Rabu, 12 September 2012

DPR: Tanpa Fraksi, Musyawarah Mufakat Sulit Terwujud

Keberadaan partai politik (parpol) sebagai infrastruktur politik dalam negara demokrasi merupakan suatu kenicayaan. Salah satu upaya memberdayakan parpol adalah dengan memberikan hak atau kewenangan kepada parpol untuk membentuk fraksi-fraksi di MPR, DPR, dan DPRD. Fraksi-fraksi ini sebagai wadah bagi parpol untuk mengoptimalkan pelaksanaan hak dan kewenangan anggota parpol yang berada di DPR dan DPRD guna memaksimalkan pelaksanaan tugas dan fungsinya sebagai lembaga perwakilan dalam rangka memperjuangkan kepentingan rakyat yang disalurkan melalui parpol.
Fraksi juga menjadi wadah bagi anggota parpol untuk berkumpul dan menyamakan perbedaan dari berbagai aspirasi agar dalam melaksanakan tugas dan fungsinya di lembaga perwakilan dapat berjalan efektif dan efisien. Hal tersebut sesuai prinsip utama dalam proses pengambilan keputusan yang dianut dalam konstitusi yaitu asas musyawarah mufakat. Terkait hal tersebut, apabila tidak ada pengelompokan anggota parpol dengan fraksi-fraksi, maka asas musyawarah mufakat sulit diwujudkan dan hanya mengedepankan pengambilan keputusan dengan sistim one man one vote atau pemungutan suara.”
Demikian keterangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang disampaikan oleh Anggota Komisi III DPR RI Harry Witjaksono di hadapan sidang pleno hakim konstitusi yang diketuai Moh. Mahfud MD didampingi Achmad Sodiki, Harjono, M. Akil Mochtar, Maria Farida Indrati, Ahmad Fadlil Sumadi, Hamdan Zoelva dan Anwar Usman. Sidang kali ketiga untuk perkara 72/PUU-X/2012 ihwal  Pengujian Pasal Pasal 12 huruf e UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol) dan Pengujian Pasal 11, Pasal 80, Pasal 301 dan Pasal 352 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah (UU MD3), beragendakan mendengarkan keterangan Pemerintah, DPR dan saksi/ahli dari pemohon serta Pemerintah.
Hal tersebut disampaikan Harry menanggapi dalil pemohon yang menyatakan keberadaan fraksi-fraksi yang dibentuk oleh parpol di MPR, DPR, dan DPRD telah mengabaikan kedaulatan rakyat Indonesia, termasuk di dalamnya adalah kader pemohon yang tersebar di 26 Provinsi di Indonesia.
Selanjutnya Harry menangapi dalil pemohon yang menyatakan Pergantian Antara Waktu (PAW) atau recall adalah tindakan yang tidak logis karena memutus hubungan antara wakil rakyat dengan rakyat pemilih. Harry menyatakan  PAW atau recall tidak terkait langsung dengan fraksi sebagaimana didalilkan pemohon. Kewenangan mengusulkan PAW atau recall berdasarkan Pasal 213 ayat (2) huruf e UU MD3, adalah berada di tangan parpol dan bukan di tangan fraksi. Papol berwenang menjatuhkan tindakan dalam menegakkan disiplin terhadap para anggotanya agar tidak menyimpang dari Anggaran Dasar atau Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) serta kebijaksanaan dan program kerja yang digariskan oleh parpol. Hal ini adalah konsekuensi logis dari seseorang yang menjadi anggota suatu organisasi, dalam hal ini organisasi partai politik,” tandasnya.

Fungsi Koordinasi

Pemerintah dalam keterangan yang disampaikan oleh Direktur Litigasi Kemenkum HAM Mualimin Abdi menyatakan fraksi merupakan pengelompokan anggota DPR berdasarkan partai atau gabungan parpol. Fraksi juga merupakan perpanjangan dari parpol. Semua anggota DPR merupakan kader partai dan partailah yang menjadi peserta pemilihan umum. “Oleh karena itu, jika fraksi di MPR, DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota tidak ada, maka dapat dipastikan anggota DPR tersebut akan berjalan sesuai dengan keinginannya yang bisa tidak terkontrol,” jelas Mualimin.
Keberadaan fraksi adalah dalam rangka mengkoordinasi anggota DPR agar lebih berdaya-guna dan berperan-serta dalam rangka memberikan atau melaksanakan tugas-tugasnya. Utamanya dalam rangka mekanisme check and balancess terhadap penyelenggaraan pemerintah di republik ini. “Keberadaan fraksi di MPR, DPR, DPRD provinsi dan kabupaten/kota, sekali lagi adalah dalam rangka fungsi koordinasi dalam rangka pengambilan keputusan, walaupun di dalam pengambilan keputusan tertentu diserahkan kepada kedaulatan anggotanya itu sendiri. Hal itulah yang menjadikan dasar bahwa dengan adanya fraksi di MPR, DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten-kota merupakan salah satu bentuk efisiensi juga dalam rangka proses koordinasi, utamanya efisiensi dalam rangka pembiayaan itu sendiri,” papar Mualimin.
Untuk diketahui, uji materi UU Parpol dan UU MD3 diajukan oleh Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (GN-PK). Menurut GN-PK, eksistensi fraksi di MPR RI, DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota telah mengabaikan kedaulatan Rakyat Indonesia. Kedaulatan rakyat yang memberi mandat selama 5 tahun kepada wakil rakyat yang terpilih, ternyata dieliminasi oleh keberadaan fraksi-fraksi.
Pasal 12 huruf e UU Partai Politik menyatakan: “Partai Politik berhak: (e) membentuk fraksi di tingkat Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Pasal 11 UU MD3 menyatakan: “(1) Fraksi adalah pengelompokan anggota MPR yang mencerminkan konfigurasi partai politik. (2) Fraksi dapat dibentuk oleh partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara dalam penentuan perolehan kursi DPR. (3) Setiap anggota MPR yang berasal dari anggota DPR harus menjadi anggota salah satu fraksi. (4) Fraksi dibentuk untuk mengoptimalkan kinerja MPR dan anggota dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil rakyat. (5) Pengaturan internal fraksi sepenuhnya menjadi urusan fraksi masing-masing. (6) MPR menyediakan sarana bagi kelancaran tugas fraksi.”
Pembentukan fraksi menurut ketentuan Pasal 11 ayat (4), Pasal 80 ayat (1) dan (2), Pasal 301 ayat (1), dan Pasal 352 ayat (1) UU MD3 adalah untuk mengoptimalkan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang MPR RI, DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Namun faktanya justru fungsi tersebut tidak pernah dilaksanakan oleh fraksi-fraksi. Menurut GN-PK, pembentukan fraksi merupakan pelanggaran terhadap Pasal 1 ayat (2), Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 22c ayat (1) UUD 1945. (Nur Rosihin Ana)

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More