Senin, 25 Oktober 2010

Uji Konstitusionalitas Keberadaan Ombudsman

Kuasa Hukum Pemohon, Adnan Buyung Aziz menguji Konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (UU Ombudsman) dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU Pelayanan Publik), Senin (25/10).
Jakarta, MKOnline - Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (UU Ombudsman) dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU Pelayanan Publik) diuji di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (25/10), di Gedung MK. Perkara yang teregistrasi di Kepaniteraan MK dengan Nomor 62/PUU-VIII/2010 ini dimohonkan oleh Walikota Makassar Ilham Arief Sirajuddin (Pemohon I), Lembaga Ombudsman Kota Makassar (Pemohon II), Lembaga Ombudsman Daerah Provinsi DIY (Pemohon III), Lembaga Ombudsman Swasta Provinsi DIY (Pemohon IV), Ombudsman Daerah Kab.Asahan (Pemohon V), LSM KOPEL (Pemohon VI) dan Bahar Ngintung (Pemohon VII).

Dalam permohonannya, Pemohon melalui kuasa hukumnya Adnan Buyung Aziz mengungkapkan bahwa Pasal 43 ayat (1) dan (2) UU Ombudsman serta Pasal 46 ayat (3) dan (4) UU Pelayanan Publik bertentangan Pasal 18 ayat (2) dan ayat (6), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (3), pasal 28E dan Pasal 28F UUD 1945. Dalam Pasal 43 ayat (1) dan (2) UU Ombudsman menyatakan bahwa “(1) Apabila dipandang perlu, Ombudsman dapat mendirikan perwakilan Ombudsman di daerah provinsi atau kabupaten/kota;(2) Perwakilan Ombudsman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai hubungan hierarkis dengan Ombudsman dan dipimpin oleh seorang kepala perwakilan”. Sementara Pasal 43 ayat (1) dan (2) UU Pelayanan Publik menyatakan bahwa “(3) Ombudsman wajib membentuk perwakilan di daerah yang bersifat hierarkis untuk mendukung tugas dan fungsi ombudsman dalam kegiatan pelayanan publik; (4) Pembentukan perwakilan ombudsman di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan”.

“Setelah dua tahun disahkannya UU tersebut, Pemohon I sampai Pemohon V tidak diperkenankan untuk menggunakan nama Ombudsman. Jika tetap mengunakan, maka dianggap tidak sah. Tak hanya itu, dalam Pasal 43 ayat (1) dan (2) UU Ombudsman terdapat kata ‘dapat’ dan pada Pasal 46 ayat (3) dan (4) UU Pelayanan Publik menggunakan kata ‘wajib’. Dari ketentuan tersebut, menurut kami ambivalen dan ambiguitas,” ujarnya.

Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva sebagai Ketua Panel menyarankan agar Pemohon memperbaiki salah satu petitumnya yang meinta agar MK mensahkan para Pemohon untuk menjadi Ombudsman di daerah masing-masing. “MK hanya memiliki kewenangan untuk menguji konstitusionalitas pasal. Dalam pandangan kami, petitum Pemohon bukan masuk wilayah kami untuk menentukan keberadaan sebuah institusi atau lembaga,” ujarnya 

Sementara Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menjelaskan Pemohon harus menguraikan secara jelas bahwa Ombudsman yang dimiliki Pemohon sudah disesuaikan dengan UU a quo. “MK tidak mempunyai kewenangan menambahkan norma baru. Tapi kalau Pemohon menginginkan pasal a quo konstitusional bersyarat, maka Pemohon harus menguatkan argumentasi bahwa ombudsman yang sudah didirikan Pemohon sama seperti yang diamanatkan dalam UU a quo. Kalau tidak begitu, maka nanti akan ada ombudsman-ombudsman di daerah lain yang tidak sesuai dengan amanat yang ada dalam pasal a quo,” urainya. 

Sedangkan, Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar menyarankan Pemohon untuk memperbaiki kedudukan hukumnya (legal standing). “Legal standing adalah pintu masuknya permohonan ini. Hal ini tidak diuraikan dengan jelas oleh Pemohon. Tidak cukup hanya menyebutkan pasal-pasal yang menjamin hak konstitusional Saudara (Pemohon, red.) dalam UUD 1945, tapi juga harus diuraikan konstruksinya. Apalagi Pemohon dalam perkara ini banyak, ini berarti mempunyai kedudukan hukum yang berbeda-beda pula,” paparnya.

Menurut Akil, Pemohon lebih memfokuskan pokok permohonan pada penamaan Ombudsman sendiri. Hal ini, lanjut Akil, lebih mengarah pada open legal policy (kebijakan hukum dari pembuat UU yang bersifat terbuka). “Apa ini termasuk masalah konstitusionalitas pasal? Lalu, masalah penggunaan kata ‘dapat’ dalam Pasal 43 ayat (1) dan (2) UU Ombudsman dan kata ‘wajib’ pada Pasal 46 ayat (3) dan (4) UU Pelayanan Publik, saya kira ini masalah legal drafting saja. Bukan masalah konstitusional pasal,” ujarnya. 

Pemohon diberikan waktu perbaikan permohonan selama 14 hari dan selanjutnya akan digelar sidang perbaikan permohonan. (Lulu Anjarsari/mh)
 
SUmber:

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More