasal a quo mengatur persyaratan untuk mendapatkan gelar pahlawan, tanda jasa dan gelar kehormatan. Ketentuan a quo tidak ada kaitannya dengan hak konstitusional Pemohon. DPR juga berpendapat bahwa para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo,” urainya.
Pemohon dalam kesempatan ini, menghadirkan seorang Ahli Pemohon, Rocky Gerung menjelaskan bahwa permohonan para pemohon bukan hanya sekadar batu uji prinsip-prinsip hukum. “Kita ingin generasi mendatang mengetahui ide-ide yang kita operasionalkan pada masa reformasi. Keadaan sosiologis ini akan menjadi pertimbangan majelis Hakim (Konstitusi, red.). Karena lubang moral yang ditinggalkan oleh orde baru hanya ditutup dengan prinsip HAM. Seluruh desain reformasi sesungguhnya untuk menghargai HAM dan itu merupakan kontras kualitas antara orde yang baru dengan yang lama. Kita menikmati hasil perjuangan itu bukan karena partai politik, tetapi perjuangan pelaku HAM,” jelasnya.
Menurut Rocky, apa yang dimintakan oleh para pemohon, sebetulnya bukan untuk kepentingan para pemohon sendiri, tetapi juga untuk generasi mendatang agar bisa sepenuhnya merasakan suatu negara yang demokratis. “Apa yang diungkapkan oleh Pemerintah dan DPR terlalu teknis. Seharusnya persyaratan untuk menjadi pahlawan adalah beyond call of duty. Kalau itu yang kita pergunakan sebagai persyaratan, maka permohonan pemohon beralsan karena misalnya Soeharto tidak melakukan beyond call of duty,” katanya.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon merasa hak konstitusionalnya yang diberikan oleh pasal 28C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, berupa jaminan untuk memajukan diri dalam memperjuangkan kepentingan kolektif untuk membangun kemajuan masyarakat bangsa dan negara, telah dirugikan dan dilanggar oleh Pasal 1 angka 4, Pasal 25 dan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar Tanda Jasa, Tanda Kehormatan. (Lulu Anjarsari)
 

Rabu, 09 Maret 2011

Dalil Tak Beralasan Hukum, Mahkamah Tolak Uji Materi UU Minerba

Jakarta, MK Online – Para Pemohon tidak dapat membuktikan adanya kerugian hak konstitusional dengan berlakunya Pasal 172 UU Minerba sepanjang frasa yang diujikan para Pemohon. Sehingga permohonan para Pemohon tidak terbukti dan tidak beralasan menurut hukum.
Demikian pendapat Mahkamah dalam gelar sidang pengucapan putusan perkara nomor 121/PUU-VII/2009 mengenai uji materi Pasal 172 UU 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), pada Rabu (9/3/2011), di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.
Pemohon Perkara ini adalah Nunik Elizabeth, Yusuf Merukh, PT Pukuafu Indah, PT Bintang Purna Manggala, PT Lebong Tandai, PT Merukh Ama Coal, dan PT Merukh Lores Coal.  Pemohon memberikan kuasa hukum kepada Hamdan Zoelva, Januardi S. Hariwibowo, R.A. Made Damayanti Zoelva, Wisye Hendrarwati, Abdullah, dan Erni Rasyid yang kesemuanya adalah advokat pada kantor Hukum Zoelva & Januardi.
Pemohon sebagai perseorangan dan badan hukum, mendalilkan Pasal 172 UU 4/2009 bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3), Pasal 22A, dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Pasal 172 UU 4/2009 menyatakan, "Permohonan kontrak karya dan perjanjian karya pertambangan batubara yang telah diajukan kepada menteri paling lambat 1 (satu) tahun sebelum berlakunya Undang-undang ini dan sudah mendapatkan surat persetujuan prinsip atau surat izin penyelidikan pendahuluan tetap dihormati dan dapat diproses perizinannya tanpa melalui lelang berdasarkan undang-undang ini." Yang dipersoalkan Pemohon yaitu sepanjang frasa “kepada menteri paling lambat 1 (satu) tahun”  dan “sudah mendapatkan surat persetujuan prinsip atau surat izin penyelidikkan pendahuluan”.

Menurut Mahkamah, adanya pergantian UU tidak boleh menimbulkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan Pasal 1 Ayat (3) juncto Pasal 22A UUD 1945, pembentuk UU dalam UU Minerba membuat ketentuan peralihan sebagai penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah ada pada saat Peraturan Perundang-undangan baru mulai berlaku.
Dalam kasus tersebut, lanjut Mahkamah, jika tidak ada ketentuan peralihan, justru merugikan para Pemohon, karena terhadap para Pemohon diberlakukan lelang. Padahal para Pemohon telah mengajukan permohonan kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (KK/PKP2B) sebelum UU Minerba dibentuk. Lagi pula, permohonan KK/PKP2B yang diajukan oleh para Pemohon telah direspons oleh pemerintah. Dengan demikian dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 172 UU Minerba bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, tidak beralasan hukum.
Beda Pendapat
Sidang Pleno MK terbuka untuk umum ini dilaksanakan oleh tujuh hakim konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD., selaku ketua merangkap anggota, Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati, Ahmad Fadlil Sumadi, Muhammad Alim, Harjono, dan M. Akil Mochtar masing-masing sebagai anggota.
Dari delapan hakim konstitusi yang memutus perkara ini dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), terdapat satu hakim mengambil posisi berbeda pendapat (dissenting opinion) yaitu Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar.
Menurut Akil, sebagai ketentuan peralihan, Pasal 172 UU Minerba tidak menjamin kepastian hukum bagi kesinambungan hak para Pemohon yang telah mengajukan permohonan. Lebih lanjut Akil menyatakan, Pasal 172 UU Minerba sepanjang frasa ,”...paling lambat 1 (satu) tahun...”, telah bersifat retroaktif. Padahal seyogianya pemberlakuan suatu ketentuan hukum positif untuk mewujudkan prinsip negara yang berdasarkan hukum, harus memuat asas tidak berlaku surut (non-retroaktif), sesuai dengan Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945.
“Oleh karenanya semua aturan hukum hanya berlaku ke depan (prospektif). Dengan demikian, menurut saya, ketentuan Pasal 172 Undang-Undang a quo harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” tandas Akil. (Nur Rosihin Ana/mh)
 

