Senin, 17 Januari 2011

UU Pemberantasan Korupsi Untungkan Koruptor



Pemohon perkara nomor 3/PUU-IX/2011, R. Hamdani C.H. memberikan penjelasan mengenai permohonannya terkait uji materi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada Senin (17/01/2011) bertempat di lt.4 gedung MK.
Jakarta, MK Online - Korupsi adalah perbuatan yang sangat menguntungkan bagi pelaku. Jika korupsi 10 milyar, dihukum 4 tahun penjara dan denda 1 milyar, maka masih sisa 9 milyar. Demikian dikatakan Pemohon R. Hamdani C.H., dalam sidang perkara nomor 3/PUU-IX/2011 yang digelar pada Senin (17/01/2011) bertempat di lt.4 gedung MK.
Hamdani yang menjabat Ketua Umum Pengurus Keluarga Besar Komite Kedaulatan Rakyat (PKB-KKR) ini menguji Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Pemberantasan Korupsi). Menurutnya, ketentuan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945.
Pasal 2 UU tersebut menyatakan: "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (Dua Ratus Juta Rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- (Satu Milyar Rupiah)."
Ketidakjelasan batas minimal dan maksimal nilai korupsi, hukuman terhadap koruptor, dan penyalahgunaan kewenangan jabatan atau kedudukan yang merugikan negara atau rakyat, menurut Hamdani, turut andil memberikan kesempatan terjadinya tindak pidana korupsi. "Pasal ini memberi kesempatan orang untuk melakukan korupsi," dalil Hamdani.
Hamdani mendalilkan, kenyataanya Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 45 UU tersebut tidak mampu membuat para koruptor jera atau takut melakukan korupsi. Sebaliknya, mereka bangga melakukan korupsi secara berjamaah. "Yang kami minta adalah pasal yang bisa membuat jera para koruptor," pinta Hamdani. Berlakunya Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 45 mempunyai andil besar dalam pemasyarakatan dan pemberdayaan korupsi di Indonesia. Pekerjaan korupsi menurut para koruptor sangat menguntungkan bagi pelakunya. Meskipun dihukum mati, koruptor telah memperkaya keluarganya hingga tujuh turunan.
Di samping itu, dalam penerapannya terdapat diskriminasi antara tindak pidana yang dilakukan rakyat kecil dengan tindak pidana koruptor. Hal ini menurut Hamdani bertentangan dengna 27 Ayat (1) UUD 1945. "Pencuri kakau, pencuri piring, mendapatkan hukuman hampir sama dengan yang dijatuhkan oleh UU Nomor  31 Tahun 1999 tersebut," lanjut Hamdani.
Hamdani memohon kepada Mahkamah menyatakan tafsir Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 45 UU tersebut bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28I UUD 1945  dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Nasehat Hakim
Panel Hakim MK yang memeriksa perkara ini M. Akil Mochtar sebagai ketua panel, didampingi dua anggota, Achmad Sodiki, dan Maria Farida Indrati. Hakim Konstitusi Achmad Sodiki menanyakan ayat dalam Pasal 2 yang dimaksudkan  oleh Pemohon untuk diujikan. "Pasal 2 ini kan terdiri dari 2 ayat. Mana yang saudara gunakan, ayat 1 atau ayat 2?" tanya Sodiki. "Pasal 2 ayat 1," jawab Hamdani singkat.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menasehati mengenai cara penulisan dan sistimatika permohonan. Selain itu, Maria mengkategorikan permohonan yang diajukan berhubungan dengan implementasi UU. "Bukan pertentangan antara norma dalam UU ini dengan norma yang ada dalam konstitusi. Sedangkan pengujian UU berkisar tentang bunyi atau norma dalam satu pasal UU dengan UUD 1945. Itu yang harus diperbaiki lagi," jelas Maria.
Sedangkan Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar menanyakan masalah legal standing Pemohon. "Kalau saudara mewakili kepentingan badan hukum, maka harus ada pendaftaran sebagai badan hukum di instansi yang berwenang," nasehat Akil juga menanyakan hak konstitusional Pemohon yang dirugikan sebagai akibat berlakunya pasal-pasal yang diujikan. "Kerugian itu bisa bersifat aktual, bisa juga bersifat prediksi," jelas Akil. Pemohon lanjut Akil, diminta memperjelas hubungan sebab-akibat adanya kerugian konstitusional Pemohon. Jika ketentuan pasal yang diujikan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, kata Akil, maka kerugian Pemohon menjadi gugur. "Itu harus bisa saudara jelaskan. Itulah pintu masuk untuk menguji sebuah UU terhadap UUD 1945," kata Akil menasehati.
Sebelum menutup sidang panel pemeriksaan pendahuluan, Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar memberi kesempatan kepada Pemohon untuk melakukan perbaikan permohonan dalam jangka waktu 14 hari. (Nur Rosihin Ana/mh)

