Rabu, 05 September 2012

Sarifuddin Suding: MK Tak Berwenang Menilai Putusan MA

Anggota Komisi III DPR RI Sarifuddin Suding menilai keberatan yang dilayangkan oleh H. Parlin Riduansyah ke Mahkamah Konstitusi (MK) bukan merupakan masalah konstitusionalitas norma, melainkan masalah penerapan norma. Dengan demikian menurut DPR hal ini bukan kewenangan MK. Suding juga menyatakan MK tidak berwenang menilai MK putusan Mahkamah Agung (MA) yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.
“DPR berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi tidak berwenang untuk memeriksa dan memutusnya,” kata Sarifuddin Suding di hadapan pleno hakim konstitusi Moh. Mahfud MD (ketua pleno), Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, Hamdan Zoelva dan Anwar Usman, Rabu (5/9/2012) siang di ruang sidang pleno lt 2 gedung MK. Sidang kali ketiga untuk perkara 69/PUU-X/2012 ihwal pengujian formil UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pengujian Materiil KUHAP Pasal 197 ayat (1) huruf k dan ayat (2), beragendakan mendengarkan keterangan Pemerintah, DPR dan Saksi/Ahli.
Selanjutnya terkait eksekusi putusan pidana yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Banjarmasin terhadap Parlin, berdasarkan Pasal 270 KUHAP merupakan kewenangan jaksa selaku eksekutor putusan. “Dengan demikian, tindakan jaksa tersebut bukanlah suatu tindakan aparat penegak hukum yang sewenang-wenang,” lanjut Suding.
Menurut DPR, suatu perkara pidana yang telah melalui penyidikan, penuntutan, disidangkan di pengadilan sampai adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, meskipun pada tingkat Mahkamah Agung tidak memuat ketentuan sebagaimana di atur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP, tidak bertentangan dengan prinsip due process of law.
Suding kemudian mengungkapkan hasil notulensi rapat kerja  (Raker) Komisi III dengan Kejaksaan Agung pada 11 Juni tahun 2012 lalu. Sebagian anggota Komisi III mempermasalahkan adanya putusan-putusan MA yang tidak mencantumkan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP. “Penjelasan Jaksa Agung ketika itu bahwa selama ini memang didapati beberapa putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang tidak mencantumkan perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Karena tidak ada yang mempermasalahkan tentang Pasal 197 ayat (1) itu maka pihak Kejaksaan Agung tidak mengalami kesulitan untuk melakukan eksekusi terhadap putusan-putusan tersebut,” papar Suding.
Sementara itu, keterangan Pemerintah yang disampaikan Mualimin Abdi, Direktur Litigasi Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham, menyatakan norma yang terkandung di dalam Pasal 1997 ayat (1) huruf k sudah cukup jelas yaitu bahwa terhadap putusan yang dimohonkan adalah dalam rangka melaksanakan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Senada dengan keterangan DPR, apa yang terjadi pada diri Pemohon menurut Pemerintah merupakan hal yang terkait dengan masalah penerapan norma. ”Oleh karena itu menurut hemat kami, hal demikian tidak terkait dengan masalah konstitusionalitas keberlakuan norma dari undang-undang yang dimohonkan untuk diuji tersebut,” kata Mualimin.
Pemerintah, lanjut Mualimin, dalam keterangan yang disampaikan secara tertulis mengutip pendapat dari seorang hakim agung yang mengatakan bahwa di dalam putusan MA seringkali tidak mencantumkan ketentuan Pasal 1997 ayat (1) huruf k. “Namun demikian, tidak berarti bahwa putusan tersebut tidak dapat dieksekusi,” tandas Mualimin.

Batal Substansial

Pada kesempatan ini, Pemohon menghadirkan beberapa ahli yaitu: Yahya Harahap, Muhammad Tahir Azhary, Romli Atmasasmita, Edward Omar Sharif Hiariej dan Mudzakkir. Yahya antara lain memberikan pendapat terkait Putusan Kasasi MA Nomor 1444 K/Pid.Sus/2010 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin. Atas pembatalan itu, MA menjatuhkan pemidanaan kepada H. Parlin Riduansyah. Akan tetapi, putusan Kasasi itu tidak mencantumkan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP.
Menurut Yahya, putusan Kasasi Nomor 1444 K/Pid.Sus/2010 tersebut batal demi hukum sebagaimana ketentuan dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP. Sifat dan tingkat kebatalan putusan pemidanaan yang tidak mencantumkan Pasal 197 ayat (1) KUHAP adalah kebatalan demi hukum. “Kualitas kebatalannya merupakan kebatalan yang bersifat absolut, jadi mutlak, atau disebut juga kebatalan substansial,” kata Yahya
Kemudian, lanjut Yahya, putusan Peninjauan Kembali (PK) MA Nomor 157PK/Pid.Sus/2011 tanggal 16 September 2011 yang menolak permohonan PK Parlin, sama sekali tidak merubah kebatalan demi hukum Putusan Kasasi Nomor 1444 K/Pid.Sus/2010 menjadi putusan pemidanaan yang sah menurut hukum. “Sebab Putusan PK Nomor 157 sama sekali tidak meluruskan dan tidak mengoreksi kesalahan pelanggaran hukum yang melekat pada Putusan Kasasi Nomor 1444/2010,” papar Yahya.  
Seperti diketahui, pengujian formil UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pengujian Materiil KUHAP Pasal 197 ayat (1) huruf k dan ayat (2) diajukan oleh H. Parlin Riduansyah. Pasal 197 ayat (1) huruf k menyatakan, Surat putusan pemidanaan memuat:..k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan.” Kemudian Pasal 197 ayat (2) menyatakan, “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.”
Menurut Parlin Riduansyah, Pasal 197 ayat (1) huruf k dan ayat (2) KUHAP mengandung ketidakjelasan dan bersifat multi tafsir khususnya pada kata “ditahan” dan “batal demi hukum” sehingga tidak memberikan kepastian hukum, terdapat potensi ketidakadilan terhadap diri Parlin. Ketidakjelasan dan sifat multi tafsir ini membawa implikasi terhadap rumusan norma Pasal 270 KUHAP, yakni apakah jaksa sebagai eksekutor wajib menjalankan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, meskipun mereka mengetahui bahwa putusan itu “batal demi hukum”. (Nur Rosihin Ana)

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More