MK Tolak Uji Materi UU Energi Pemkab Tanjabbar

Jakarta, MKOnline - Kata ”daerah” dalam Pasal 20 ayat (3) UU 30/2007 adalah daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota. Kata “daerah” dalam pasal tersebut merupakan ketentuan yang bersifat umum yang menunjuk kepada pengertian kedua daerah tersebut. Sebab, apabila kata ”daerah” menunjuk kepada salah satu daerah, yaitu provinsi ataupun kabupaten/kota maka UU tersebut akan menyebutkan dengan jelas mengenai maksud daerah.
Demikian pendapat Mahkamah dalam gelar sidang pengucapan putusan perkara nomor 153/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian UU 30/2007 tentang Energi, pada Rabu (9/3/2011), di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
Permohonan diajukan oleh Pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Tanjabbar) yang dalam hal ini diwakili oleh Safrial (saat pengajuan permohonan menjabat Bupati Tanjabbar). Pemohon menganggap hak konstitusionalnya untuk menjamin kesejahteraan dan/atau kemakmuran rakyat di Kabupaten Tanjabbar dirugikan oleh berlakunya Pasal 20 ayat (3) dan Pasal 23 ayat (3) UU 30/2007. Menurutnya, pasal dalam UU tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Pemohon mendalilkan Pasal 20 ayat (3) menyatakan, “Daerah penghasil sumber energi mendapat prioritas untuk memperoleh energi dari sumber energi setempat”, mengandung ketidakjelasan hukum. Kata "daerah” dalam pasal tersebut tidak secara tegas menentukan apakah daerah yang dimaksud adalah daerah kabupaten/kota ataukah daerah provinsi. Ketidakjelasan pasal tersebut disebabkan karena Pasal 11 ayat (2) UU 32/2004 memberikan landasan yuridis yang bersifat umum yang menyatakan, “Penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara pemerintah dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antar pemerintah daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis sebagai satu sistem pemerintahan”.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka Provinsi Jambi sebagai daerah atasan merasa lebih berwenang mendapatkan prioritas energi dari Kab. Tanjabbar di mana sumber energi tersebut berada. Selain itu, menurut Pemohon, rumusan pasal tersebut sangat lentur, subjektif, dan sangat tergantung pada interpretasi dari daerah provinsi maupun kab/kota sehingga daerah provinsi berpotensi meminta jatah atau prioritas yang lebih besar atas sumber energi yang ada dalam wilayah kabupaten/kota di mana sumber energi tersebut berada.
Tak Beralasan Hukum
Mahkamah dalam pendapatnya meyatakan bahwa yang dimaksud dengan ”daerah” dalam Pasal 20 ayat (3) UU 30/2007 sudah jelas, sehingga tidak menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana didalilkan oleh Pemohon. Oleh karena itu, dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Selanjutnya, mengenai dalil Pemohon yang menyatakan  Pasal 23 ayat (3) UU30/2007 yang menyatakan, “Pengusahaan jasa energi hanya dapat dilakukan oleh badan usaha dan perseorangan”, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Kata “badan usaha” dalam pasal ini, dalil Pemohon, mengandung rumusan yang mengambang karena dapat diinterpretasikan BUMN, BUMD provinsi atau BUMD kabupaten/kota ataupun badan usaha dalam bentuk lainnya. Menurut Pemohon, kata "badan usaha" dalam pasal tersebut harus dimaknai BUMD kabupaten/kota.
Mahkamah berpendapat, pengertian badan usaha dengan tegas telah dinyatakan dalam Pasal 1 angka 12 UU 30/2007 yang menyatakan, “Badan usaha adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap, terus menerus, dan didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Menurut Mahkamah, “badan usaha” yang tercantum dalam Pasal 23 ayat (3) UU 30/2007 adalah sama dengan “badan usaha” yang tercantum dalam Pasal 23 ayat (2) UU 30/2007. Selain itu, Penjelasan Pasal 23 ayat (2) UU 30/2007 dengan tegas menyebutkan macam-macam badan usaha, yaitu meliputi BUMN, BUMD, koperasi, dan badan usaha swasta.
Mahkamah sependapat dengan pemerintah bahwa perbedaan prinsip Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UU tersebut adalah terletak bentuk pengusahaannya, yaitu mengenai “pengusahaan energi” dan “pengusahaan jasa energi”. Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah berpendapat, “badan usaha” dalam Pasal 23 ayat (3) UU 30/2007 tidak dapat dimaknai hanya terbatas pada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Dengan demikian, dalil Pemohon yang memohon agar badan usaha diartikan secara sempit hanya BUMD saja adalah tidak beralasan hukum.
Sidang Pleno MK terbuka untuk umum ini dilaksanakan oleh delapan hakim konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD, selaku ketua merangkap anggota, Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati, Harjono, M. Akil Mochtar, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Hamdan Zoelva, masing-masing sebagai anggota.
Alhasil, Mahkamah dalam amar putusan, menyatakan menolak seluruh permohonan. “Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya” kata Ketua Pleno Moh. Mahfud MD di ujung persidangan. (Nur Rosihin Ana/mh)

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More