Sumber:

Rabu, 12 Januari 2011

MK Nyatakan Jumlah ¾ Kuorum dalam Hak Menyatakan Pendapat Inkonstitusional

(Ka-Ki) Ketua MK, Moh Mahfud MD dan Wakil Ketua MK, Achmad Sodiki saat pembacaan Putusan, di Ruang Sidang Pleno MK.
Jakarta, MK Online - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan untuk seluruhnya permohonan pengujian terhadap UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Putusan Nomor 23-26/PUU-VIII/2010 ini dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD beserta delapan hakim konstitusi lainnya, Rabu (12/1), di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan ini diajukan oleh 19 Pemohon yang terbagi dalam dua Pemohon, yakni Pemohon I yang berasal dari Anggota DPR, yakni Lily Wahid, Bambang Soesatyo dan Akbar Faisal. Serta Pemohon  II dari kalangan masyarakat yang merupakan para konstituen Anggota DPR.
“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Menyatakan bahwa Pasal 184 ayat (4) UU No. 27 Tahun 2009, tentang Permusyawaratan rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dimuat dalam Lembaran Negara RI tahun 2009 No. 123 dan tambahan  Lembaran Negara RI No. 5043 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya,” ucap Mahfud.
Terkait dengan kedudukan hukum  (legal standing) para Pemohon sebagai anggota DPR dalam Permohonan ini, Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva menjelaskan Mahkamah berpendapat bahwa objectum litis (objek perkara) permohonan para Pemohon adalah Pasal 184 ayat (4) UU 27/2009 yang menentukan batas minimum jumlah kuorum adalah 3/4 dari jumlah anggota DPR dan untuk pengambilan keputusan harus disetujui oleh paling sedikit ¾ dari anggota DPR yang hadir sebagai syarat agar secara institusional DPR dapat menggunakan hak menyatakan pendapat. Menurut Mahkamah “hak  menyatakan pendapat” dalam ketentuan  a quo terkait dengan hak konstitusional yang melekat hanya pada anggota DPR dan tidak merupakan hak warga negara  yang lainnya. “Oleh karena itu, menurut Mahkamah, para Pemohon selaku anggota DPR di samping memiliki hak yang secara tegas diatur dalam Pasal 20A ayat (3) dan Pasal 21 UUD 1945 juga memiliki hak-hak konstitusional yang melekat pada hak DPR sebagai institusi,” jelas Hamdan.
“Dengan demikian, dalam kasus  ini, posisi anggota DPR berbeda dengan posisi anggota DPR dalam Putusan Mahkamah Nomor 20/PUU-V/2007, bertanggal 17 Desember 2007 dan Putusan  Nomor 151/PUU-VII/2009, bertanggal 3 Juni 2010,  karena dalam perkara ini yang dipersoalkan adalah hak eksklusif yang hanya dimiliki oleh para anggota DPR. Oleh sebab itu, menurut Mahkamah, para Pemohon sebagai anggota DPR khusus dalam permohonan ini memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo,” urainya.
Selain itu, lanjut Hamdan, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 184 ayat (4) UU 27/2009 bertentangan dengan UUD 1945. Menurut Mahkamah, syarat pengambilan keputusan DPR untuk usul menggunakan hak menyatakan pendapat mengenai dugaan Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak boleh melebihi batas persyaratan yang ditentukan oleh Pasal 7B ayat (3)  UUD 1945. Bahkan menurut Mahkamah, lanjut Hamdan, pada “tingkat usul” penggunaan hak menyatakan pendapat, persyaratan pengambilan keputusan DPR harus lebih ringan dari persyaratan yang ditentukan Pasal 7B ayat (3) UUD 1945, karena untuk dapat menindaklanjuti pendapat tersebut kepada Mahkamah Konstitusi harus melalui persyaratan yang lebih berat sebagaimana diatur dalam Pasal 7B ayat (3) UUD 1945 tersebut.
“Demikian juga terhadap usul hak menyatakan pendapat atas kebijakan Pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional yang bersifat strategis dan tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket harus lebih ringan daripada persyaratan pendapat DPR terkait pengajuan permintaan DPR kepada MK yang berhubungan dengan proses pemberhentian Presiden yang ditentukan dalam Pasal 7B ayat (3) UUD 1945. Dengan tidak berlakunya ketentuan Pasal 184 ayat (4) UU 27/2009 berdasarkan putusan Mahkamah ini, ketentuan persyaratan pengambilan keputusan mengenai “usul” penggunaan hak menyatakan pendapat berlaku ketentuan mayoritas sederhana,” papar Hamdan.
Dalam konklusi, lanjut Mahfud, MK berkesimpulan Para Pemohon perseorangan memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan  tersebut. “Sedangkan para Pemohon anggota DPR memiliki kedudukan hukum  (legal standing) khusus untuk permohonan a quo terkait dengan hak-hak konstitusional yang secara eksklusif melekat pada anggota DPR. Dalil-dalil dalam pokok perkara beralasan menurut hukum,” tandas Mahfud. (Lulu Anjarsari/mh)

