Kamis, 09 Agustus 2012

Pemerintah: Pemisahan Hulu dan Hilir Optimalkan Usaha Sektor Migas

Pemisahan pengusahaan kegiatan usaha hulu dan hilir pada kegiatan usaha minyak dan gas bumi (Migas) adalah bertujuan untuk mengoptimalkan pengusahaan, baik pada kegiatan usaha hulu maupun hilir. Dengan konsep ini, diharapkan pelaku usaha di bidang hulu dapat fokus pada tujuannya untuk mencari migas serta mengoptimalkan kegiatan eksplorasi untuk mencari cadangan minyak dan gas bumi. Sedangkan karakteristik kegiatan usaha hilir, lebih kepada sifat bisnis dan tidak mengenal adanya mekanisme pengembalian biaya operasi. Maka dalam kegiatan usaha hilir dimungkinkan untuk memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada badan usaha baik besar, menengah, maupun kecil, yaitu BUMN, BUMD, koperasi, dan usaha kecil lainnya untuk dapat melakukan kegiatan usaha hilir.
BP Migas sebagai pelaksana dan pengendali kegiatan usaha hulu migas memiliki hak manajemen dalam hal kontrak kerja sama (KKS) untuk dapat melaksanakan tugas yang diamanatkan berdasarkan KKS. “Sedangkan pemerintah adalah pemegang kuasa pertambangan yang akan menetapkan kebijakan dan penentu atas pemanfaatan minyak dan gas bumi yang diproduksi dari kegiatan usaha hulu tersebut.”
Pernyataan tersebut disampaikan Dirjen Migas Kementerian ESDM Evita H. Legowo saat menyampaikan keterangan Pemerintah dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (9/8/2012) siang. Sidang kali ketiga untuk perkara 65/PUU-X/2012 ihwal pengujian Pasal 1 angka 19, angka 23, angka 24, Pasal 6, Pasal 9 ayat (1), Pasal 10, Pasal 44, Pasal 46, dan Pasal 63 huruf c UU Migas, beragendakan mendengarkan Keterangan Pemerintah, DPR dan Saksi/Ahli dari Pemohon serta Pemerintah.
Di hadapan pleno hakim konstitusi Achmad Sodiki (ketua pleno), Ahmad Fadlil Sumadi, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, dan Anwar Usman, lebih lanjut Dirjen Migas menyatakan pihak yang ditunjuk sebagai pelaksana dan pengendali kegiatan usaha hulu migas tidak berbentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) namun berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN). “Dengan status tersebut, BP Migas dapat fokus melaksanakan tujuan pengendalian kegiata usaha hulu minyak dan gas bumi tanpa dibebani kewajiban mencari keuntungan untuk diri sendiri, tetapi lebih fokus untuk kepentingan negara serta menghindari terjadinya pembebanan terhadap keuangan negara melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,” lanjut Evita.
Menurut Pemerintah, pembentukkan BP Migas tidak dimaksudkan untuk menerima pengalihan kuasa pertambangan, melainkan untuk melaksanakan tugas yang diberikan oleh Pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan dalam pengendalian kegiatan usaha hulu migas melalui KKS. Dengan demikian, tujuan pembentukkan BP Migas dimaksudkan agar pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan tidak langsung berkontrak dengan badan usaha dan/atau bentuk usaha tetap, sehingga tidak ada posisi yang setara antara kontraktor dengan pemerintah. Selain itu dengan dibentuknya BP Migas dimaksudkan agar pemerintah tidak terekspos dan tidak menjadi pihak secara langsung dalam hal adanya sengketa yang timbul dari pelaksanaan KKS dengan kontraktor. Sedangkan karakteristik kegiatan usaha hilir dalam rangka memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada badan usaha baik besar, menengah, maupun kecil, BUMN, BUMD, koperasi, dan usaha kecil lainnya untuk melakukan kegiatan usaha hilir, maka perlu adanya peran pemerintah untuk melakukan pembinaan dan pengawasan melalui mekanisme pemberian izin usaha oleh pemerintah.
