Rabu, 04 Mei 2011

Uji Materi UU Perkawinan: Nasab Anak Kepada Bapak Kandungnya

Machica Mochtar dan anaknya Iqbal didampingi kuasa hukumnya, Oktryan Makta dan Rusdianto dalam sidang uji materi Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1), Rabu (4/5) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.

Jakarta, MK Online – Permohonan Hj. Aisyah Mochtar (40) atau yang akrab disapa Machica‎ Mochtar, kembali disidangkan di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (4/5/2011). Pedangdut yang sempat ngetop dengan tembang berjudul “Ilalang”, ini hadir di MK bersama anaknya, Iqbal dan didampingi kuasa hukumnya, Oktryan Makta dan Rusdianto, serta Machica juga menghadirkan Ahli yaitu DR. H. Muhammmad Nurul Irfan, M.Ag. Selain itu, sidang juga dihadiri Pihak Pemerintah yaitu dari Kementerian Hukum dan HAM, dan Kementerian Agama. Sidang kali keempat untuk perkara yang diregistrasi di Kepaniteraan MK dengan Nomor 46/PUU-VIII/201 ini mengagendakan mendengar keterangan Ahli yang dihadirkan oleh Machica.

Dalam presentasinya di depan Sidang Pleno, Muhammad Nurul Irfan memaparkan seputar Perkawinan yang sah dan status anak sah menurut Hukum Islam. Pengertian nikah dalam Bahasa Arab, mencakup dua hal. Pertama, disebut sebagai akad (al-‘Aqdu). “Jumhur ulama seperti, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Malik, menyebut bahwa nikah adalah akad. Karenanya kalau tidak ada akad, maka tidak akan membentuk nasab atau hubungan kekerabatan antara anak dengan bapak,” kata Irfan.

Kedua, nikah disebut sebagai hubungan badan. Ini diyakini oleh Imam Abu Hanifah. Ketika nikah dipahami dengan hubungan badan, maka bisa membentuk nasab (hubungan kekerabatan), dan hubungannya dengan persoalan status anak.
Sahnya sebuah pernikahan menurut hukum Islam adalah jika telah terpenuhi seluruh syarat dan rukun-rukunnya. Memperkuat pendapatnya, Irfan menyebutkan literatur dari kalangan Madzhab Syafi’iyyah, misalnya dalam kitab al-Iqnâ’ (Hâsyiyah al-Bujairimî 'alal-Khâthib) karya Sulaiman al-Bujairimi, disebutkan bahwa syarat atau rukun-rukun nikah meliputi lima hal: ijab kabul, calon mempelai wanita, calon mempelai pria, wali, dan dua orang saksi yang hadir. Demikian halnya, lanjut Irfan, dalam ijmâ’ dari kalangan mazhab Hambali, Maliki, dan Hanafi, yaitu meliputi lima syarat di atas. Hanya ada pengecualian dari mazhab Hanafi yaitu, jika yang dinikahi seorang janda, maka  bisa tanpa wali.

Kaitannya dengan UU Perkawinan, Irfan melihat adanya ketentuan yang tidak sejalan dengan prinsip hukum Islam, yaitu Pasal 42 UU Perkawinan. “Seorang anak dianggap sah dan memiliki nasab atau hubungan kekerabatan kepada ayah kandungnya jika anak tersebut dilahirkan dalam perkawinan yang sah atau perkawinan yang fâsid (rusak), wathi’ syubhat, hubungan badan secara subhat, dan ikrar atas nasab, bukan anak yang lahir akibat perzinahan,” terangnya.

Tradisi Jahiliah
Ajaran Islam membatalkan cara-cara penetapan nasab oleh masyarakat jahiliyah yang menganggap perzinaan sebagai cara menetapkan nasab. Hal ini, kata Irfan, didasarkan hadits shahih riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim yang menyatakan: al-waladu lil-firâsyi walil-’âhiri al-hajaru (seorang anak hanya bisa bernasab kepada pemilik atau tempat tidur yang sah dalam hal ini suami, sedangkan pezina hanya akan memperoleh kesialan atau batu hukuman).

