Kamis, 23 Juni 2011

Pemerintah: Bidang Perikanan Perairan Laut Indonesia Masuk Objek PBB




Majelis Hakim Konstitusi saat mendengarkan keterangan Ahli dari Pemerintah pada sidang uji materi UU 12/1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB), Kamis (23/6) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.
 Jakarta, MKOnline – Objek usaha bidang perikanan perairan laut wilayah Indonesia, adalah termasuk dalam pengertian bumi sebagai objek PBB, sehingga wajar untuk dikenakan PBB. Di lain pihak, setiap orang pribadi atau badan yang mempunyai suatu hak atau memperoleh manfaat atas perairan laut wilayah Indonesia, ditetapkan sebagai subjek PBB atas objek dimaksud. Paparan disampaikan Endiarto Judowinarso saat didaulat sebagai Ahli Pemerintah dalam sidang pleno pengujian konstitusional materi UU 12/1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB) di Mahkamah Konstitusi (MK), (Kamis, 23/6/2011). Sidang Pleno yang dilaksanakan oleh sembilan hakim konstitusi untuk perkara 77/PUU-VIII/2010 ini mengagendakan mendengar keterangan Pemerintah.

Keputusan Diretur Jendral Pajak Nomor KEP-16/PJ.6/1998, antara lain mengatur tata cara perhitungan NJOP usaha bidang perikanan laut: 1) NJOP areal penangkapan ikan sebesar 10 kali hasil bersih usaha dalam satu tahun pajak berjalan; 2) NJOP areal pembudidayaan ikan sebesar 8 kali hasil bersih usaha dalam satu tahun pajak berjalan; 3) NJOP areal emplasemen dan areal lainnya sebesar NJOP berupa bumi sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya; dan 4) NJOP berupa pajak berupa bangunan sebesar nilai konversi biaya pembangunan baru setiap jenis bangunan setelah dikurangi penyusutan fisik.


Ahli lainnya yang dihadirkan Pemerintah yaitu Suryandto Budisusilo. Penilai Publik ini dalam paparannya menyatakan, perusahaan pemegang SIPI, pada dasarnya adalah pemilik akses untuk eksploitasi pemanfaatan area wilayah laut tertentu, sesuai koordinat yang diberikan Pemerintah. Pemegang SIPI adalah identik para pemegang hak penggunaan lahan di daratan atau di bumi. “Dalam kelaziman internasional, suatu orang atau badan yang memegang hak atau akses penggunaan lahan, dikenakan suatu pajak tertentu atau lazim di luar disebut adalah property tax. Jadi setiap siapa yang menguasasi suatu area tertentu, dia ada wajib terkena suatu property tax atau di Indonesia ini adalah disebutnya adalah Pajak Bumi dan Bangunan,” papar Suryanto.


Ahli selanjutnya, Makhfatih, menerangkan sumber daya ikan merupakan sumber daya yang dalam ekonomika publik disebut sebagai common goods, yaitu barang yang rival namun tidak eksklusif. Barang yang bersifat rival adalah barang yang membutuhkan tambahan biaya ketika ketika orang yang mengonsumsinya bertambah. “Barang yang tidak eksklusif adalah barang yang dapat dikonsumsi oleh siapa pun,” terangnya.


Pada tahun 1968, lanjut Makhfatih, Hardin membuat artikel yang bagus sekali berjudul The Tragedy of Commons, mengemukakan bahwa tanpa campur tangan Pemerintah atau campur tangan yang tidak tepat, pengelolaan sumber daya yang bersifat common goods akan berdampak pada kepunahan sumber daya tersebut. Sudah banyak kasus kepunahan dan ancaman kepunahan dialamatkan pada berbagai common goods ini. Penangkapan yang berlebihan menjadi penyebab utama kepunahan dan ancaman kepunahan 10% dari sekitar dari 30.000 ikan yang dikenal di dunia, seperti Ikan Kod di laut utara Kanada, Ikan Sturgeon di Rusia.


PBB Kelautan, menurutnya, dimaksudkan untuk mendorong, menginternalisasikan eksternalitas yang terjadi dan ini dibenarkan dan memiliki dasar teori yang sahih. “Sehingga pemanfaatan sumber daya dari laut dapat secara efisien secara sosial. Kalau ternyata masih terjadi penangkapan ikan yang berlebihan, sangat dimungkinkan karena tarif PBB Kelautan yang masih kurang tinggi,” paparnya.


Ahli Pemerintah selanjutnya, Gunadi. Menurutnya, pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan usaha perikanan laut dan PBB bidang usaha perikanan laut serta PNBP pungutan perikanan laut, merupakan pungutan yang bersifat memaksa untuk keperluan negara dan karena itu masing-masing diatur dengan undang-undang. Sehingga secara legalitas formal, telah sesuai dengan Pasal 23A UUD 1945.


Menurutnya, secara yuridis tidak ada pajak berganda dari PPH, PBB, dan PNBP pungutan perikanan. Karena jenis pajak dasar hukum pemungutan dan objek pajaknya berbeda. Berlakunya UU Pajak Penghasilan, UU PBB, dan UU Perikanan, serta PNBP adalah bertambahnya jumlah beban yang harus dibayar perusahaan perikanan laut untuk memberikan keringanan atas beban PBB dan PNBP pungutan perikanan. “PBB dan PNBP pungutan perikanan dipungut secara pasti, jelas, dan tidak semena-mena karena dengan undang-undang dan merata kepada semua wajib pajak dengan jumlah yang diketahui dengan jelas dan pasti, sehingga tidak bertentangan dengan Ketentuan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945,” pungkas Gunadi.


Untuk diketahui, uji materi UU PBB ini diajukan oleh PT West Irian Fishing Industries, PT Dwi Bina Utama, PT Irian Marine Product Development, dan PT Alfa Kurnia. Para Pemohon mengujikan Pasal 4 ayat (1) UU PBB. Menurut para Pemohon, berlakunya ketentuan tersebut berdampak munculnya beban pungutan berganda yaitu PBB dan pungutan bukan pajak. Ketentuan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil, sehingga menurut para Pemohon, Pasal 4 ayat (1) UU PBB bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. (Nur Rosihin Ana/mh)

Sumber:
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=5509

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More