Rabu, 19 Desember 2012

APKASI Dukung Penyaluran Aspirasi Daerah Melalui DPD RI


Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) menyatakan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) telah mereduksi kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI). Sebab kedua UU tersebut tidak melibatkan DPD dalam pengajuan maupun persetujuan rancangan undang-undang. Terlebih lagi saat proses legislasi UU yang mengharuskan adanya peran DPD, antara lain RUU tentang Pemerintah Daerah, RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah, RUU tentang Desa.

“Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia terus memperjuangkan realisasi otonomi daerah seluas-luasnya secara utuh dan bertanggung jawab, sangat berkepentingan untuk menyalurkan aspirasi daerah melalui DPD RI dalam proses legislasi.”

Pernyataan disampaikan oleh Ketua Umum APKASI, Isran Noor saat didaulat menjadi saksi Pemohon dalam sidang uji materi UU MD3 dan UU P3 di persidangan Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (19/12/2012) siang. Sidang pleno perkara 92/PUU-X/2012 dan 104/PUU-X/2012 dilaksanakan oleh delapan hakim konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD (ketua pleno), Achmad Sodiki, Harjono, Hamdan Zoelva, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Anwar Usman. Sidang beragendakan mendengar keterangan saksi/ahli.

Isran beralasan anggota DPD RI dipilih oleh rakyat dengan perolehan suara yang secara umum jauh di atas perolehan suara rata-rata anggota DPR RI. dengan begitu, anggota DPD memiliki dukungan dan legitimasi politik yang kuat di daerah masing-masing atau di provinsi yang diwakilinya. Sebagai bentuk tanggung jawab politik kepada konstituen, menurut Isran, DPD berkewajiban untuk memperjuangkan aspirasi daerah. “Undang-undang serta mekanisme dan prosedur yang menyangkut kewenangan legislasi DPD RI seperti sekarang ini, jelas menjadi kendala bagi perwujudan tanggung jawab terhadap konstituen tersebut di atas,” jelas Isran yang bersaksi untuk Pemohon perkara Nomor 104/PUU-X/2012. 

Sementara itu, DPD RI selaku Pemohon untuk perkara Nomor 92/PUU-X/2012, menghadirkan  3 orang ahli, yaitu Prof. Dr. Saldi Isra, Dr. Maruarar Siahaan, S.H., Prof. Maswadi Rauf. Saldi Isra menyatakan, Konstruksi hukum Pasal 22D UUD 1945 adalah fakta konstitusional yang tidak terbantahkan. Begitu pula hadirnya DPD sebagai salah satu kamar di lembaga perwakilan rakyat Indonesia, menjadi fakta yang tidak terbantahkan pula. Permasalahannya adalah bagaimana memberikan pemaknaan yang tepat atas kewenangan DPD, sehingga kehadirannya tidak menjadi sebuah lembaga yang berada pada posisi antara ada dan tiada. Setidaknya kehadiran DPD dapat dirasakan, terutama dalam fungsi legislasi sebagaimana termaktub dalam Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2), yaitu peran signifikan dalam RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah.

Menurut Saldi, desain Pasal 22D UUD 1945 tidak mungkin pula memberikan kewenangan lebih luas kepada DPD untuk kategori RUU yang lain. Barangkali perluasan untuk semua kategori RUU hanya dapat dilakukan dengan melakukan perubahan kelima UUD 1945. “Dengan batasan yang dipandu dalam Pasal 22D tersebut, desain legislasi ke depan harusnya diupayakan memberikan tafsir yang tepat dengan wewenang legislasi DPD,” kata Saldi.

Tafsir yang tepat menurut Saldi, yaitu wewenang DPD tidak hanya sebatas mengajukan dan ikut membahas RUU, sebagaimana peran yang dilakukan oleh DPR dan Presiden. MK bisa memberikan tafsir yang lebih progresif. Apabila makna persetujuan dinilai sebagai konsekuensi dari pembahasan bersama, tidak keliru pula apabila DPD dilibatkan dalam proses pembentukan UU sampai tahap persetujuan bersama.