Sumber:

Selasa, 11 Januari 2011

Menyoal Penahanan Tanpa Batas Waktu dalam UU Ekstradisi



Kuasa Hukum Pemohon pengujian materi UU mengenai Mahkamah Konstitusi dan UU Ekstradisi mendengarkan nasihat dari majelis, saat sidang pemeriksaan perbaikan permohonan, Selasa (11/1) di Ruang Sidang Pleno MK.
Jakarta, MK Online - UU Mahkamah Konstitusi (UU MK) No.24/2003 dan UU Ekstradisi No.1/1979 diujikan di MK, Selasa (11/1/2011). Sidang yang memasuki agenda perbaikan permohonan, dimulai pukul 09.30 dengan nomor perkara 73/PUU-VIII/2010. Muhammad Alim menjadi Ketua Panel sidang ini.
Pemohon didampingi kuasa hukum Henri Pratama dkk. Dalam perkara ini, Pemohon menyoal penahanan dirinya yang hingga saat ini sudah mencapai 400 hari tanpa kejelasan kapan berakhirnya penahanan. Pemohon adalah warga Rumania yang telah dijatuhi pidana penjara selama 15 tahun. Di Indonesia juga ditahan atas permintaan pemerintah Rumania.
“Kami ingin menjelaskan putusan MK tentang UU Narkotika, meski menyebutkan Pemohon asing tidak dapat mengujikan UU, tapi mereka juga tetap dapat memeroleh perlindungan hukum sesuai due process of law,” kata Henri.
Pemohon menekankan bahwa pasal yang diuji adalah mengenai penahanan tanpa batas waktu sebagaimana diatur dalam UU Ekstradisi Pasal 34 huruf b, Pasal 35 ayat (1), dan Pasal 39 ayat (4). “Masalah penahanan, tidak ada upaya hukum sama sekali, baik banding maupun kasasi. Menurut kami bukan kesalahan penerapan hukumnya, sebab UU-nya sendiri yang memberi kewenangan penyidik untuk menahan tanpa batas waktu,” lanjutnya.
Hakim Akil Mochtar mengatakan pasal yang diuji menerangkan UU ini memberi wewenang jaksa memperpanjang masa tahanan dengan alasan tertentu. Menurut UU ini, Presiden menentukan apakah seseorang diekstradisikan. “Pertanyaannya, apakah Indonesia dan Rumania ada perjanjian ekstradisi?”
“Hingga saat ini belum ada perjanjian ekstradisi kedua negara,” kata Henri. Untuk memperkuat permohonannya, Pemohon bahkan mengutip Putusan MK No.2 dan No.3 tahun 2007 tentang hukuman mati.
Sementara itu, Hakim Harjono menyatakan yang jadi masalah adalah apakah Pemohon punya legal standing. MK pernah menolak Pemohon asing karena tidak punya legal standing. “Tapi saudara bisa uraikan apakah kasus sekarang sama dengan putusan MK yang dulu” pintanya.
Harjono pun menanyakan Pemohon; jika tidak ada Pasal 34 UU Ekstradisi, apakah Pemohon dapat bebas dari penahanan, atau justru semakin lama ditahan. “Penahanan ini karena usulan jaksa kepada pengadilan agar diperpanjang masa penahanannya,” jawab Henri. (Yazid/mh)

