Kamis, 17 Februari 2011

Wadah Tunggal Profesi Advokat Langgar Hak Konstitusional

Hakim Konstitusi Moh. Alim (ketua panel) didampingi Achmad Sodiki dan M. Akil Mochtar (masing-masing sebagai anggota) memeriksa permohonan pengujian Undang-Undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat, Kamis (17/2/11)
Jakarta, MKOnline - Ricuh terkait wadah tunggal profesi advokat berujung ke Mahkamah Konstitusi (MK). Untuk kesekian kalinya Undang-Undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat diuji ke MK. Para Pemohon, melalui kuasanya menegaskan, permohonan mereka kali ini berbeda dengan permohonan-permohonan sebelumnya. Setidaknya, menurut Pemohon perkara No. 79/PUU-VIII/2010 ini, terdapat perbedaan dalam hal legal standing dan batu uji. Demikian dinyatakan oleh salah satu kuasa hukum Pemohon, Taufik Basari, dalam persidangan perbaikan permohonan, Kamis (17/2) di ruang sidang pleno MK.
Taufik menuturkan, pihaknya telah melakukan perbaikan-perbaikan sesuai dengan saran Majelis Hakim pada persidangan sebelumnya, Rabu (29/12/2010). “Kami telah uraikan perbedaan-perbadaan permohonan kami dengan permohonan-permohonan lainnya. Kami telah berikan tabelnya juga,” ungkap Taufik. Hal-hal yang ditambahkan tersebut, kata Taufik, dapat menjadi pertimbangan Majelis Hakim sebagai alasan penguat untuk melanjutkan dan mengadili permohonan Pemohon.
Ia pun menegaskan, pengujian ini tidak dapat dikategorikan sebagai nebis in idem (mengadili perkara yang sama untuk kedua kalinya). Karena, para Pemohon prinsipal adalah para calon advokat yang telah lulus ujian advokat namun tak kunjung dilantik. Dan, objek permohonan dalam hal ini tidak menguji Pasal 28 ayat (1) UU Advokat secara keseluruhan. “Kami hanya menguji frasanya saja,” tegas Taufik.
Frasa yang dimaksud adalah frasa “satu-satunya” dalam pasal tersebut. Adapun Pasal 28 ayat (1) UU Advokat itu berbunyi, “Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat.”
“Batu ujinya juga belum pernah digunakan untuk menguji UU Advokat. Serta dalam perkara sebelumnya (yang menguji) adalah para advokat, bukan calon advokat,” papar Taufik. Setidaknya, menurut dia, frasa itu telah bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2); Pasal 28; Pasal 28C ayat (1) dan (2); Pasal 28D ayat (1) dan (2); serta Pasal 28I ayat (1) dan (2) UUD 1945.
Sebelumnya, Mahkamah telah memutuskan uji materil terhadap UU Advokat dalam perkara nomor 14/PUU-IV/2006. Dalam putusannya, MK menolak seluruh permohonan Pemohon. “Saat itu yang dipersoalkan adalah dalam hal kebebasan berserikatnya,” jelas Taufik.
Alasan utama pengajuan uji materi ini, tutur Taufik, karena, dengan adanya frasa tersebut, menyebabkan kekisruhan antar advokat, khususnya organisasi yang membawahi profesi advokat. Dan, lebih parah lagi, kekisruhan tersebut berimplikasi pada ketidakjelasan serta ketidakpastian nasib dan masa depan para calon advokat. “Telah memunculkan kemudharatan,” ujarnya.
Selain itu, ia beralasan, frasa tersebut juga telah mengakibatkan para Pemohon terlanggar hak-hak konstitusionalnya. Diantaranya: hak untuk bekerja, hak untuk diperlakukan sama, dan hak untuk berkumpul serta berserikat. “Pewadahtunggalan advokat itu belum disepakati oleh advokat di Indonesia,” salah satu kuasa Pemohon lainnya, Ronggur Hutagalung, menambahkan. (Dodi/mh)

Sumber:

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More