Senin, 16 Mei 2011

Pahlawan Nasional Tidak Layak untuk Koruptor dan Pelaku Pelanggar HAM

Jakarta, MKOnline – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang Pengujian Undang-Undang (PUU) No. 20 Tahun 2009 Tentang Gelar, Tanda Jasa, dan tanda Kehormatan, kamis (16/5). Sidang panel yang diperluas ini dipimpin oleh Ketua MK, Moh. Mahfud MD. Sidang beragendakan mendengarkan keterangan saksi/ahli dari Pemohon dan Pemerintah. Beberapa saksi mengemukakan kriteria pahlawan nasional dan menyatakan koruptor dan pelaku pelanggar HAM tidak boleh dan tidak layak ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional.

Sidang perkara ini dimulai pukul 10.00 WIB yang dihadiri Pemohon prinsipal, AH. Wakil Kamal. Pemohon didampingi kuasa hukumnya, yaitu Gatot Goe, Guntoro, Putri Kanesia,  Yati Andriyani, M. Daud Bereuh, dan Indria Fernida. Pemohon pada persidangan kali ini menghadirkan ahli bernama Asvi Warman Adam yang merupakan seorang sejarawan. Pihak Pemohon juga menghadirkan seorang saksi yang juga merupakan korban penculikan pada tahun 1998, yaitu Mugiyanto.

Pihak Pemerintah diwakili dengan hadirnya Mualimin Abdi (Kementerian Hukum dan HAM),  Bhakti Nusantoro (Kepala Pusat Kajian Hukum Kementerian Sosial), Rusli Wahid (Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial dan Kemiskinan), A. Afandi (Brigadir Jenderal, Kepala Biro Hukum Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan), Marsma Aris Santoso (Direktur SDM Kementerian Pertahanan), Budi Harsoyo (Karo. Hukum Kementerian Pertahanan), Heni Susila Wardaya (Kementerian Hukum dan HAM). Pemerintah juga menghadirkan dua orang ahli, yaitu Bambang W. Soeharto (politisi) dan Abdul Syukur.

Saksi Pemohon, Mugiyanto sebagai Ketua Ikatan Keluarga Hilang Indonesia sekaligus korban penculikan aktivis tahun 1998 menceritakan pengalamannya. Tahun 1998, saat peristiwa penculikan terhadap dirinya terjadi, Mugiyanto masih menjadi mahasiswa di UGM dan menjadi aktivis Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi.

Mugiyanto kemudian mengungkapkap bahwa pada tanggal 13 Maret 1998, ia diculik oleh sekelompok orang tidak dikenal di daerah Klender, Jakarta Timur. Oleh penculik itu kemudian Mugiyanto dibawa ke suatu rumah lalu mampir Koramil Duren Sawit. Dengan mata tertutup, Mugiyanto tidak mengetahui lagi di mana keberadaannya. Kemudian Mugiyanto mengatakan dirinya dibawa ke suatu tempat dan tinggal di tempat itu selama dua hari dengan tidak hentinya diintrograsi, disekap, dan disiksa.

Dua hari kemudian, tepatnya pada 15 Maret 1998, Mugiyanto mengatakan dirinya diserahkan ke Polda Metro Jaya dan penutup matanya dilepaskan. Selama di Polda Metro Jaya Mugiyanto ditahan dan dijerat dengan pasal-pasal anti-subversif hingga dibebaskan pada 6 Juni 1998.

Menurut Mugiyanto, Komnas HAM telah mendokumentasikan jumlah orang hilang pada tahun 1998. Terdapat 23 korban penghilangan paksa yang satu diantaranya ditemukan meninggal, 9 orang sudah dilepaskan, dan 13 orang lainnya masih hilang sampai hari ini. Peristiwa yang dialami Mugiyanto membuatnya ”tidak rela” kalau gelar pahlawan diberikan kepada orang yang pernah terlibat atau bertanggung jawab pada pelanggaran HAM. Terlebih, bila orang yang dianugerahi gelar pahlawan tersebut belum mempertanggungjawabkan pelanggaran HAM yang dilakukannya secara hukum.

“Hal tersebut (pemberian gelar pahlawan, red), menurut saya akan menghalangi dipenuhinya hak-hak korban yang adalah warga negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Selanjutnya, menurut saya sebagai korban pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi pada masa Pemerintahan Orde Baru, mereka yang pada masa lalu pernah terlibat atau bertanggung jawab atas tindak pelanggaran hak asasi manusia, tidak bisa mendapatkan gelar pahlawan,” tegas Mugiyanto.

Kriteria Pahlawan
Asvi Warman Adam, Ahli dari Pemohon mendapat kesempatan menyampaikan keterangan di hadapan Panel Hakim. ”Sejak dari tahun 1959 sampai sekarang, selama 51 tahun sudah diangkat 150 orang pahlawan. Jadi kalau dipukul rata, satu tahun tiga orang yang menjadi pahlawan. Tapi yang menarik itu adalah pada masa Orde Lama dan Orde Baru, itu yang diangkat sekitar 100 pahlawan, sedangkan pada masa reformasi yang hanya waktu sekitar 10 tahun, itu 50 pahlawan,” papar Warman terkait jumlah orang yang diberi gelar pahlawan.

Pada masa Orde Lama, kriteria pemberian gelar pahlawan kepada seseorang menurut Warman Adam ada dua sesuai Penetapan Presiden Nomor 33 Tahun 1964. Pertama, Warga Negara RI yang gugur di dalam perjuangan yang bermukim di dalam membela bangsa dan negara. Kedua, Warga Negara RI yang berjasa membela bangsa dan negara, tidak ternoda dengan perbuatan yang membuat cacat perjuangannya. Lebih lanjut, Warman menjelaskan penggunaan istilah ternoda dan cacat sengaja digunakan pada masa Orde Lama dan Orde Baru untuk menghalangi orang yang layak menjadi pahlawan nasional, namun tidak disukai pemerintah.

Setelah UU Penetapan Presiden Nomor 33 Tahun 1964 dicabut dan digantikan dengan UU No. 20 Tahun 2009, kriteria pahlawan diubah juga. Pahlawan dalam UU No. 20 Tahun 2009, yaitu warga negara atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan yang gugur atau meninggal demi membela bangsa dan negara dan semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan serta berprestasi luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara.

“Kriteria ini sangat-sangat umum sehingga memungkinkan orang-orang yang memunyai beberapa aspek yang negatif mungkin juga terpilih sebagai pahlawan. Padahal, di dalam kamus Bahasa Indonesia dikatakan bahwa pahlawan itu adalah orang yang berani melakukan pengorbanan untuk menegakkan kebenaran. Jadi, keberanian, pengorbanan, dan menegakkan kebenaran yang benar, bukan membela yang bayar. Itu juga merupakan ciri dari pahlawan. Semestinya, kriteria keberanian, pengorbanan, dan kebenaran atau penegakkan kebenaran itu dimasukkan juga di dalam kriteria calon atau pahlawan nasional,” tegas Marwan yang kerap kali menjadi ahli dalam pelbagai persidangan.

Seorang koruptor dan pelaku pelanggaran HAM berat menurut Warman juga tidak boleh menjadi pahlawan nasional. Sebelum mengakhiri keterangannya, Warman mengatakan seseorang yang menyeleksi gelar kepahlawanan yang hendak diberikan haruslah berlatar belakang sejarah dan orang yang mengerti atau memahami tentang gelar tanda jasa dan tanda kehormatan. (Yusti Nurul Agustin/mh)

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=5483

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More