Sumber:

Pedagang Telur, Daging Anjing dan Babi Persoalkan Sertifikat Halal

Netty Retta Herawaty Hutabarat pedagang daging anjing selaku salah satu Pemohon memberikan penjelasannya mengenai Permohonan UU Peternakan dan Kesehatan Hewan, pada sidang pemeriksaan perkara, Selasa (11/1) di Ruang Sidang Pleno MK.
Jakarta, MK Online - Pelaku usaha produk hewan harus mengantongi Sertifikat Veteriner dan Sertifikat Halal jika ingin menjual atau mengedarkan produknya di wilayah hukum NKRI. Ketentuan mengenai Sertifikat Veteriner dan Sertifikat Halal ini dinilai memberatkan kegiatan usaha untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan kehidupan yang dijamin oleh UUD 1945.
Demikian sidang panel pengujian Pasal 58 Ayat (4) UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang digelar di Mahkamah Konstitusi, Selasa (11/1/2011).
Permohonan diajukan oleh Deni Juhaeni, I. Griawan Wijaya, Netty Retta Herawaty Hutabarat, dan Bagus Putu Mantra. Melalui kuasanya, Agus Prabowo, Para pemohon menyatakan hak-hak konstitusionalnya dirugikan akibat berlakunya Pasal 58 ayat (4) UU 18/2009 yang menyatakan: "Produk hewan yang diproduksi di dan/atau dimasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk diedarkan wajib disertai Sertifikat Veteriner dan Sertifikat Halal." Ketentuan tersebut menurut para Pemohon bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945.
Deni Juhaeni adalah pedagang Telur ayam yang melakukan kegiatan usaha untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan kehidupannya serta keluarganya. "Berdasarkan ketentuan undang-undang dimaksud, pedagang telur diwajibkan untuk memiliki Sertifikat Halal dan sertifikat Veteriner pada saat mengedarkan produk dagangannya,'' kata kata kuasa Pemohon, Agus Prabowo.
Sedangkan I. Griawan Wijaya adalah pedagang daging babi, Netty Retta Herawaty Hutabarat pedagang daging anjing, dan Bagus Putu Mantra peternak babi. "Sebagai pedagang daging anjing dan babi, tidak memungkinkan untuk memiliki sertifikat halal. Dengan demikian mereka tidak dapat mengedarkan barang dagangannya di Indonesia," lanjut Agus Prabowo.
Dalam petitumnya, para Pemohon meminta dikabulkannya seluruh Permohonan. Selanjutnya, meminta Mahkamah menyatakan Pasal 58 ayat (4) UU 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Sidang dengan agenda pemeriksaan pendahuluan untuk perkara Nomor 2/PUU-IX/2011 ini dilaksanakan oleh panel hakim konstitusi Muhammad Alim sebagai ketua panel, didampingi dua anggota panel Ahmad Fadlil Sumadi dan Maria Farida Indrati. Dalam nasehatnya, hakim konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi meminta Pemohon menjelaskan dengan argumentasi yang rasional-yuridis berdasarkan doktrin atau teori-teori hukum dan konstitusi. "Misalnya, kaitannnya dengan pluralitas, mayoritas, minoritas, atau wilayah khusus dan umum," kata Fadlil.
Sementara hakim konstitusi Maria Farida Indrati menanyakan berlakunya ketentuan dalam UU yang berdampak kerugian konstitusional Pemohon. "(kerugian) hanya serifikat halal saja? tanya Maria.
Kemudian Maria menasehati pemohon agar menyinggung masalah keberagaman masyarakat di Indonesia. Selain itu, saran adanya tinjuan hukum Islam. "Karena hukum juga merupakan sumber hukum positif," saran Maria.  
Sementara itu, ketua panel Muhammad Alim menyarankan Pemohon melakukan elaborasi istilah 'halal' dalam perspektif hukum Islam. Menurut Alim, kehalalan daging hewan menurut Islam bukan hanya terletak pada dzatnya. "Meskipun daging kerbau, tapi karena tidak disembelih menurut Islam, hukumnya haram, misalnya (mati) karena tertabrak, tercekik," jelas Alim.
Lebih lanjut Alim memaparkan mengenai pembatasan-pembatasan yang dimungkinkan untuk menghormati hak asasi orang lain. Daging yang bersertifikat halal adalah konsumsi orang Islam. "Bagi selain orang Islam, membeli daging yang bersertifikat halal boleh, yang tidak bersertifikat halal juga boleh?" jelas Alim. (Nur Rosihin Ana)

