Jumat, 30 November 2012

Ancaman Kriminalisasi Hakim dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak


Oleh: Nur Rosihin Ana

Pemerintah bersama-sama dengan DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) pada tanggal 30 Juli 2012. Sebelum UU ini terbentuk, peradilan anak diatur oleh UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Seiring perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat, perlindungan kepada anak yang  berhadapan dengan hukum belum secara komprehensif diatur oleh UU Nomor 3 Tahun 1997 sehingga perlu diganti dengan UU baru. Maka dibentuklah UU 11/2012. Pasal 1 angka 1 UU 11/2012 menyatakan: “Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.”

Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) bertujuan untuk menjaga harkat dan martabat anak. Anak berhak mendapatkan pelindungan khusus, terutama pelindungan hukum dalam sistem peradilan. Oleh karena itu, SPPA tidak hanya ditekankan pada penjatuhan sanksi pidana bagi anak pelaku tindak pidana, melainkan juga difokuskan pada pemikiran bahwa penjatuhan sanksi dimaksudkan sebagai sarana mewujudkan kesejahteraan anak pelaku tindak pidana tersebut. Hal demikian sejalan dengan tujuan penyelenggaraan SPPA yang dikehendaki oleh dunia internasional, sebagaimana terlihat dalam Peraturan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (SMRJJ) atau The Beijing Rules, yang menyatakan: “The juvenile justice system shall emphasize well-being of the juvenile and shall ensure that any reaction to juvenile offenders shall always be in proportion to the circumstances of both the offenders an offence.”

UU SPPA memiliki tiga aspek penegakan hukum, yaitu aspek hukum pidana materiel, aspek hukum pidana formal dan aspek hukum pelaksanaan pidana. Aspek hukum pidana materiel dalam UU SPPA, terlihat dari diaturnya ketentuan tentang Diversi, Batas Umur Pertanggungjawaban Pidana Anak, Pidana dan Tindakan. Sedangkan aspek hukum pidana formalnya terlihat dari diaturnya ketentuan tentang prosedur beracara pada tahap Penyidikan, Penuntutan, Pemeriksaan Sidang di Pengadilan, Penjatuhan Putusan serta Pemberian Petikan dan Salinan Putusan.


Pasal Kriminalisasi

Selain hal tersebut di atas, UU SPPA juga mengatur ketentuan pidana bagi Polisi, Jaksa, Hakim, Pejabat Pengadilan dan Penyebar Informasi, yang terdapat ketentuan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101. Pasal 96 UU SPPA menyatakan: “Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat  (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).” Sedangkan Pasal 7 ayat (1) UU SPPA, menyatakan: “Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi.”

Pasal 100 UU SPPA menyatakan: “Hakim  yang  dengan  sengaja  tidak  melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3), Pasal 37 ayat (3), dan Pasal 38 ayat  (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun.” Sedangkan Pasal 35 ayat (3) menyatakan: “Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah berakhir dan Hakim belum memberikan putusan, Anak wajib dikeluarkan demi hukum.” Pasal 37 ayat (3): “Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) telah berakhir  dan  Hakim Banding  belum  memberikan  putusan, Anak  wajib dikeluarkan demi hukum.” Pasal  38  ayat (3): “Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) telah berakhir dan Hakim Kasasi belum memberikan putusan, Anak wajib dikeluarkan demi hukum.”

Pasal 101 SPPA menyatakan: “Pejabat pengadilan yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun.” Sedangkan Pasal 62 berbunyi: “(1) Pengadilan wajib memberikan petikan putusan pada hari putusan diucapkan kepada Anak atau Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Penuntut Umum. (2) Pengadilan wajib memberikan salinan putusan paling lama 5 (lima) hari sejak putusan diucapkan kepada Anak atau Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Penuntut Umum.”

Ketentuan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU SPPA tersebut mengurangi derajat independensi hakim dalam melaksanakan tugas justicialnya. Ancaman sanksi pidana dalam ketentuan pasa-pasal tersebut telah membuka penafsiran bahwa pelanggaran terhadap hukum pidana formal anak (prosedur hukum acara) merupakan suatu tindak pidana dan harus diancam dengan sanksi pidana. Padahal hukum pidana formal anak adalah instrumen bagi hakim untuk menegakkan, mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum pidana materiil anak. Konsekuensi dari pelanggaran hukum pidana formal Anak (prosedur hukum acara) ini adalah sanksi administratif, karena dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Pengawasan terhadap pelanggaran ini pun telah dilakukan oleh lembaga yang masih berada dalam cabang kekuasaan yang sama yaitu Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.

