Kamis, 19 Agustus 2010

UU Perlindungan Saksi Berpotensi Langgengkan Praktik Korupsi

Mantan Kabareskrim Komjen Pol Susno Duadji selaku Pemohon uji materi UU Perlindungan Saksi dan Korban didampingi Kuasa Hukumnya, saat persidangan di Ruang Sidang Pleno MK, memberikan keterangan terkait permohonannya, Kamis (19/8).
Jakarta, MK Online - Pengamat hukum tata negara, Saldi Isra, selaku Ahli mengungkapkan bahwa Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang (UU) nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban berpotensi menjadikan kejahatan korupsi dan praktik mafia hukum tidak dapat dibongkar.
Dalam Pasal 10 ayat 2 berbunyi 'Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.'
”Apabila kita melihat dan membaca secara cermat terdapat ruang yang kemudian dapat menimbulkan tafsir ganda. Orang akan enggan melaporkan kasus korupsi karena berhadapan dengan kakuatan besar baik dalam struktur kekuasaan maupun penegak hukum. Dalam kasus yang dialami Pemohoh yakni Susno Duaji, UU ini tidak bisa memproteksi saksi,” terang Saldi dalam sidang uji materiil Pasal 10 ayat (2) UU 13/2006 di Ruang Sidang Pleno MK, Kamis (19/08).
Ia melanjutkan, pasal ini juga bisa menimbulkan kekeliruan dalam penerapan. Seorang saksi maupun pelapopr bisa dijadikan tersangka. ”Penegak hukum setinggi Susno saja, tidak bisa diproteksi UU, apalagi orang yang posisinya lebih rendah," kata pengajar di Universitas Andalas ini.
Apabila merujuk pada azas perundang-undangan mengenai kejelasan dan rumusan pasal yang menegaskan tidak boleh memiliki banyak tafsir, maka Pasal 10 ayat (2) bisa menjadi gugur karena memiliki tafsir ganda.  ”Alih-alih untuk melindungi, Pasal 10 ayat (2) ini saja secara terang-terangan justru dapat mengancam saksi dan korban seperti yang dialami permohon prinsipal uji UU ini,” ujarnya.
Selain itu, Saldi juga menjelaskan pasal yang diujikan tidak memberikan manfaat dalam skala besar pemberantasan korupsi. Pasal ini membuat saksi dan korban takut memberikan keterangan.
”Saksi terutama whistle blower akan menjadi menjadi faktor utama untuk pengungkapan kasus skandal suap, korupsi, dan mafia hukum. Apabila saksi takut, maka selamanya tidak akan terbongkar kasus korupsi tersebut. Ini terkesan tidak ada jaminan bagi saksi dan korban. Justru semua ini menyulitkan penegak hukum untuk mendapatkan saksi kunci skandal suap atau korupsi,” tambahnya.
Dalam kesimpulan keterangan Ahlinya, Saldi menegaskan Pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945 yang menjamin atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Selanjutnya, Ahli hukum pidana dari Universitas Gajah Mada, Edi Hiariej, mengatakan bahwa wistle blower harus dilindungi agar pemberantasan korupsi bisa diberantas sampai ke akar-akarnya.
”Apabila saksi yang dengan berani melaporkan tindak pidana, memberikan kesaksian dan keterangan dapat diancam pidana juga, maka hal ini melanggar Hak Asasi Manusia,” cetusnya.
Sementara itu, pihak Pemerintah dalam persidangan menyatakan bahwa tidak ada aturan hukum ataupun ketentuan di Indonesia yang mengatur tentang wistle blower sehingga hal ini tidak dimasukkan dalam UU ini. ”Ketentuan wistle blower, apa saja kriterianya, perlu dijelaskan secara rinci agar kita tidak mudah begitu saja menentukan saksi ini merupakan wistle bolwer atau tidak,” kata Hartutu Harkresnowo.
Ia mencontohkan, apabila pemberi suap kemudian melaporkan dirinya telah memberikan suap, apakah dengan senantiasa dirinya lolos dari jeratan hukum karena melaporkan tindak pidana karena semata-mata memberikan kesaksian. ”Pasal ini dibentuk juga mempertimbangkan hal tersebut,” tuturnya.

MK Tolak Putusan Provisi
Dalam sidang ini, MK juga memutuskan menolak permohonan putusan provisi atas uji materi UU yang diajukan Susno Duaji. ”Mahkamah Konstitusi menolak permohonan provisi Pemohon," kata Ketua MK, Mahfud MD.
Apabila MK mengeluarkan putusan provisi dan dilakukan penghentian penyidikan, maka semua kasus di Indonesia secara langsung akan dihentikan pula. Permintaan Susno, dinilai oleh MK tidak dapat dikabulkan karena pengajuannya merupakan kasus konkret.
Dalam hal ini, MK tidak berwenang untuk memutusnya. "Sampai saat ini MK tidak pernah memutus kasus konkret dalam pengujian UU dan MK tidak boleh memutus untuk mengabulkannya," ujar Mahfud. (RN Bayu Aji)

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More