Sumber:

Kamis, 06 Januari 2011

Masalah Konstitusional dalam Pengujian UU Pelayaran Dipertanyakan

Prinsipal Pemohon, Kapten Priyanto dari DPW APBMI, Jawa Timur menjelaskan mengenai permohonannya terkait pengujian Undang-Undang tentang Pelayaran, Kamis (6/1), di Ruang Panel MK.
Jakarta, MK Online - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan kedua Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran terhadap UUD 1945, Kamis (6/1). Sidang pemeriksaan pendahuluan tersebut dipimpin oleh Ketua Panel, Achmad Sodiki dan dianggotai oleh M, Arsyad Sanusi dan M. Akil Mochtar.

Pemohon yang hadir pada persidangan kali ini, yaitu Bambang K. Rahwardi, Arlen Sitompul, Fuadi, Eten Priyadi, Ari Sartoyo dan Kapten Priyanto. Para Pemohon didampingi kuasa hukumnya, yaitu A. Muhammad Asrun dan Merlina. Pihak Pemohon berasal dari DPW Surabaya dan pengurus-pengurus Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI).

Andi Muhammad Asrun yang diberi kesempatan untuk memberikan keterangan mengatakan telah melakukan perbaikan-perbaikan yang disarankan hakim panel pada persidangan sebelumnya. Perbaikan pertama terdapat pada struktur permohonan. Pemohon sudah memperbaiki struktur permohonan dengan urutan, pertama,  kewenangan Mahkamah Konstitusi, kedua, kedudukan Hukum Pemohon, ketiga kepentingan dan kerugian konstitusional Pemohon, dan keempat, Petitum.

Sementara itu, Prinsipal Pemohon, Priyanto dari DPW APBMI, Jawa Timur menjelaskan perbedaan antara fasilitas yang diberikan dan tidak. Ia menjelaskan dalam UU Pelayaran dijelaskan bahwa kegiatan bongkar muat harus dilaksanakan oleh Badan Hukum Indonesia yang didirikan khusus untuk bongkar muat. Karena itulah Pemohon menganggap, siapapun boleh mengadakan kegiatan bongkar muat barang dari dan ke kapal di daerah pelabuhan asal berbentuk badan hukum yang khusus didirikan untuk itu.

Priyanto juga menjelaskan bahwa Pelindo selama ini bertindak dan menganggap dirinya otomatis sebagai badan hukum yang juga bisa melaksanakan kegiatan bongkar muat. “Rancunya ada di sini, karena selama ini Pelindo bertindak sebagai regulator dan operator di pelabuhan. Karena dia berfungsi sebagai regulator dan operator di mana implementasi di lapangan itu sangat power full jadi, pihak lain yang mempunyai hak untuk itu mau tidak mau kalau tidak sejalan dengan kemauan Pelindo pasti akan tersisih,” jelas Priyanto.

Menanggapi keterangan Pemohon, Ketua Panel Hakim Achmad Sodiki mengatakan yang terjadi lebih terlihat sebagai bentuk persaingan usaha. Pasalnya, hal semacam itu juga terjadi pada PLN. PLN juga menjadi regulator dan operator. Dari sisi pelaku usaha terlihat tidak fair untuk suatu kompetisi yang sehat.

Sementara itu, M. Akil Mochtar menyampaikan pertanyaan kepada Pemohon. Ia menanyakan, mungkinkah yang terjadi dikarenakan norma yang keliru ataukah itu terjadi karena kesalahan penerapan. Dengan penambahan kata-kata seperti yang dimohonkan Pemohon, Akil melihat justru semakin menegaskan bahwa persoalan tersebut bukanlah persoalan konstitusional melaikan persoalan penerapan norma. “Nah, kalau itu, maka ke Komisi Persaingan Usaha karena adanya perlakuan diskriminatif akibat pasal itu. Nah, saya khawatirnya malah hakim memikirkan ke situ, gitu loh. Tapi kan ini sudah di lakukan perubahan tinggal saya kira permohonan yang dengan petitum lalu ditambahkan kalimat atau frase kalimat ‘fasilitas’ itu perlu juga dipertimbangkan lagi dalam proses, “ saran Akil. (Yusti Nurul Agustin/mh)

Sumber:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More