Selasa, 30 Oktober 2012

UU Sistem Budidaya Tanaman Diskriminasi, Intimidasi dan Kriminalisasi Petani

Catatan Perkara Uji Materi UU PVT

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (UU SBT) sengaja memisahkan antara petani dengan aktivitasnya sebagai pemulia tanaman. Semangat UU SBT lebih memfasilitasi industri benih untuk memonopoli perbenihan. Selain itu, UU SBT telah mengabaikan tradisi turun-temurun petani sebagai pemulia tanaman. Bahkan lebih lanjut negara membuat peraturan lain yang bersifat khusus tentang hak intelektual di bidang teknologi perbenihan, yaitu Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman (UU PVT), yang bersemangat sama dengan UU SBT yaitu mendiskriminasikan petani. Bukan hanya diskriminasi, seorang petani di Indramayu bernama Karsinah (pemohon), mendapat intimidasi dari aparat dinas pertanian setempat karena mempertahankan benih lokal dan melakukan persilangan tanaman dimana hal tesebut bertentangan dengan program pemerintah yang mengharuskan penggunaan benih bersertifikat atau benih yang diproduksi perusahaan benih. Bahkan petani pemulia tanaman bernama Kunoto (pemohon) menjadi korban kriminlisasi sejak UU SBT diberlakukan. 
Demikian antara lain dalil permohonan uji materi perkara yang diregisterasi oleh Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Nomor 99/PUU-X/2012 ihwal pengujian Pasal 5 Ayat (1) huruf a, b, c dan d, Pasal 6, Pasal 9 ayat (3), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 60 ayat (1) huruf a dan huruf b ayat (2) huruf a dan huruf b UU SBT. Permohonan uji materiil UU SBT ini diajukan oleh Indonesian Human Rights Committee For Social Justice (IHCS), Farmer Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy (FIELD), Aliansi Petani Indonesia (API), Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Desa), Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI), Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Perkumpulan Sawit watch, Serikat Petani Indonesia (SPI), Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), Kunoto, Karsinah.

Menurut para Pemohon, UU SBT telah mempersempit dan menghalangi kesempatan bagi petani untuk berperan serta dalam pengembangan budidaya tanaman. Penerapan UU ini berpotensi menjadi penghalang bagi akses masyarakat khususnya petani dalam pemenuhan terhadap hak atas pangan, hak atas pekerjaan, hak atas pengetahuan, dan hak untuk hidup yang layak.
Saat UU SBT disahkan, Pemerintahan Orde Baru sedang gencar melaksanakan revolusi hijau yaitu intensifikasi pertanian melalui pupuk kimiawi dan benih hasil industri yang meminggirkan pertanian ramah lingkungan yang menjamin keseimbangan ekosistem. UU SBT  telah dipergunakan untuk mengkriminalkan petani pemulia tanaman di Jawa Timur dan mendiskriminasikan petani pemulia tanaman Jawa Barat dan berpotensi terjadi kriminalisasi dan diskriminalisasi terdahap petani pemulia tanaman dibeberapa wilayah di Indonesia.
Padahal petani telah melakukan pemuliaan tanaman termasuk mengedarkannya secara turun temurun hingga kini dan tidak menimbulkan problem ekologi maupun hukum. Problem hukum justru terjadi sejak lahirnya UU SBT. Para petani telah melakukan proses pemuliaan tanaman dengan prosesnya antara lain pengumpulan,  penyimpanan, penyilangan, seleksi, perbanyakan dan penyebaran benih serta mempertahankan kemurnian jenis dan menghasilkan jenis varietas baru yang lebih baik seperti yang dibuat oleh petani di Indramayu yaitu jenis padi galur bongong, galur gading surya yang tahan terhadap wereng coklat.

