Senin, 23 Mei 2011

Penggantian Pimpinan KPK Seharusnya Meniru Penggantian Hakim Konstitusi

Jakarta, MKOnline - Ketentuan Pasal 34 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) harus dijelaskan dalam perspektif hukum tata negara. Hal ini disampaikan oleh Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Andalas Saldi Isra ketika menjadi ahli dalam sidang pengujian UU KPK yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (23/5), di Ruang sidang Pleno MK. Para pemohon ini, yakni Feri Amsari, Ardisal, Teten Masduki, Zainal Mochtar Husein, dan Indonesian Corupption Watch (ICW). Perkara ini teregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 5/PUU-IX/2011.

Menurut Saldi, siapa saja pimpinan KPK, maka masa jabatannya harus  empat tahun, walaupun ia diangkat dari awal ataupun terjadi proses penggantian di tengah jalan. “Saya berpendirian orang yang melanjutkan atau menggantikan pimpinan KPK, harus menjabat sesuai dengan pimpinan yang lain. Hal ini mengandung pengertian, kalau dia diangkat setelah periode yang normal itu berjalan dua atau tiga tahun, maka kemudian dia harus dihitung empat tahun dari periode pengangkatannya ketika menggantikan posisi tersebut,” ujar Saldi.

Selain itu, Saldi memaparkan cara penggantian pimpinan KPK tersebut bisa ditiru dari cara penggantian hakim konstitusi. “Beberapa waktu lalu Hakim Konstitusi M. Arsyad Sanusi mengundurkan diri, dan hakim konstitusi pengganti memiliki masa jabatan 5 tahun, tidak melanjutkan masa jabatan bapak Arsyad,” terangnya.

Saldi juga membandingkan dengan jabatan anggota DPR yang bersifat pergantian antarwaktu. Menurut Saldi, jadi pengganti menghabiskan sisa masa jabatan yang ditinggalkan oleh anggota DPR sebelumnya. “Makanya kemudian orang yang menggantikan untuk anggota DPR itu adalah orang yang mempunyai suara terbanyak berikutnya. Seharusnya kalau konsep ini yang digunakan untuk menggati pimpinan KPK, mestinya tidak dilakukan pemilihan baru. Tapi orang yang memperoleh urutan nomor 6 di DPR tempo hari,” urainya.

Menurut Saldi, karakter lembaga negara independen seperti KPK pada umumnya di berbagai negara pergantian pimpinan tidak dilakukan secara serentak. Untuk itulah, lanjut Saldi, MK sesuai dengan posisinya dapat menguatkan pola pergantian tersebut. “Sehingga nanti kelau ada empat komisioner KPK berhenti, masih ada komisioner yang berkesinambungan. Selain itu, untuk pemberhentian, kekuasaan termasuk kekuasaan eksekutif tidak bisa mempengaruhi. Kalau pola yang sekarang terus dipertahankan, akan berakibat pada kesinambungan serta efisiensi pengisian jabatan tersebut,” lanjutnya.

Dalam pokok permohonannya, para pemohon menganggap hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 33 ayat (1), Pasal 33 ayat (2) dan Pasal 34 UU KPK. Pemohon mendalilkan bahwa keberadaan materi muatan Pasal 33 dan Pasal 34 UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK yang ditafsirkan secara keliru oleh DPR-RI dalam tahapan fit and proper test untuk memilih satu pengganti pimpinan KPK. Pemerintah melalui Panitia Seleksi Pimpinan KPK juga telah menafsirkan dan merekomendasikan masa jabatan pimpinan KPK selama 4 tahun. Tafsir ini didasarkan atas penafsiran secara sistematis terhadap Pasal 21, Pasal 33 dan Pasal 34 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. DPR-RI tidak mempunyai kewenangan untuk menentukan masa jabatan Pengganti Pimpinan KPK dan hanya berwenang memilih calon pimpinan yang diajukan oleh Presiden, hal tersebut berdasarkan Pasal 30 ayat (10) dan ayat (11) serta Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK sama sekali tidak membeda-bedakan pimpinan pengganti dengan pimpinan yang digantikannya, hal tersebut dapat dilihat berdasarkan Pasal 33 ayat (2) UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK yang menjelaskan tentang prosedur pengajuan calon penggantian pimpinan KPK. (Lulu Anjarsari/mh)

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=5407

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More