Kamis, 11 November 2010

Majelis Hakim “Warning” Mengenai “Rejudicial Review” UU KPK

Ketua Panel M. Akil Mochtar, memeriksa perbaikan permohonan Pengujian Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta (11/11).
Jakarta, MKOnline - Sidang Perkara Permohonan Pengujian Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan digelar di ruang Sidang Panel MKRI, Kamis (11/11). Pasal 40 menyebutkan, “Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi”

Sidang yang beragendakan pemeriksaan perbaikan permohonan itu dipimpin oleh Ketua Panel, M. Akil Mochtar. Selaku ketua panel, Akil menanyakan kepada pihak Pemohon, apa saja yang diperbaiki dalam permohonan. “Berdasarkan sidang yang lalu, terdapat catatan-catatan yang disampaikan majelis panel. Apakah saudara ada perbaikan terhadap permohonan yang lalu?” tanya Akil kepada pihak Pemohon.

Kuasa hukum Pemohon, Rakhmat Jaya kemudian mengiyakan adanya perbaikan dalam permohonannya. Di hadapan majelis hakim yang terdiri dari, M Akil Mochtar, M Arsyad Sanusi, dan Hamdan Zoelva, Rakhmat memaparkan pokok-pokok perbaikan tersebut.

Rakhmat mengatakan, pasal 40 UU No 30/2002 sangat kontradiktif dan dianggap perlu untuk dikaji ulang oleh kalangan ilmuwan, terutama tentang pemberian SP3. ”Yang mendasar antara lain, di KPK (komisi Pemberantasan Korupsi, red) itu memang kita harus akui tindak pidana korupsi itu adalah suatu tindakan yang harus diberantas. Tapi, di satu sisi yang lain, kepentingan hukum seorang warga negara itu juga harus dilindungi,” ujar Rakhmat menyampaikan argumennya.

Lebih lanjut, Rakhmat mempertanyakan mengenai rujukan yang seharusnya dipakai tim penyidik KPK yang notabene berasal dari kepolisian dan kejaksaan. Menurut Rakhmat, hal itu perlu dipertegas sebab dapat mencelakakan seseorang yang dituduh sebagai tersangka ketika dugaannya itu tidak benar, maka seseorang tersebut tetap diajukan ke pengadilan.

“Itu satu hal yang telah kami kemukakan dalam perubahan-perubahan sesuai dengan petunjuk dari majelis panel yang kami tangkap sebelumnya. Secara akademis juga referensi dari Mahkamah Agung perlu barangkali dikaji ulang pasal ini, diteliti ulang. Tapi bukan berarti ketika pasal ini dicabut, Hengky Baramuli (Pemohon) ini juga harus di-SP3. Kami mau melihat jauh ke depan saja,” papar Rakhmat.

Setalah itu, M Arsyad Sanusi sebagai anggota hakim panel mengajukan pertanyaan kepada Pemohon terkait dengan perbaikan permohonan yang disampaikan tadi. “Saudara baca pertimbangan MK-nya? Apa pertimbangannya?,” tanya Arsyad.

Rejudicial Review
Tidak lama kemudian, Arsyad menjelaskan bahwa inti pokok pertimbangan keputusan MK nomor 06 tahun 2003 itu intinya adalah pasal aquo. Pertimbangan tersebut menurut Arsyad bermaksud untuk mencegah KPK menyalahgunakan wewenang. Lalu pertimbangan MK yang kedua yaitu, pasal aquo dianggap konstitusional.

“Dari pertimbangan itu sudah jelas menunjukkan bahwa Mahkamah sudah mengemukakan kalau diadakan rejudicial review soal ini itu tidak ada lagi,” jelas Arsyad.

Senada, Akil juga mengatakan permohonan pengujian pasal 40 UU 30/2002 tidak bisa dilakukan. Pasalnya, pada tahun 2003 undang-undang tersebut sudah pernah diuji melalui putusannya. Di dalam putusan Mahkamahnya, dinyatakan bahwa pasal ini konstitusional. Pertimbangan adalah kalau kewenangan ini dicabut, justru dapat menimbulkan penyalahgunaan wewenang.

“Kalau Anda mau menguji pasal 40 ini tidak bisa dilihat secara berdiri sendiri, karena dia punya keterkaitan dengan pasal-pasal yang lain. Kemudian oleh karena kewenangan untuk menghentikan penyidikan itu ada pada penyidik yang lain selain KPK, sementara KPK-nya tidak diperbolehkan menurut UU ini, tetapi ketentuan penyelidikannya itu sebelum diangkat ke penyidikan itu memberikan landasan kepada KPK itu untuk berhati-hati dalam menentukan dalam suatu perkara yang kalau tidak memiliki bukti permulaan yang cukup itu tidak untuk melakukan sebuah proses penuntutan,” papar Akil panjang lebar.

Kalau ingin menguji pasal 40 ini, Akil menyarankan, agar Pemohon melihatnya dengan tafsir sitematis dan teleologis dari pembentukan undang-undang. Bahkan, kalau pada proses berikutnya dinyatakan tidak ada bukti bahwa seseorang itu terlibat, maka KPK diwajibkan untuk membawa ke pengadilan dengan tuntutan bebas.

“Itu lebih baik, dibanding memberikan kewenangan kepada KPK untuk menerbitkan SP3 baik dari perspektif kepentingan terdakwa, kepentingan publik, maupun kepentingan penegak hukum itu sendiri. Jadi justru Mahkamah bahkan sudah memberi garis sepeti itu,” tegas Akil.

Di akhir sidang perkara No 60/PUU-VIII/2010 ini, Akil mengingatkan kepada Pemohon untuk memerhatikan pandangan-pandangan hakim mengenai warning adanya judicial review yang telah dilakukan sebelumnya oleh MK terhadap pasal 40 UU 30/2002. (yusti nurul agustin/mh)
 
Sumber:

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More