Punahnya Varietas Lokal
Kini ribuan varietas padi lokal telah lenyap dari ladang petani. Hal ini akibat dari pemaksaan kepada petani untuk menanam padi varietas “unggul” nasional dan hibrida. Padahal Indonesia kaya akan ribuan plasma nutfah padi lokal  seperti Kappor dari Madura, Anak Daro dari Sumatera Barat, Rojolele, Mentik Wangi, dan lain-lain yang berpotensi untuk dikembangkan.
Ratusan varietas jagung lokal (Jagung Kretek Madura, Jagung Metro Lampung, Jagung Pulut Sulawesi Selatan, Jagung Kodok Indramayu, dll) telah terancam hilang digantikan dengan jagung produksi perusahaan. Sampai saat ini produksi benih jagung perusahaan menguasai 90% pasaran. Akibat lainnya yaitu semakin tingginya kerusakan lingkungan pertanian (iklim, serangga, air, tanah) dan terjadinya degradasi lingkungan pertanian serta meningkatnya tekanan biotik maupun abiotik yang disebabkan oleh semakin maraknya benih-benih perusahaan yang dilegitimasi oleh UU SBT.
Pasal 5 ayat (1) UU SBT menyatakan, “Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pemerintah: a) Menyusun rencana pengembangan budidaya tanaman sesuai dengan tahapan rencana pembangunan nasional; b) Menetapkan wilayah pengembangan budidaya tanaman; c) Mengatur produksi budidaya tanaman tertentu berdasarkan Kepentingan nasional; d) Menciptakan kondisi yang menunjang peran serta masyarakat.” Kemudian Pasal 5 ayat (2) menyatakan, “Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemerintah memperhatikan kepentingan masyarakat.”
Ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf a, b, dan c menurut pemohon telah mengakibatkan pemerintah memiliki wewenang untuk melakukan perencanaan, penetapan wilayah, dan pengaturan produksi. Jika dihubungkan dengan Pasal 6 ayat (2) UU SBT maka apa yang menjadi wewenang pemerintah tersebut menjadi kewajiban bagi petani. Akibatnya petani tidak bisa berkreasi dalam budidaya tanaman berdasarkan kebutuhannya. Padahal bagi petani, budidaya tanaman adalah persoalan hidup dan kehidupan yang dijamin oleh Pasal 28A UUD 1945. Akibat lainnya yaitu terjadi pertentangan antara kewenangan pemerintah dengan hak petani. Petani harus tunduk kepada perencanaan pemerintah, sehingga mengakibatkan ketidakpastian hukum antara hak dan kewajiban petani. Jaminan kepastian hukum yang adil merupakan hak konstitusional sebagai mana telah diatur pada Pasal 28D ayat (1)  UUD 1945. Selanjutnya mengenai penetapan wilayah dan pengaturan produksi oleh pemerintah yang kemudian menjadikan kewajiban petani, mengakibatkan petani tidak bisa menentukan jenis dan pola budidaya tanaman di tanahnya sendiri, yang merupakan hak milik pribadi yang dijamin perlindungannya oleh pasal 28H ayat (4) UUD 1945.
Pasal 5 ayat (1) huruf d bertentangan dengan Pasal 28A, 28C ayat (2), 28F, 28I ayat (2) serta  Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Apa yang terjadi selama ini petani tidak pernah dilibatkan dalam proses perencanaan, pengembangan, dan pengaturan produksi dan penetapan wilayah. Yang ada hanyalah forum sosialisasi yang berisi himbauan pemerintah. Bagi petani yang tidak menjalankan himbauan pemerintah tersebut dapat dikriminalisasi, didiskriminasi dan diintimidasi. Penelitian demi penelitian yang dilakukan pun dibiayai oleh negara dan pengusaha serta perencanaan yang dibuat oleh pemerintah tidak didasarkan kebutuhan petani, dan tidak melibatkan petani secara aktif serta ketangguhan ekosistem. Pemerintah hanya mengejar kepentingan produksi yang tinggi, sehingga mengabaikan tujuan-tujuan lain di bidang kelestarian lingkungan, ketangguhan ekosistem, dan kesejahteraan petani.
Pasal 6 menyatakan, “(1) Petani memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudidayaannya. (2) Dalam menerapkan kebebasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), petani berkewajiban berperanserta dalam mewujudkan rencana pengembangan dan produksi budidaya tanaman, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. (3) Apabila pilihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak dapat terwujud karena ketentuan Pemerintah, maka Pemerintah berkewajiban untuk mengupayakan agar petani yang bersangkutan memperoleh jaminan penghasilan tertentu. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.”
