Selasa, 08 Juni 2010

UU Pengelolaan Wilayah Pesisir Membuka Peran Serta Masyarakat


Ahli Pihak Pemohon I Nyoman Nurjaya menerangkan keahliannya terkait Uji Materi UU Pengelolaan Wilayah Pesisir di ruang Sidang Pleno MK, Selasa (8/06).
Jakarta, MK Online - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Selasa (08/06), di Gedung MK. Agenda sidang kali ini adalah mendengar keterangan Saksi dan Ahli dari Pihak Pemohon dan Pemerintah.
Imron Amin selaku Saksi Pemerintah menjelaskan bahwa banyak sekali kasus tumpang tindih terkait kebijakan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) baik dari Pemerintah maupun swasta saat eksplorasi potensi pesisir pantai.
“Konflik kepentingan ini terjadi ketika era pemerintahan Gus Dur dan kemudian harus ada peraturan untuk meminimalisasi konflik kepentingan. Saat itu saya sebagai pegiat LSM ingin sekali ada pengaturan satu pintu sehingga pengelolaan dan kebijakan HP-3 maupun kekuatan masyarakat agar bisa menolak eksplorasi apabila tidak menguntungkan masyarakat itu sendiri,” tuturnya.
Sejalan dengan Imron, Abdon Nababan, Ahli dari Pemerintah menjelaskan bahwa semangat dalam UU Pengelolaan Wilayah Pesisir adalah agar masyarakat bisa berperan serta dalam pengelolaan wilayah pesisir. “Pada ketentuan Pasal 9 disebutkan masyarakat memiliki peran serta. Jadi HP-3 harus dimusyawarahkan dengan masyarakat adat setempat dan aturan itu merupakan standar yang diatur oleh HAM internasional,” katanya.
Kemudian, tutur Imron, ketika era Gus Dur terdapat usaha yang maju dengan adanya pengelolaan laut. “Saat itu saya dalam diskusi dengan Presiden Gus Dur dan budayawan Emha Ainun Najib menggagas bagaimana negara Indonesia ini harus dikuatkan lautnya. Dan kemudian dibutuhkan suatu departemen yang kemudian dibentuklah Departemen Kelautan dan Perikanan,” imbuhnya.
Hilangkan Tradisi Lokal
Sementara itu menurut Bona selaku juru tikam ikan paus suku Lamanera di Pulau Lembata, NTT, nasib nelayan di kampungnya mengalami keresahan karena adanya UU Pengelolaan Wilayah Pesisir ini.
“Nelayan kami memiliki tradisi melaut dan menangkap dengan alat tradisional. Menghilangkan tradisi dengan beberapa cara adalah menghilangkan identitas orang Lamanera yang selalu identik dengan pemikiran tradisional. Jadi kami sangat gelisah dengan pengalihan isu bahwa kita dianggap brutal dengan menangkap paus di laut yang akhirnya membuat hidup kami yang tradisional menjadi berubah ke cara yang lain,” kisahnya.
Selanjutnya, menurut Ahli Pemohon yakni I Nyoman Nurjaya menyatakan dalam Pasal 33 UUD 1945 dinyatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat,”
“Tentu saja istilah dikuasai menurut tafsir MK dalam putusannya tidak berarti memiliki. Namun, diartikan merumuskan kebijakan, pengaturan, pengelolaan serta pengawasan guna pembangunan nasional yakni mewujudkan kemakmuran rakyat,” katanya.
Dengan demikian, tambah Nyoman, kecenderungan pembangunan saat ini hanya pada pertumbuhan angka-angka dan tidak melihat apakah rakyatnya sejahtera apakah menangis. “Jangan sampai pengelolaan pesisir pantai berada di tangan pemodal-pemodal besar.
Perkara yang diregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 3/PUU-VII/2010 ini diajukan oleh 14 pemohon, yakni Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KARA), Indonesia Human Right Committee for Social Justice (IHCS), Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (PK2PM), Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Serikat Petani Indonesia (SPI), Yayasan Bina Desa Sadajiwa, Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLHI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Aliansi Petani Indonesia (API), Tiharom, Waun, Wartaka, Carya bin Darja, dan Kadma. (RN Bayu Aji)

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=4128

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More