Selasa, 17 April 2012

Mengembalikan Kedaulatan Negara Atas Migas


Catatan Perkara MK

Pimpinan Pusat Muhammadiyah bersama sejumlah organisasi massa (ormas) dan tokoh nasional, mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas (UU Migas) ke Mahkamah Konstitusi (MK), kamis (29/3/2012) siang. Ormas-ormas dimaksud yaitu: Lajnah Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia, Pimpinan Pusat Persatuan Ummat Islam, Pimpinan Pusat Syarikat Islam Indonesia, Pimpinan Pusat/Lajnah Tanfidziyah Syarikat Islam, Pimpinan Pusat Persaudaraan Muslimin Indonesia, Pimpinan Pusat Al-Irsyad Al-Islamiyah, Pimpinan Besar Pemuda Muslimin Indonesia, Al Jami’yatul Washliyah, dan Solidaritas Juru Parkir, Pedagang Kaki Lima, Pengusaha, dan Karyawan (SOJUPEK). Sedangkan Pemohon perorangan yaitu: K.H. Achmad Hasyim Muzadi, H. Amidhan, Komaruddin Hidayat, Eggi Sudjana, Marwan Batubara, Fahmi Idris, Moch. Iqbal Sullam, H. Ichwan Sam, H. Salahuddin Wahid, Nirmala Chandra Dewi M, HM. Ali Karim OEI, Adhi Massardi, Ali Mochtar Ngabalin, Hendri Yosodiningrat, Laode Ida, Sruni Handayani, Juniwati T. Masgehun S, Nuraiman, Sultana Saleh, Marlis, Fauziah Silvia Thalib, King Faisal Sulaiman, Soerasa, BA, Mohammad Hatta, M. Sabil Raun, Edy Kuscahyanto, Yudha Ilham, Joko Wahono, Dwi Saputro Nugroho, A.M Fatwa, Hj. Elly Zanibar Madjid, dan Jamilah.

Para Pemohon mengujikan Pasal 1 angka 19 dan 23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat (2), Pasal 13 dan Pasal 44 UU Migas. Menurut para Pemohon, Pasal 1 angka 19 dan 23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 dan Pasal 44 UU Migas bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945. Kemudian Pasal 11 ayat (2) UU Migas bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 11 ayat (2), Pasal 20A, dan Pasal 33 ayat (3)  UUD 1945.

Para Pemohon mendalilkan, pembentukan UU Migas adalah desakan internasional untuk mereformasi sektor energi khususnya Migas. Reformasi sektor energi antara lain menyangkut (1) reformasi harga energi dan (2) reformasi kelembagaan pengelola energi. Reformasi energi bukan hanya berfokus pada upaya pencabutan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), tetapi dimaksudkan untuk memberikan peluang besar kepada korporasi internasional untuk merambah bisnis migas di Indonesia. Sehingga monopoli pengelolaan Migas melalui Badan Usaha Milik Negara (Pertamina) yang pada saat berlakunya UU No. 8 Tahun 1971 menjadi simbol badan negara dalam pengelolaan migas menjadi berpindah ke konsep oligopoli korporasi dikarenakan terbentuknya UU Migas.

Pengelolaan Migas sejak berlakunya UU Migas menggunakan sistem Kontrak Kerja Sama (KKS) atau disebut juga sebagai Kontrak Karya. Ini merupakan suatu bentuk terbuka (open system) yang dianut sejak Kuasa Pertambangan diserahkan kepada Pemerintah cq. Menteri ESDM sebagaimana dinyatakan di dalam Pasal 6 UU Migas.

Pasal 1 angka 19 UU Migas mengatur bahwa ”Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerjasama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Frasa ”bentuk kontrak kerja sama lain” dalam Pasal 1 angka 19 UU Migas telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pemaknaan kontrak lainnya tersebut. Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selain itu frasa “dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama” menunjukan adanya penggunaan sistem kontrak dalam pengendalian pengelolaan migas yang multitafsir tersebut. Keadaan yang demikian ini maka akan melekat asas-asas hukum kontrak yang bersifat umum yang berlaku dalam hukum kontrak yakni asas keseimbangan dan asas proporsionalitas kepada negara.