Ancaman sanksi pidana dalam ketentuan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU SPPA tersebut mengundang keberatan sembilan hakim, yaitu: Dr. H. Mohammad Saleh, S.H., M.H., Dr. Drs. Habiburrahman M.Hum,  Dr. Imam Subechi, S.H., M.H., Imron Anwari, SH., Spn., M.H., Suhadi, SH., M.H., H. Kadar Slamet, SH., M.Hum, I Gusti Agung Sumanatha, S.H., M.H., Drs. Abdul Goni, S.H., M.H., Mien Trisnawati, S.H., M.H. Selanjutnya, mereka mengajukan pengujian Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU SPPA ke Mahkamah Konstitusi (MK), yang kemudian diregistrasi oleh Kepaniteraan MK dengan Nomor 110/PUU-X/2012.

Para Pemohon yang mengambil kedudukan hukum (legal standing) sebagai perorangan warga negara Indonesia, ini juga menduduki jabatan sebagai Hakim Agung pada Mahkamah Agung RI dan Hakim pada Badan Peradilan di bawah Mahkamah Agung. Para Pemohon juga menjadi Pengurus Pusat Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI). IKAHI adalah organisasi profesi yang anggotanya terdiri atas warga negara yang memiliki profesi sebagai Hakim pada Mahkamah Agung dan pada Badan Peradilan di bawah Mahkamah Agung.

Menurut para Pemohon, kriminalisasi hakim, pejabat pengadilan, dalam ketentuan Pasal 96, 100 dan 101 UU SPPA lebih ditekankan pada penilaian emosional (the emosionally laden value judgment approach) para pembentuk UU. Penilaian emosional ini tidak memiliki tujuan yang jelas dan tidak disertai pertimbangan seimbang antara upaya kriminalisasi dengan tujuan yang ingin dicapai. Kebijakan yang dibuat oleh para pembentuk UU lebih berorientasi pada perlindungan pelaku (anak). Seharusnya para pembentuk UU menganut ide keseimbangan, di mana perlindungan hukum tidak hanya diberikan kepada pelaku (anak) saja, melainkan juga kepada hakim dan penegak hukum lainnya (Penyidik dan Penuntut Umum) ketika menjalankan tugas dan wewenangnya, tanpa harus ada intervensi berupa kriminalisasi ketika terjadi pelanggaran terhadap hukum pidana formal saat ingin menegakkan hukum pidana materil.

Politik kriminalisasi dalam menetapkan perbuatan sebagai suatu tindak pidana dalam ketentuan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU SPPA tidak lagi diorientasikan pada kebijakan (policy oriented approach) maupun pada nilai (value judgment approach). Ketentuan tersebut tidak memuat asas-asas kriminalisasi, dan tujuan dari pemidanaan/keberadaan/fungsi hukum pidana, sehingga rumusan dalam ketentuan tersebut tidak mencerminkan asas keadilan secara proporsional bagi Hakim, oleh karenanya rumusan dalam ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Upaya kriminalisasi ketentuan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU SPPA pada prinsipnya tidak memenuhi syarat/kriteria kriminalisasi, karena lebih bersifat administrasi. Penggunaan hukum pidana dalam mengkriminalisasi hakim, pejabat pengadilan, merupakan kesesatan atau kekeliruan para pembentuk UU, karena kriminalisasi tersebut digunakan secara sembarangan tanpa tujuan yang jelas. Dalam kerangka yang lebih luas, keberadaan dari pemidanaan itu akan menimbulkan dampak negatif SPPA.

Upaya kriminalisasi ketentuan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU SPPA merupakan bentuk kelampauan batas dari hukum pidana (the crisis of overreach of the criminal law), karena penggunaan hukum pidana dalam ketentuan tersebut sudah melewati batas kewenangannya. Hukum pidana seharusnya digunakan untuk mengurusi perihal kejahatan atau pelanggaran yang memang patut dipidana. Namun ketentuan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU SPPA justru turut mengkriminalisasikan pula perihal pelanggaran terhadap prosedur hukum acara.

Dalam praktek peradilan, pengawasan terhadap pelanggaran prosedur hukum dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, karena pelanggaran tersebut dikategorisasikan sebagai pelanggaran terhadap Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Konsekuensi logis dari pelanggaran ini adalah Sanksi Administratif.

Kriminalisasi Hakim dapat dipandang sebagai upaya untuk membatasi kekuasaan Hakim dalam menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 Jo. Pasal 1 angka (1) dan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Oleh karena itu, ketentuan pidana bagi hakim pada dasarnya dapat berdampak pada pengurangan derajat independensi hakim dalam melaksanakan tugas justicialnya. Dilihat dari konteks hubungan antar lembaga negara berdasarkan sistem cheks and balances, keputusan pembentuk UU tersebut bertentangan dengan konsep pembagian kekuasaan dalam Negara hukum Indonesia, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.

Ketentuan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU SPPA potensial dikualifikasi melanggar prinsip ”Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka (di bidang hukum pidana).” Pasal-pasal tersebut tidak proporsional dan berlebihan dan dengan sendirinya bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.

Para Pemohon dalam petitium meminta Mahkamah mengabulkan permohonan. Menyatakan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.

SIOS WISATA.com
SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More