Rabu, 15 Juni 2011

Lahan Kelapa Sawit ‘Diambil’ Negara, Pemohon Ujikan UU Kehutanan

Jakarta, MKOnline - Merasa hak miliknya diambil alih oleh Menteri Kehutanan dengan berlakunya Pasal 4 Ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan), Maskur Anang bin Kemas Anang Muhamad mengajukan pengujian terhadap UU tersebut. Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan perkara yang teregistrasi dengan Nomor 34/PUU-IX/2011 ini pada Rabu (15/6).

Melalui kuasa hukumnya, Muhammad Ali Dharma Utama, Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar akibat berlakunya Pasal 4 Ayat (2) huruf  b UU Kehutanan. Menurut Ali Dharma, pasal a quo bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28C Ayat (2), 28D Ayat (3), serta 28H Ayat (4) UUD 1945. Pasal 4 Ayat 92) UU Kehutanan menyatakan “(2) Penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi wewenang kepada pemerintah untuk:  (b) menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan”. “Implementasi pasal a quo bisa dipastikan Pemohon terhalang haknya untuk mengelola lahan kepala sawitnya sesuai dengan izin yang telah dimiliki. Oleh karenanya, harus ada uji norma hukum dari pasal a quo terhadap UUD 1945,” jelas Ali Dharma.

Menurut Ali Dharma, pasal a quo memberikan keleluasaan kepada Menteri Kehutanan untuk menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau bukan kawasan hutan sebagai kawasan hutan yang demikian telah memberi peluang kepada Menteri Kehutanan untuk melanggar hukum dengan cara memanipulasi serta merekayasa tanah menjadi alih fungsi yang berada di kawasan luar hutan yang belum menjadi kawasan hutan. Seperti yang terjadi pada tanah perkebunan Pemohon yang berada pada kawasan budidaya pertanian oleh Menteri Kehutanan sudah dialihfungsikan sebagai hutan tanaman industri.

“Kebijakan tersebut melanggar Pasal 5 peraturan pemerintah No.7/1990 bahwa Menteri Kehutanan tidak mempunyai kewenangan mencadangkan HTI di wilayah pertanian. Hal tersebut jelas merugikan hak dan kewenangan konstitusional Pemohon. Masyarakat Provinsi Jambi tertindas dan teraniaya dengan dikeluarkannya kebijakan Menteri Kehutanan melalui Surat Menteri Kehutanan Nomor 1998/Menhut-IV/1997 tersebut,” urainya.

Menanggapi permohonan Pemohon, Majelis Hakim Panel yang diketuai oleh Wakil Ketua MK Achmad Sodiki dengan anggota Hakim Konstitusi Muhammad Alim dan Anwar Usman menyarankan agar pemohon memperbaiki permohonan. Sodiki menjelaskan agar Pemohon memperjelas mengenai kewenangan Pemerintah (Menteri Kehutanan, red.) mengubah kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan telah merugikan Pemohon. “Kalau Saudara ingin Pasal 4 Ayat (2) huruf  b UU Kehutanan dicabut, berarti pasal a quo itu hilang. Pertanyaannya, dalam hal menentukan suatu hutan menjadi kawasan bukan hutan maupun sebaliknya, maka wewenang itu terletak pada siapa? Kalau bukan Pemerintah, lalu siapa yang akan melaksanakan kewenangan ini? Ini perlu diperhatikan. Kemudian, apakah benar kerugian konstitusional Pemohon terlanggar akibat berlakunya Pasal 4 Ayat (2) huruf  b UU Kehutanan atau karena adanya surat keputusan?” tanyanya.

Sementara itu, Hakim Konstitusi Muhammad Alim mempertanyakan kepada Pemohon mengenai kaitan Pasal 4 Ayat (2) huruf  b UU Kehutanan dengan Pasal 33 UUD 1945. “Kalau pasal a quo dicabut, bagaimana dengan amanah Pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara? Dalam hal ini, pasal a quo menjalankan amanah dari Pasal 33 tersebut melalui Menteri Kehutanan. Secara konstitusional, memang diatur oleh negara. Sesungguhnya, yang Saudara alami adalah kasus konkret. Jika hal itu merupakan keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang merugikan Saudara, maka wilayahnya adalah PTUN,” urainya. (Lulu Anjarsari/mh)

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=5475 

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More