Berdasarkan hadits tersebut, lanjutnya, Prof. Wahbah Az-Zuhaili dalam Kitab Al-Fiqhul Islamî wa Adillatuhû, menjelaskan bahwa nasab anak kepada bapak kandungnya bisa ditetapkan atas dasar tiga hal, yaitu perkawinan yang sah atau perkawinan yang fâsid, hubungan badan secara subhat, dan ikrar atau pengakuan adanya hubungan nasab. Secara tegas beliau katakan nasab anak terhadap ibu kandunganya bisa ditetapkan atas dasar kelahiran semata-mata, baik lahir secara syar’i maupun tidak secara syar’i melalui pernikahan atau perzinahan. Adapun nasab anak terhadap ayah kandungnya bisa ditetapkan atas dasar perkawinan yang sah atau perkawinan yang fâsid, hubungan badan secara subhat, atau atas dasar ikrar atau pengakuan nasab.

Sedangkan anak yang lahir dalam nikah di bawah tangan atau nikah siri, menurut Wahbah Az-Zuhaili tetap mempunyai hubungan nasab dengan ayah kandungnya. Wahbah, Guru Besar Bidang Hukum Islam di Syiria dalam pendapatnya mengatakan: “Pernikahan yang sah atau fâsid merupakan sebab ditetapkannya nasab secara teknis. Cara penetapan nasab ini dilihat dari ada atau tidaknya perkawinan. Jika memang telah nyata-nyata terjadi perkawinan, walau dalam nikah fâsid yaitu nikah yang rusak karena syarat dan rukunnya tidak sempurna atau karena status hukumnya diperdebatkan seperti nikah muth’ah, kawin kontrak dan lain-lain, atau dalam perkawinan adat atau dalam perkawinan yang terjadi secara khusus yakni perkawinan yang tidak terdaftar pada lembaga atau instansi perkawinan yang resmi. Maka tetap saja nasab anak yang dilahirkan oleh wanita tersebut bisa ditetapkan dengan ayah kandungnya.” “Ini pendapat Prof. Wahbah Az-Zuhaili,” kata Irfan.

Terkait dengan status anak sah, UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, menurut Irfan, berpotensi mengembalikan cara penetapan nasab ala zaman Jahiliyah. Rumusan pasal tentang kedudukan anak Pasal 42 UU Perkawinan yang berbunyi,“Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah” menurut Irfan, kata “dalam” yang pada rumusan pasal ini ditinjau ulang atau bila perlu dihilangkan. “Sebab dengan adanya kata ‘dalam’ maka implikasi dan pengaruh besarnya akan terjadi pada legalisasi perzinaan. Dengan rumusan pasal ini, negara secara otomatis berarti mengakui atau mengizinkan dan melegalisasi proses hubungan badan sebelum nikah,” tandasnya.

Mengakhiri paparannya, Irfan menandaskan, jika keberadaan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan mengandung mudharat tapi untuk menghapuskannya juga mengandung mudharat, maka menurut kaidah hukum Islam, pilih mudharat yang paling ringan. Yang diamaksudkan Irfan adalah kaidah: ijma’ul muslimîna ‘alartikâbi akhâfid dharûraini (Konsensus kaum muslimin menyatakan bahwa memilih dan mengutamakan mudharat yang paling ringan di antara dua mudharat yang ada). “Dasar kepatuhan kaidah ini adalah tindakan Rasullulah SAW, yang membebaskan Abdullah Bin Ubay Bin Salul dari hukuman qadzaf, hukuman menuduh zina. Dia termasuk tersangka yang menuduh Aisyah berselingkuh dengan Sufyan Bin Mu'athal, tetapi dibebaskan oleh Nabi. Dengan pertimbangan bahwa dendam para pengikut  Abdullah Bin Ubay akan lebih besar mudharat-nya dari pada sekedar mengabaikan pemberlakuan sanksi atas dirinya,” terang Irfan.

Untuk diketahui, Machicha mengujikan konstitusionalitas Pasal 2 Ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan. Machica mendalilkan pensyaratan pencatatan perkawinan merupakan pengekangan terhadap kebebasan berkehendak sekaligus bentuk diskriminasi. Anak yang dilahirkan dari sebuah perkawinan yang tidak dicatatkan, dianggap sebagai anak di luar nikah. Ketentuan pasal tersebut menyebabkan anak Machica, Iqbal, tidak bisa mencantumkan nama ayahnya dalam akta kelahiran. Menurutnya, Pasal 2 Ayat (2) UU 1/1974 bertentangan dengan Pasal 28B Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. (Nur Rosihin Ana/mh)

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More