BP Migas Bukan Operator

Lahirnya Badan Pelaksana Migas (BP Migas)  adalah atas perintah Pasal 4 ayat (3) UU Migas yang menyatakan ”Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan membentuk Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 23” menjadikan konsep Kuasa Pertambangan menjadi kabur (obscuur). Hal ini dikarenakan BP Migas yang bertugas mewakili negara untuk mengontrol cadangan dan produksi migas sebagaimana dinyatakan di dalam Pasal 44 UU Migas.

BP Migas bukan operator (badan usaha) namun hanya berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN), sehingga kedudukannya tidak dapat melibatkan secara langsung dalam kegiatan eksplorasi dan produksi migas. BP Migas tak punya sumur, kilang, tanker, truk pengangkut, dan SPBU, serta tidak bisa menjual minyak bagian negara sehingga tak bisa menjamin keamanan pasokan BBM/BBG dalam negeri. Ini membuktikan bahwa kehadiran BP Migas menbonsai Pasal 33  ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 dan menjadikan makna ”dikuasai negara” yang telah ditafsirkan dan diputuskan oleh Mahkamah menjadi kabur dikarenakan tidak dipenuhinya unsur penguasaan negara yakni mencakup fungsi mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasi secara keseluruhan, hanya menjadi sebuah ilusi konstitusional.

Kedudukan BP Migas yang mewakili pemerintah dalam kuasa pertambangan tidak memiliki Komisaris/pengawas. Padahal BP Migas adalah BHMN, jelas ini berdampak kepada jalannya kekuasaan yang tidak terbatas dikarenakan secara struktur kelembagaan ini menjadi cacat. Hal ini berdampak kepada cost recovery tidak memiliki ambang batas yang jelas. Kekuasaan yang sangat besar tersebut akan cenderung korup terbukti ketika data dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan menunjukkan bahwa selama 2000-2008 potensi kerugian negara akibat pembebanan cost recovery sektor migas yang tidak tepat mencapai Rp 345,996 Triliun rupiah per tahun atau 1,7 milliar tiap hari. Pada pemeriksaan semester II-2010, BPK kembali menemukan17 kasus ketidaktepatan pembebanan cost recovery yang pasti akan merugikan negara yang tidak sedikit.

Pasal 3 huruf b UU Migas menyatakan  ”Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Migas dan Gas Bumi bertujuan:.....(b) menjamin efektifitas pelaksanaan dan pengendalian usaha dan mengolahan, pengangkutan, penyimpangan dan niaga secara akuntabel yang diselenggaraka­n melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat dan transparan”. Pasal ini menunjukan bahwa walaupun Mahkamah telah memutus Pasal 28 ayat (2) tentang penetapan ”Harga Bahan Bakar Minyak dan Harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.” Tetapi Pasal 3 huruf b yang merupakan jantung dari UU tersebut belum dibatalkan secara bersamaan dengan putusan Mahkamah Nomor 002/PUU-I/2003. Oleh sebab itu para Pemohon merasa Mahkamah harus membatalkan Pasal tersebut.

Pasal 9 UU Migas menyatakan bahwa ”(1) Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Angka 2 dapat dilaksanakan oleh: a. Badan Usaha Milik Negara; b. Badan Usaha Milik Daerah; c. Koperasi; usaha kecil; dan badan usaha swasta; (2) Bentuk Usaha Tetap hanya dapat melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu;”. Frasa ”dapat” didalam Pasal 9 jelas telah bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3), dikarenakan Pasal ini menunjukan bahwa Badan Usaha Milik Negara (Pertamina) hanya menjadi salah satu pemain saja dalam pengelolaan migas. Jadi, BUMN harus bersaing di negaranya sendiri untuk dapat mengelola migas. Konstruksi demikian dapat melemahkan bentuk penguasaan negara terhadap sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak.

