Selasa, 24 April 2012

Ahli Pemerintah: Pengantar Bahasa Inggris Tidak Berpotensi Hilangkan Jati Diri Bangsa

Penggunaan bahasa Inggris sebagai salah satu bahasa pengantar dalam rangka rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) secara filosofis ilmu pendidikan, tidak akan berpotensi menghilangkan jati diri bangsa. Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara tetap menjadi bahasa pengantar pendidikan. Bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya hanya digunakan sebagai komunikasi keilmuan yang bersifat universal dalam komunikasi sosial dan dalam kontek pergaulan antar bangsa. Bung Karno pernah berpesan, “Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasional.”

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Prof. Dr. Udin S. Winataputra saat bertindak sebagai ahli Pemerintah dalam persidangan yang digelar di Mahkamah Konstitusi, Selasa (24/4/2012) siang. Sidang kali keenam untuk perkara 5/PUU-X/2012 uji materi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), dimohonkan oleh Andi Akbar Fitriyadi, Nadya Masykuria, Milang Tauhida, Jumono, Lodewijk F. Paat, Bambang Wisudo dan Febri Hendri Antoni Arif. Para Pemohon yang terdiri dari orangtua murid, dosen, aktivis pendidikan serta aktivis ICW, merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya atas berlakunya ketentuan Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas. Menurut mereka, Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas yang menyatakan: “Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional,” bertentangan dengan Pembukaan, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 31 ayat (1), Pasal 31 ayat (2), Pasal 31 ayat (3) dan Pasal 36 UUD 1945.

Ahli Pemerintah selanjutnya, Prof. Johannes dalam paparannya menyatakan, Standar Nasional Pendidikan (SNP) dalam ketentuan Pasal 35 ayat (1) UU Sisdiknas adalah berlaku sama, baik bagi satuan pendidikan bertaraf nasional maupun internasional. Begitu pula peningkatan standar nasional secara berencana dan berkala adalah sama bagi sekolah nasional dan sekolah internasional. Kecerdasan bangsa dan peningkatannya pada peserta didik satuan pendidikan bertaraf nasional dan internasional adalah sama karena semuanya harus memenuhi SNP. “Jadi, tidak benar kalau dikatakan bahwa yang bertaraf nasional, maka tingkat kecerdasannya itu kemudian lebih rendah daripada yang bertaraf internasional. Karena standarnya minimalnya semuanya sama,” tegas Johannes.

Dampak Negatif

Abdul Chaer dalam kapasitasnya sebagai ahli Pemohon, menyatakan penggunaan bahasa Inggris pada RSBI berdampak kurang baik bagi pembinaan bahasa. Sedangkan mengenai bahasa Inggris sebagai mata pelajaran, menurutnya, bahasa Inggris harus dikuasai oleh anak didik dengan lebih baik. Alasannya bukan karena gengsi, tapi karena kebutuhan keilmuan yang menggunakan pengantar bahasa Inggris. “Yang harus dikejar bukanlah bahasa asingnya, tetapi ilmunya. Mengapa begitu? Jepang, Korea, Cina adalah negara-negara yang sekarang sudah menjadi raksasa. Mereka maju bukan karena bahasa asing, tapi karena mereka menguasai ilmunya,” terangnya.

Menurut Abdul Chaer, penggunaan bahasa Inggris sebagai salah satu bahasa pengantar di RSBI, melanggar UUD 1945. “Penggunaan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di RSBI juga memberi dampak negatif terhadap upaya pemerintah untuk membina Bahasa Indonesia,” tandasnya.

Ahli Pemohon lainnya, Darmaningtyas, dalam paparannya di persidangan menyatakan, tujuan RSBI atau SBI yang hanya diarahkan untuk meningkatkan daya saing, salah satunya dibuktikan dengan perolehan medali emas, perak, perunggu, dan bentuk penghargaan internasional lainnya. “Ini sungguh mereduksi makna konstitusi negara yang mengamanatkan pencerdasan bangsa karena tugas pencerdasan jauh lebih tinggi daripada sekedar mengumpulkan piala atau medali. Bila sekedar untuk mendapatkan medali tidak perlu membentuk RSBI atau SBI,” terang Darmaningtyas.

Menurutnya, legal policy yang mengatur pemberian hak bagi SBI untuk mempekerjakan tenaga asing sebagai pendidik sebanyak 30% dari keseluruhan jumlah pendidik, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Sebab guru RSBI atau SBI dari warga asing jelas akan dibayar 10 kali lipat dari guru warga negara Indonesia. “Dengan demikian, jelas bahwa RSBI dan/atau SBI bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.,” tandas Darmaningtyas. (Nur Rosihin Ana)

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More