“Memberikan pemaknaan baru yang lebih progresif terhadap DPD dalam proses legislasi, sangat berpotensi menjawab kekhawatiran kita terhadap legislasi yang kian hari kian menurun kualitasnya. Tidak hanya kualitas, secara kuantitas jumlah undang-undang yang dihasilkan DPR dan pemerintah juga kian menurun, misalnya selama Tahun 2010 hanya mampu menghasilkan 13 undang-undang, 2011 sebanyak 24 undang-undang, secara kuantitas jumlah itu jauh lebih sedikit apabila dibandingkan dengan Tahun 2008 dan 2009,” tandasnya.

Untuk diketahui, permohonan uji materi UU MD3 dan UU P3 Perkara Nomor 92/PUU-X/2012 diajukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sedangkan untuk  Perkara Nomor 104/PUU-X/2012 diajukan oleh Prof Syamsuddin Haris (LIPI), Dr. Yudi Latif (Direktur Eksekutif Reform Institute), Sukardi Rinakit (Yayasan Soegeng Sarjadi), Titi Anggraini (Perludem) Toto Sugiarto (Peneliti Soegeng Sarjadi Syndicate), Yurist Oloan (FORMAPPI), sebagai Pemohon VI, Dr. Hemawan Estu Bagijo, SH, MH (Ketua Asosiasi Pengajar HTN), Refly Harun (CORRECT), Yuda Kusumaningsih (Pokja Keterwakilan Perempuan), Sulastio, (IPC), Sulastio (KIPP), Pipit Apriani (KIPP), Yusfitriadi (JPPR), Abdullah (ICW), Feri Amsari, SH, MH (Dosen HTN Fakultas Hukum Universitas Andalas), dan King Faisal Sulaiman SH, LLM (Direktur LBH Imparsial).

Materi UU MD3 yang diujikan yaitu Pasal 71 huruf a, huruf d, huruf e, Pasal 102 ayat (1), Pasal 147 ayat (3), ayat (4), ayat (7), Pasal 150 ayat (3), ayat (4) huruf a, Pasal 151 ayat (1) huruf a, huruf b, dan Pasal 154 ayat (5).

Sedangan materi UU P3 yang diujikan yaitu Pasal 18 huruf g, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), ayat (3), Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 43 ayat (1), ayat (2), Pasal 46 ayat (1), Pasal 48 ayat (2), ayat (4), ayat (5), Pasal 65 ayat (3), Pasal 68 ayat (2) huruf c, huruf d, ayat (3), ayat (4), ayat (5), Pasal 69 ayat (1) huruf a, huruf b, Pasal 70 ayat (1), dan ayat (2).

DPD mendalilkan, Pasal 102 ayat (1) huruf (d) dan (e) UU MD3, Pasal 48 ayat (2) dan (4) UU P3 telah mereduksi kewenangan legislasi DPD yang seharusnya setara dengan kewenangan legislasi Anggota, Komisi, dan Gabungan Komisi DPR. Pasal 18 huruf g, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21, Pasal 22 ayat (1), dan Pasal 23 ayat (2)  UU P3  telah meniadakan kewenangan DPD untuk dapat mengajukan RUU baik di dalam maupun di luar Program Legislasi Nasional. Pasal 143 ayat (5) dan Pasal 144 UU MD3 secara sistematis tidak mengikutsertakan DPD sejak awal proses pengajuan RUU. Pasal 147 ayat (1), ayat (3), dan (4) UU MD3 telah mendistorsi RUU usul DPD menjadi RUU usul DPR. Pasal 43 ayat  (1) dan  (2)  serta  Pasal 46 ayat (1) UU P3 telah merendahkan kedudukan DPD menjadi lembaga yang sub-ordinat di Bawah DPR. Pasal 65 ayat (3) dan (4) UU P3 tidak melibatkan DPD dalam seluruh proses pembahasan RUU. (Nur Rosihin Ana)



SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More