Pasal 10 UU Migas menyatakan bahwa ”(1) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melakukan usaha hulu dilarang melakukan Kegiatan Usaha Hilir; (2) Badan Usaha yang melakukan Kegiatan Usaha Hilir tidak dapat melakukan usaha Hulu”. Pasal 13 UU Migas menyatakan bahwa ”(1) Kepada setiap Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap hanya diberikan 1 (satu) wilayah kerja; (2) dalam hal badan usaha atau Bentuk Usaha Tetap mengusahakan beberapa wilayah kerja, harus dibentuk badan hukum yang terpisah untuk setiap wilayah kerja.” Norma-norma ini jelas mengurangi kedaulatan negara atas penguasaan sumber daya alam (dalam hal ini Migas) dikarenakan Pertamina harus melakukan pemecahan organisasi secara vertikal dan horizontal (unbundling) sehingga menciptakan manajemen baru yang mutatis mutandis akan menentukan cost dan profitnya masing-masing. Korban dari konsepsi ini adalah adanya persaingan terbuka dan bagi korporasi asing adalah suatu lahan investasi yang menguntungkan, namun merugikan bagi rakyat.

Pengaturan yang terdapat di dalam Pasal 11 ayat (2) UU Migas telah mengingkari Pasal 1 ayat (2), Pasal 20A dan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945. Sebab memosisikan DPR yang hanya dijadikan sebagai tembusan dalam setiap KKS maka jelas telah mengingkari kedaulatan rakyat Indonesia. Selain itu, dengan sekadar pemberitahuan tertulis kepada DPR tentang adanya KKS dalam Minyak dan Gas Bumi yang sudah ditandatangani, tampaknya hal itu telah mengingkari keikutsertaan rakyat sebagai pemilik kolektif sumber daya alam, dalam fungsi toezichthoudensdaad yang ditujukan dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh Negara atas sumber-sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat.

Kedaulatan Migas

Kesimpulannya, UU Migas telah mendegradasikan kedaulatan negara, kedaulatan ekonomi, dan telah ”mempermainkan’ kedaulatan hukum sehingga menjadikan suatu UU yang dzalim terhadap bangsa Indonesia sendiri. Migas yang merupakan salah satu sumber energi yang sejak dahulu diharapkan untuk dapat memberikan kesejahteraan umum, dan dipergunakan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi dikerdilkan dengan dogma ’pacta sunct survanda’. Negara seharusnya berdaulat atas kekayaan mineral dalam perut bumi Indonesia ternyata harus tersandera dan terdikte oleh tamu yang seharusnya patuh dengan aturan tuan rumah. Kontrak yang dilakukan oleh Pemerintah dengan korporasi-korporasi internasional tak ubahnya seperti membentuk konstitusi di atas UUD 1945 yang merupakan konstitusi bagi seluruh bangsa Indonesia.

Para Pemohon menuntut kepada Mahkamah agar mengabulkan seluruh permohonan, yaitu menyatakan Pasal 1 angka 19 dikarenakan frasa ”Bentuk Kerja Sama lain”, Pasal 3 huruf b dikarenakan frasa ”yang diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan”, Pasal 6 dikarenakan frasa ”dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama” UU Migas bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1, Pasa 28H ayat (1), Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Kemudian Menyatakan Pasal 1 angka 23,Pasal 4 ayat (3), Pasal 9 dikarenakan frasa ”dapat”, Pasal 10, Pasal 13 dan Pasal 44 UU Migas bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 dan tidak  mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selain itu, menyatakan Pasal 11 ayat (2) UU Migas bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 11 ayat (2), Pasal 20A, dan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Terakhir, menyatakan UU Migas tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan.

Nur Rosihin Ana

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More