Rabu, 25 Mei 2011

PUU Peradilan Agama: Lagi, Pemohon Minta Diberlakukan Pidana Islam

Jakarta, MKOnline - Suryani, seorang buruh di kawasan Serang, Banten, melakukan uji materi terhadap Undang-Undang No. 7/1989 tentang Peradilan Agama. Undang-Undang ini telah diubah melalui UU No. 3/2006. Sebelumnya, pada 2008, dia telah melakukan uji materi terhadap pasal yang sama, yakni Pasal 49 ayat (1) namun Mahkamah Konstitusi menolaknya. Alasan MK saat itu, ketentuan pasal yang diuji tersebut sama sekali tidak mengurangi hak dan kebebasan Pemohon untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal yang diuji tersebut berbunyi, ”Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: Perkawinan, Waris, Hibah, Wakaf, Zakat, Infaq, Shadaqah; dan Ekonomi syari’ah.”

Menurut Suryani, permohonannya kali ini berbeda. Salah satu alasan pembedanya adalah batu uji yang digunakan. Dalam uji materi kali ini, Suryani menambahkan satu ayat dalam  UUD 1945 untuk menguji konstitusionalitas pengaturan tentang kewenangan Pengadilan Agama (PA) tersebut. Dalam permohonannya, ia menggunakan batu uji Pasal 28E Ayat (1), Pasal 28I Ayat (1), (2) dan (4) serta Pasal 29 Ayat (1) dan (2) UUD 1945.

Suryani berpandangan, pasal tersebut telah merugikan haknya karena telah melakukan pembatasan, terhadap dirinya atau bahkan seluruh umat Islam, untuk melaksanakan syariat Islam (baca: hukum pidana Islam). Atau dengan kata lain, dengan berlakunya pasal tersebut, maka telah mengakibatkan dirinya tidak dapat melaksanakan ibadah, yakni berupa pemberlakuan dan penerapan hukum pidana Islam. “Menjalankan hukum pidana Islam adalah ibadah, dan semua ibadah harus dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945,” ujarnya dalam sidang Pendahuluan, Rabu (25/5) di ruang sidang panel MK.

Ia berkesimpulan, dengan rumusan pasal seperti itu, haknya untuk melaksanakan ibadah, dengan menerapkan hukum pidana Islam, tidak terpenuhi. Pasal tersebut hanya memberi pengakuan atas hukum perdata Islam, tidak hukum pidana Islam. “Kenapa hanya perdata Islam saja. Kenapa ada pembatasan? Kenapa ada amputasi?” imbuhnya. “Pembatasan itu bertentangan dengan UUD 1945.”

Menurutnya, pemberlakuan dan penerapan hukum pidana Islam sama saja dengan ibadah-ibadah lainnya, seperti sholat misalnya. Toh, menurut dia, penerapan hukum pidana Islam tidak mengikat bagi non-muslim. Sehingga, kalangan non-muslim tak perlu takut akan pemberlakuan hukum Islam. Tidak ada prinsip ibadah manapun yang bertentangan dengan pemberlakuan hukum pidana Islam. “Prinsip keragaman mana yang dilanggar oleh hukum Islam,” tegasnya setengah bertanya.

Panel Hakim yang diketuai oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman pun memberikan beberapa saran atas permohonan itu. Salah satunya dari Anggota Panel, Hakim Konstitusi Achmad Sodiki. Sodiki mengingatkan, jika permohonan dikabulkan maka konsekuensinya adalah PA tidak berwenang lagi menyelesaikan persoalan-persoalan perdata Islam sebagaimana telah diatur dalam Pasal tersebut. “Pikirkan lagi secara tenang,” pesannya.

Anggota Panel lainnya, Hakim Konstitusi Muhammad Alim pun mengingatkan bahwa Indonesia bukanlah negara Islam. “Indonesia merupakan negara hukum berlandaskan Pancasila,” katanya. Meskipun ia mengakui bahwa Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduk pemeluk agama Islam. (Dodi/mh)

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=5411

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More