Rabu, 09 Februari 2011

Pemerintah dan DPR Anggap Permohonan Machica Mochtar Tidak Berdasar

Machica Mochtar yang didampingi kuasa hukumnya, Rusdianto, Miftachul Ikhwan Al-Annur usai persidangan Pengujian UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan), Rabu (9/2/11).
Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang perkara Nomor 46/PUU-VIII/2010, Rabu (9/2). Perkara Pengujian UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) terhadap UUD 1945 tersebut beragendakan mendengarkan keterangan pemerintah, DPR, dan Ahli dari Pemohon dan Pemerintah.
Sebagaimana dalam permohonannya, negara dianggap mendiskriminasikan anak yang lahir di luar nikah dengan diberlakukannya Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan. Hal itu ditegaskan Aisyah Mochtar atau yang lebih dikenal dengan Machica Mochtar selaku Pemohon dalam pengujian UU ini.

Machica yang didampingi kuasa hukumnya, Rusdianto, Miftachul Ikhwan Al-Annur, dan Ferdinand Robot menganggap persyaratan pencatatan perkawinan merupakan pengekangan terhadap kebebasan berkehendak, sekaligus bentuk diskriminasi. Anak yang dilahirkan dari sebuah perkawinan yang tidak dicatatkan, dengan UU tersebut akan dianggap sebagai anak di luar nikah. Pasal-pasal tersebut membuat Machica mengalami kerugian konstitusional berupa tidak dicantumkannya nama ayah di akte kelahiran anaknya. Pasal 2 Ayat (2) UU Perkawinan dianggap bertentangan dengan Pasal 28B Ayat (1) dan Ayat (2) serta Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.

Atas permohonan Machica tersebut, kemudian pihak Pemerintah, DPR, dan Saksi Ahli dari Pemohon dan Pemerintah pada persidangan kali ini, Rabu (9/2) memberikan keterangannya. Staf Ahli Kementerian Agama, Tulus, menjelaskan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Selanjutnya, Pasal 2 ayat (2), dinyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. “Artinya menurut undang-undang a quo, sahnya perkawinan disandarkan kepada hukum agama masing-masing. Namun, suatu perkawinan belum dapat diakui keabsahannya apabila tidak dicatat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” jelas Tulus.

Lebih lanjut, ia mengatakan pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (2) bertujuan untuk menertibkan administrasi perkawinan, memberikan kepastian dan perlindungan terhadap status hukum suami, istri maupun anak, dan memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak tertentu yang timbul karena perkawinan,  seperti hak waris, hak untuk memperoleh akta kelahiran dan lain-lain.
“Pemerintah tidak sependapat dengan Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 2 ayat (2) telah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28D UUD 1945, karena pencatatan perkawinan bukanlah dimaksudkan untuk membatasi hak asasi warga negara, melainkan sebaliknya yakni melindungi warga negara dalam membangun keluarga dan melanjutkan keturunan serta memberikan kepastian hukum terhadap hak suami, istri, dan anak-anaknya,” ujar Tulus.

Tulus juga mengatakan bahwa Pemohon tidak memiliki legal standing. Pasalnya, kasus yang dihadapi oleh Pemohon bukanlah kasus konstitusionalitas keberlakuan materi muatan norma yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon. Tulus mengatakan kasus tersebut terjadi karena Pemohon dalam melakukan perkawinan dengan seorang laki-laki yang telah beristri tidak memenuhi prosedur, tata cara, dan persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 9, dan Pasal 12 UU a quo serta Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

Pencatatan Perkawinan
Pieter C. Zulkifli Simabuea, Anggota Komisi III DPR RI dalam kesempatan yang sama juga menyampaikan keterangan terkait UU Perkawinan. satu, bahwa perlu dipahami oleh Pemohon bahwa untuk memahami UU perkawinan terkait dengan ketentuan pasal UU a quo, Pemohon harus memahami dahulu pengertian dari perkawinan. Menurut Pieter, pernikahan merupakan ikatan lahir dan batin seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. “Ketentuan ini mengandung makna bahwa perkawinan sebagai ikatan antara seorang pria dan seorang wanita, berhubungan erat dengan agama/kerohanian. Jika dilihat dari pengertiannya, maka setiap perkawinan yang dilakukan berdasarkan agama adalah sah, namun jika dikaitkan dengan tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera, serta keturunan, maka akibat dari perkawinan memunculkan hak dan kewajiban keperdataan,” jelas Pieter.

Pieter melanjutkan bahwa untuk menjamin hak-hak keperdataan dan kewajibannya yang telah timbul dari akibat perkawinan yang sah, maka setiap perkawinan perlu dilakukan pencatatan. Pencatatan tiap-tiap perkawinan menjadi suatu kebutuhan formal untuk legalitas atas suatu peristiwa yang dapat mengakibatkan suatu konsekuensi yuridis dalam hak-hak keperdataan dan kewajibannya, seperti kewajiban memberi nafkah dan hak waris.

Di akhir keterangannya, Pieter mengatakan bahwa DPR berpendapat dalil Pemohon yang menyatakan ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan telah menimbulkan ketidakpastian hukum, merupakan anggapan yang keliru dan tidak berdasar. (Yusti Nurul Agustin/mh)

Sumber:

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More