Selain itu, pemerintah memiliki kewajiban menjamin ketersediaan dan kelancaran pendistribusian bahan bakar minyak (BBM) di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dapat dilakukan oleh badan usaha baik besar, menengah, maupun kecil. Pemerintah berkewajiban untuk melakukan pengaturan dan pengawasan kegiatan  usaha hilir yang pelaksanaannya dalam hal-hal tertentu dilakukan oleh badan pengatur hilir, di antaranya pendistribusian BBM, kegiatan usaha pengangkutan gas bumi melalui pipa. Hal ini dimaksudkan agar pelaksanaan pembinaan dan pengawasan kegiatan usaha hilir dapat berjalan lebih efektif dan efisien.
“Sehingga anggapan para Pemohon yang menyatakan bahwa telah terjadi sektoralisasi penguasaan negara atas minyak dan gas bumi sehingga mengakibatkan hak menguasai negara tidak berlangusng secara efektif adalah tidak benar dan bertentangan dengan fakta yang ada,” tandas Evita menanggapi dalil Pemohon.
Pemerintah dalam petitum antara lain meminta Mahkamah menyatakan bahwa para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing). Menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan. Menyatakan Pasal 1 angka 19 dan angka 23 Pasal 9, Pasal 10, Pasal 44, Pasal 46, dan Pasal 63 huruf c Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi tidak bertentangan dengan Pasal 28D dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” pinta Evita.
Sementara itu Revrisond Baswir dalam kapasitasnya sebagai ahli pemohon menyatakan, penyelenggaraan sektor migas harus memberikan prioritas kepada Pertamina sebagai badan usaha milik negara. “Tidak dapat keberadaan Pertamina sebagai badan usaha milik negara itu disetarakan dengan badan usaha milik swasta,” kata Revrisond.
Menyinggung perbedaan antara sektor hulu dan hilir, sektor hulu dianggap mempunyai karakteristik yang berbeda dengan hilir karena hilir dianggap lebih menekankan sesuatu yang sifatnya bisnis. “Kalau hilir dianggap bisnis, apakah hulu tidak bisnis? Di mana letak tidak bisnisnya hulu?” tanya Revrisond.
Menurutnya, baik hulu maupun hilir keduanya sifatnya bisnis. Putusan Mahkamah Konstitusi pada 2004 lalu, justru membatalkan sifat bisnis dari hilir itu, yaitu dengan ditolaknya keinginan UU Migas untuk menyerahkan harga eceran BBM kepada mekanisme pasar. “Mahkamah Konstitusi sudah menetapkan bahwa harga BBM harus tetap dikendalikan oleh negara,” tandas Revrisond.
Untuk diketahui, pengujian Pasal 1 angka 19, angka 23, angka 24, Pasal 6, Pasal 9 ayat (1), Pasal 10, Pasal 44, Pasal 46, dan Pasal 63 huruf c UU Migas UU Migas, ini diajukan oleh Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) dan Konfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia (KSPMI). Menurut FSPPB dan KSPMI, ketentuan dalam pasal yang diujikan tersebut bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945.
Pasal 10 UU Migas menyatakan: “(1) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melakukan Kegiatan Usaha Hulu dilarang melakukan Kegiatan Usaha Hilir. (2) Badan Usaha yang melakukan Kegiatan Usaha Hilir tidak dapat melakukan Kegiatan Usaha Hulu.”
Menurut pemohon, berlakunya Pasal 10 UU Migas telah memecah bentuk usaha sektor hulu dan hilir migas. Akibat berlakunya Pasal 10 UU Migas, PT. Pertamina Persero selaku BUMN dalam kegiatan usahanya harus membentuk anak perusahaan dengan spesifikasi kerja berbeda untuk mengelola industri hulu dan hilir. Ada sekitar 21 (dua puluh satu) anak perusahaan PT Pertamina Persero yang bergerak di bidang hulu dan hilir. Pemisahan sektor hulu dan hilir serta pembentukan anak-anak perusahaan Pertamina dalam praktek global justru sangat bertentangan dengan fenomena big is beautiful dalam menjalankan industri perminyakan yang notabene high capital, high technology dan high risk. (Nur Rosihin Ana)

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More