Rabu, 02 Juni 2010

Uji UU Kesehatan: Rokok Tembakau Timbulkan Ketergantungan Psikologis, Fisik, dan Toleransi

Ahli Pemerintah dr. Widyastuti Soerojo, MSc disumpah dihadapan Majelis Hakim sebelum memberikan keterangan terkait UU Kesehatan tentang tembakau, Rabu (2/6), di ruang sidang pleno MK.
Jakarta, MK Online - Nikotin tergolong zat adiktif. Nikotin terdapat dalam tembakau dengan kadar yang cukup besar, sehingga rokok tembakau dapat menimbulkan ketergantungan psikologis, fisik dan toleransi serta sulit menghentikannya.
Demikian dikatakan Prof. Dr. Amir Syarief, SpFK, selaku Ahli dari Pemerintah, saat memberikan keterangan pada sidang uji Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Rabu (2/6/2010), bertempat di ruang sidang pleno lt. 2 gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Agenda sidang kali ini adalah mendengarkan keterangan saksi/ahli dari Pemohon dan Pemerintah, kuasa Pihak Terkait Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), serta saksi-saksi
Sidang perkara Nomor 19/PUU-VIII/2010 ini dilaksanakan oleh Pleno Hakim yang terdiri dari Achmad Sodiki sebagai Ketua, M. Arsyad Sanusi, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, M. Akil Mochtar, Hamdan Zoelva, dan Harjono masing-masing sebagai anggota. Sidang dihadiri oleh Pemohon prinsipal H.M. Bambang Soekarno, Ahli dari Pemohon, dan Ahli dari Pemerintah.
Lebih lanjut, Guru Besar FK UI ini mengatakan, ketergantungan psikologis adalah bila seseorang mengkonsumsi suatu zat dan berkeinginan menggunakannya kembali berulang-ulang untuk memperoleh efek perasaan nyaman, senang, bergairah, bersemangat. "Bila keinginannya itu tidak terlaksana akan menimbulkan perasaan sebaliknya, dia menjadi lesu, tidak bergairah," kata Amir.
Ketergantungan fisik adalah bila seseorang mengkonsumsi suatu zat dalam jangka waktu tertentu dan mengurangi atau menghentikannya secara tiba-tiba. "Maka akan menimbulkan tanda-tanda gangguan fisik, seperti perubahan-perubahan pada denyut jantung, tekanan darah, produksi keringat, frekuensi diare, sensitasi nyeri, dan sebagainya," lanjut Amir.
Sedangkan yang dimaksud toleransi adalah bila seseorang mengkonsumsi suatu zat dalam jangka tertentu dan memerlukan peningkatan takaran atau dosis untuk memperoleh efek yang sama seperti sebelumnya. "Misalnya seseorang biasanya untuk tidur cukup menggunakan dosis 5 mg Diazepam, tetapi karena sering menggunakan obat tersebut, suatu ketika ia memerlukan dosis 10 mg untuk bisa memberikan efek tidur," kata Amir mencontohkan.
Sementara itu, Ahli Pemerintah dr. Widyastuti Soerojo, MSc, mengatakan, tidak ada kata larangan dalam Pasal 113 UU 36/ 2009 tentang Kesehatan. Yang ada adalah pengaturan. "Artinya bahwa masih dibenarkan orang untuk memproduksi atau melakukan kegiatan yang berhubungan dengan zat adiktif yang di sana disebutkan adalah tembakau," kata Widya.
Ketua Badan Khusus Pengendalian Tembakau IAKMI ini mengatakan, dari perspektif perlindungan kesehatan masyarakat, tidak ada diskriminasi antara sediaan farmasi dan zat adiktif. "Pengamanan sediaan farmasi tidak berbeda dengan pengamanan zat adiktif," tegas Widya.
Widya menyebutkan jenis tanaman yang mengandung zat adiktif, yaitu kentang, tomat, paprika, terong, kopi, cokelat, teh. Jenis tanaman ini mengandung zat adiktif dengan konsentrat sangat kecil, tidak berpengaruh pada terjadinya ketagihan. "Dan karenanya tidak di-cover oleh undang-undang," jelas Widya.
Ahli dari Pemerintah, Dr. Ahmad Hudoyo, Sp.P(K), dalam pengantarnya mengatakan, kanker paru merupakan penyakit mematikan. "Karena kanker paru sulit disembuhkan dengan angka tahan hidup lima tahun paling rendah dibanding kanker lainnya," kata Ahmad mengawali penjelasannya.
Lebih lanjut spesialis paru ini mengatakan, selain untuk rokok, cerutu, susur, inang, ternyata dengan kemajuan teknologi, daun tembakau bisa dijadikan zat pengawet untuk kayu, bambu, bahkan untuk mewarnai kain sutera. "Tembakau juga bisa untuk bio pestisida, dan penelitian terakhir ekstrak daun tembakau bisa untuk obat kencing manis, bahkan dengan rekayasa genetik, daun tembakau juga bisa jadi obat anti kanker paru," papar Ahmad.
Ahli Pemerintah Abdillah Ahsan, SE, MSE, mengatakan, proporsi pengeluaran untuk rokok menduduki urutan kedua setelah padi-padian dan beras. "Mengalahkan untuk pendidikan, kesehatan, dan sebagainya, kata Abdillah.
Uang yang dihabiskan untuk rokok, lanjut Peneliti Lembaga Demografi UI ini, setara dengan sembilan kali biaya pendidikan. Pengeluaran untuk rokok juga setara dengan tujuh belas kali pengeluaran untuk daging, setara dengan lima kali pengeluaran untuk susu dan telur. "Kalau boleh berandai-andai, di rumah tangga yang miskin, bapaknya yang perokok berhenti merokok, dan uangnya dibelikan susu dan telur, maka konsumsi susu dan telur di rumah tangga tersebut akan meningkat lima kali lipat," papar Abdillah.
Sementara itu, Ahli Pemerintah, DR. H.A. Fattah Wibisono, MA, mengatakan, hukum merokok tidak ditemukan dalam Al-Qur'an maupun as-Sunnah (Hadits). "Kata tadkhîn tidak ada dalam kitab suci," kata Fattah mengawali keterangannya.
Lebih lanjut, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengatakan, rokok mempunyai dampak negatif bagi kesehatan. Dengan demikian, merokok dapat dikategorikan sebagai khabâits. Makna kata khabâits menurut Ibnu Katsir adalah dhârratun fil badan, finnafsi, sesuatu yang mempunyai daya rusak dahsyat bagi fisik dan jiwa seseorang. "Bisa dipahami jika Syekh Yusuf Qardhawi dan Wahbah Al-Zuhaili yang banyak dijadikan rujukan pengharaman rokok, kemudian di Indonesia, ada ulama Muhammadiyah yang juga mengharamkan rokok," lanjut Fattah.
Di samping itu, kata Fattah, ada ulama di Indonesia yang menyatakan merokok hukumnya makruh. "Baik yang mengharamkan maupun yang memakruhkan, itu mempunyai titik temu, yaitu sama-sama menginginkan orang berhenti merokok," jelas Fattah. (Nur Rosihin Ana)

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More