Selasa, 14 Juni 2011

Pemohon Uji Materi UU Peradilan Agama Perbaiki Permohonan

Jakarta, MKOnline - Perkara pengujian Undang - Undang No. 7/1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3/2006, kembali digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa 14/6) di ruang sidang Panel MK. Hadir pada kesempatan itu, Pemohon, Suryani, seorang buruh di kawasan Serang, Banten. Dalam permohonannya, Suryani menguji Pasal 49 ayat (1) UU tersebut.

Pasal tersebut berbunyi, ”Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: Perkawinan, Waris, Hibah, Wakaf, Zakat, Infaq, Shadaqah; dan Ekonomi syari’ah.”

Sebelumnya, pada 2008, dia telah melakukan uji materi terhadap pasal yang sama, yakni Pasal 49 ayat (1) namun MK menolaknya. Alasan MK saat itu, ketentuan pasal yang diuji tersebut sama sekali tidak mengurangi hak dan kebebasan Pemohon untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam sidang mendengarkan perbaikan permohonan kali ini, Pemohon menegaskan bahwa dirinya tidak mengubah banyak pokok-pokok permohonannya. “Tidak ada perubahan yang berarti,” katanya. “Hanya beberapa penyesuaian saja sesuai saran Majelis Hakim,” lanjutnya.

Ia meyakini, permohonannya telah cukup argumentatif dan dapat meyakinkan Mahkamah untuk menerima dalil-dalilnya. “Argumentasi sudah sesuai dengan logika hukum, logika akal, logika agama, dan logika sejarahnya pun sudah ada,” tegasnya kepada Panel Hakim yang diketuai oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman.

Ia berharap, MK tidak menolak permohonannya kali ini dengan alasan yang sama. “kalau pun saya salah, tolong dijelaskan salahnya dimana,” katanya. Sebelumnya, pada 2008, dia telah melakukan uji materi terhadap pasal yang sama, yakni Pasal 49 ayat (1) namun MK menolaknya. Alasan MK saat itu, ketentuan pasal yang diuji tersebut sama sekali tidak mengurangi hak dan kebebasan Pemohon untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam permohonannya, Pemohon berpandangan, pasal yang diuji tersebut telah merugikan haknya karena membatasi dirinya atau bahkan seluruh umat Islam, untuk melaksanakan syari’at Islam (baca: hukum pidana Islam). Atau dengan kata lain, dengan berlakunya pasal tersebut, maka telah mengakibatkan dirinya tidak dapat melaksanakan ibadah, yakni berupa pemberlakuan dan penerapan hukum pidana Islam. “Menjalankan hukum pidana Islam adalah ibadah, dan semua ibadah harus dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945,” ujarnya dalam sidang Pendahuluan, Rabu (25/5) di ruang sidang panel MK.

Ia berkesimpulan, dengan rumusan pasal seperti itu, haknya untuk melaksanakan ibadah, dengan menerapkan hukum pidana Islam, tidak terpenuhi. Pasal tersebut hanya memberi pengakuan atas hukum perdata Islam, bukan hukum pidana Islam. “Kenapa hanya perdata Islam saja. Kenapa ada pembatasan? Kenapa ada amputasi?” imbuhnya. “Pembatasan itu bertentangan dengan UUD 1945,” pada sidang pendahuluan.

Namun, sebelum persidangan ditutup, Hakim Konstitusi Muhammad Alim, selaku Anggota Panel, mengingatkan Pemohon. Alim menjelaskan, berdasarkan Pasal 60 UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi, menyebutkan bahwa terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. “Kecuali ada alasan lain,” tegasnya. (Dodi/mh)

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=5467

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More