Para pemohon berpendapat Pasal 6 UU SBT bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (4) dan 28I ayat (3) UUD 1945. Bahkan terjadi pertentangan antarayat dalam Pasal UU SBT, yaitu ayat (1) dan (2). Pada ayat (1), petani mempunyai kebebasan tapi kebebasan tersebut dibatasi oleh ayat (2), bahkan lebih tepat dihalangi karena rencana pemerintah tersebut tidak melibatkan masyarakat dan tidak ada mekanisme pengajuan keberatan,  sehingga potensial melanggar  hak hidup rakyat tani yang berbudidaya tanaman sesuai dengan kebutuhannya. Hal tersebut juga di satu sisi berpotensi menghilangkan kepemilikan pribadi petani atas lahan dan tanaman karena penggunaan dan pemanfaatannya ditentukan sepihak oleh pemerintah.
Pasal 9 menyatakan, “(1) Penemuan varietas unggul dilakukan melalui kegiatan pemuliaan tanaman. (2) Pencarian dan pengumpulan plasma nutfah dalam rangka pemuliaan tanaman dilakukan oleh Pemerintah. (3) Kegiatan pencarian dan pengumpulan plasma nutfah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dapat dilakukan oleh perorangan atau badan hukum berdasarkan izin. (4) Pemerintah melakukan pelestarian plasma nutfah bersama masyarakat.” Pasal 9 ayat (3) UU SBT sepanjang kata “Perorangan” menurut para pemohon bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28C, 28D ayat (1), 28I ayat (2), (3) dan Pasal 33 ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Sebab ketentuan di dalamnya membedakan antara pemulia tanaman dengan petani. Padahal sesungguhnya bagi petani kegiatan pemuliaan tanaman merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hidupnya. Identitas pemulia tanaman menyatu dengan identitas sebagai petani. Ketidakkenalan UU SBT terhadap petani pemulia tanaman mengakibatkan petani pemulia tanaman harus dapat ijin untuk pencarian, pengumpulan plasma nutfah dan mengedarkan benih.
Pasal 12 menyatakan, “(1) Varietas hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri sebelum diedarkan terlebih dahulu dilepas oleh Pemerintah. (2) Varietas hasil pemuliaan atau introduksi yang belum dilepas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilarang diedarkan.” Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) UU SBT bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28C, 28I (3) dan Pasal 33 (2) serta Pasal 33 (3) UUD 1945. Sebab dalam prakteknya pengetahuan mengenai pertukaran benih, persilangan, itu terjadi pada tataran komunitas dan dilakukan secara komunal. Varietas hasil pemuliaan petani tidak memerlukan persyaratan apapun dalam peredarannya di komunitas masing-masing. Fakta menunjukkan benih-benih bersertifikat dari pemerintah tidak memberikan jaminan mutu, jaminan tidak diserang hama, penyakit dan rakus pupuk serta pemisahan petani dengan aktifitas pemulia tanaman akan menghilangkan pengetahuan budidaya tanaman lokal dan merupakan pelanggaran terhadap hak-hak petani. Kemudian, agenda penelitian untuk menemukan benih-benih baru, tidak melibatkan petani sebagai subjek tanpa memperhitungkan kepentingan petani. Penelitian tersebut hanya bersumber pada bisnis semata.
Pasal 60 ayat (1) menyatakan, “Barangasiapa dengan sengaja: a. mencari dan mengumpulkan plasma nutfah tidak berdasarkan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3); b. mengedarkan hasil pemuliaan atau introduksi yang belum dilepas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2);” Pasal 60 ayat (2) menyatakan, “Barang siapa karena kelalaiannya: a. mencari dan mengumpulkan plasma nutfah tidak berdasarkan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3); b. mengedarkan hasil pemuliaan atau introduksi yang belum dilepas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2);”
Pasal 60 ayat (1)  huruf a dan Huruf b dan ayat (2) huruf a dan huruf b UU SBT bertentangan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Sebab, pemuliaan tanaman adalah hak asasi petani yang telah dipraktekan oleh petani secara turun temurun semenjak pertanian itu ada. Oleh karenanya melakukan pemidanaan terhadap pemuliaan tanaman oleh petani adalah pelanggaran Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
Oleh karena itulah para pemohon dalam petitum meminta Mahkamah menyatakan Pasal 5 Ayat (1) huruf a, b, c dan d, Pasal 6, Pasal 9 ayat (3) sepanjang kata “perorangan”, Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 60 ayat (1) huruf a dan huruf b ayat (2) huruf a dan huruf b UU SBT bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat hukumnya. (Nur Rosihin Ana)



SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More