Selasa, 22 Juni 2010

“Lingkaran Setan” dalam UU Pemilu

Direktur Litigasi DEPHUKHAM Cholilah (tampak di layar) sedang menyampaikan keterangan dari pihak Pemerintah pada sidang permohonan uji materi UU Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, Selasa (22/6) di Ruang Sidang Pleno MK
Jakarta, MK Online - Frasa ‘daftar calon tetap’ (DCT) pada Pasal 218 Ayat (3) Undang-Undang nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu), jika dimaknai secara absolut mustahil untuk terlaksana. Sehingga, berpeluang memunculkan dampak laten dan akan terjadi kehilangan substansi konstitusi yang dimaksud dalam pengaturan tersebut.
Demikian diucapkan oleh Ahli, Samuel Frederik Lena, yang dihadirkan oleh Pemohon dalam persidangan dengan nomor perkara 27/PUU-VIII/2010, Selasa (22/06). Pemohon adalah Sefriths E.D Nau, anggota Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI) yang seharusnya dilantik sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), namun karena adanya norma dalam Pasal tersebut, mengakibatkan dirinya sampai sekarang masih belum bisa dilantik sebagai anggota DPRD TTS.
Dalam penjelasannya, Samuel, mengutarakan bahwa dalam mengkaji konstitusionalitas norma tersebut harus memfokuskan pada tiga isu hukum. Tiga isu tersebut adalah, pertama, apakah secara substansi bunyi norma dalam UU Pemilu tersebut bertentangan dengan UUD 1945; kedua, apakah frasa ‘daftar calon tetap’ bertentangan secara hakiki ataukah kondisional saja terhadap konstitusi; dan ketiga, apa saja hak konstitusional yang dilanggar jika frasa DCT tersebut diterapkan secara mutlak.
Dalam menjawab isu hukum tersebut, ia memaparkan beberapa argumentasi. Pada intinya, ada dua prinsip pokok yang harus diperhatikan, yakni penjaminan terhadap kepastian hukum dan terpenuhinya prinsip keadilan. Terkait kepastian hukum, menurutnya, pengaturan pada norma yang mencantumkan ‘daftar calon tetap’, memang dilandasai semangat kepastian hukum, namun disisi lain, jika ketentuan ini diterapkan secara mutlak, maka akan menciptakan kondisi yang dilematis, yakni ketidakpastian hukum dalam konteks prosedur penggantian calon pada kondisi-kondisi tertentu.
“Jika semua calon yang ada di daftar calon tetap itu meninggal dunia atau melakukan pelanggaran pidana Pemilu, atau seperti dalam kasus ini, semuanya dipecat. Maka, akan terjadi kekosongan hukum, bagaimana prosedur penggantiannya? Oleh karena itu, terjadi lingkaran setan. Harus ada di DCT tapi DCT tidak sah, diganti, tapi tak ada dasar hukumnya,” papar Samuel.
“Nampak ketidakmampuan hukum yang dilakukan oleh KPU dalam hal ini. Ini merupakan ketidakadilan yang nampak secara kasat mata. Makna keadilan yang universal adalah memberi pada setiap orang apa yang telah menjadi haknya. Terutama dalam konteks keadilan distributif, pemberian hak harus sesuai prestasinya,” tegasnya. Ungkapan ini terkait dengan kosongnya kursi dari PPDI di DPRD Kabupaten TTS hingga sekarang, karena tidak ada keputusan dan sikap yang jelas dari KPU Kabupaten TTS mengenai permasalahan ini. Adapun selama ini, KPU Kabupaten TTS berdalih dengan adanya norma tersebut, KPU tidak bisa menetapkan dan melantik calon Anggota DPRD pengganti dari pengurus PPDI yang sah karena calon pengganti tidak ada di DCT.
Akhirnya, ia pun mengakhiri pendapatnya dengan mengatakan bahwa pada hakikatnya norma pada Pasal 218 Ayat (3) tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi, tapi jika norma tersebut diterapkan secara mutlak, maka akan menciptakan kondisi yang inkonstitusional, karena telah bertentangan dengan penjaminan kepastian hukum, perlindungan terhadap hak-hak individu, serta penegakkan prinsip kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan pemilihan umum yang diatur dalam UUD 1945. Ia pun mengajukan kepada Mahkamah usulan terkait putusan yang akan diambil oleh Mahkamah nantinya.
“Saya mengusulkan kepada Mahkamah untuk menyatakan bahwa norma ini adalah conditionally constitutional (konstitusional bersyarat), yakni Pasal tersebut adalah konstitusional sepanjang dimaknai sesuai dengan yang telah ditegaskan oleh Mahkamah. Namun, ia (pasal tersebut) akan inkonstitusional jika diterapkan secara mutlak. Dia bersifat mutlak sejauh calon di dalam daftar calon tetap masih memenuhi syarat seperti yang telah ditentukan dalam perundang-undangan,” urainya.
Menanggapi permohonan Pemohon, pihak Pemerintah, melalui juru bicaranya Cholilah (Direktur Litigasi DEPHUKHAM), menyampaikan beberapa argumentasinya. Pada pokoknya, ia mengatakan bahwa pengaturan tersebut adalah untuk menjamin kepastian hukum. Oleh karenanya, norma tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945, malah sebaliknya, rumusan tersebut adalah perwujudan dari UUD 1945 itu sendiri. Dalam uraiannya ia menjelaskan hal itu dari berbagai aspek, dari aspek filosofis, yuridis sampai teknis, kenapa muncul rumusan tersebut.
“Menurut kami (Pemerintah), apa yang terjadi itu (adanya dualisme kepemimpinan dalam PPDI di Kebupaten TTS) terkait masalah internal parpol itu sendiri, jadi harus diselesaikan secara internal juga, jadi ini bukan persoalan konstitusionalitas keberlakuan norma UU,” ujar Cholilah.
Setelah mendengarkan paparan dari para pihak, saksi serta ahli, Mahkamah akan menghadirkan KPU Kabupaten TTS dan KPU Pusat untuk didengarkan keterangannya pada persidangan berikutnya. “Untuk sidang berikutnya, kita akan hadirkan KPU TTS dan KPU Pusat. Dalam dua minggu ini kita akan sidangkan lagi perkara ini,” tutur Mahfud selaku Ketua Sidang. (Dodi H)

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More