Rabu, 04 Agustus 2010

UU Penyelenggaraan Ibadah Haji Langgar Hak Konstitusional Calon Jamaah Haji

Tim Kuasa hukum Pemohon, Dirga Rahman dan Rama Difa mewakili pemohon menjelaskan permohonan Uji Materi mengenai UU Penyelenggaraan Ibadah Haji di ruang sidang Panel MK, Rabu (4/8).
Jakarta, MK Online - Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (UU Penyelenggaraan Ibadah Haji) dimohonkan untuk di-judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (4/8), di Gedung MK. Perkara yang teregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 51/PUU-VIII/2010 dimohonkan oleh M. Farhat Abbas dan Windu Wijaya sebagai warga negara.

Kedua Pemohon yang diwakili oleh kuasa hukumnya, Dirga Rahman, mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 1 angka 8 juncto Pasal 21 ayat (1) juncto Pasal 22 ayat (1) dan (2) UU Penyelenggaraan Ibadah Haji. Pasal 1 angka 8 UU Penyelenggaraan Ibadah Haji menyatakan “Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji, yang selanjutnya disebut BPIH, adalah sejumlah dana yang harus dibayar oleh Warga Negara yang akan menunaikan Ibadah Haji”. Sementara Pasal 21 ayat (1) UU Penyelenggaraan Ibadah Haji menyatakan “Besaran BPIH ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendapat persetujuan DPR”. Sedangkan Pasal 22 ayat (1) dan (2) UU Penyelenggaraan Ibadah Haji menyatakan “(1) BPIH disetorkan ke rekening Menteri melalui bank syariah dan/atau bank umum nasional yang ditunjuk oleh Menteri; (2) Penerimaan setoran BPIH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan ketentuan kuota yang telah ditetapkan”.

Dirga mengungkapkan UU Penyelenggaraan Ibadah Haji berkaitan dengan monopoli Pemerintah dalam  penyelenggaraan ibadah haji yang berakibat terlanggarnya hak konstitusional Pemohon untuk menunaikan ibadah haji sebagai rukun Islam yang ke-5. “Terjegalnya hak konstitusional Pemohon terlihat dari pembatasan kuota ibadah haji, jumlah pembiayan ibadah haji yang terlalu besar dan dana abadi umat yang secara substansi, fungsi dan penggunaannya tidak jelas sehingga merugikan calon jamaah haji,” ujarnya.

Pemohon mendalilkan pasal-pasal a quo UU Penyelenggaraan Ibadah Haji bertentangan dengan Pasal 28I juncto Pasal 28D ayat (1) juncto Pasal 28H ayat (2) juncto Pasal 29 ayat (1). “Pemohon ingin naik haji tahun ini, tetapi karena ada aturan kuota, maka Pemohon harus antri untuk tahun-tahun berikutnya ,” jelasnya.

Majelis Hakim Panel yang terdiri dari Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva sebagai Ketua Panel, serta M. Akil Mochtar dan M. Arsyad Sanusi sebagai Anggota Panel memberikan saran perbaikan untuk permohonan Pemohon. Hamdan Zoelva menjelaskan masalah kuota dalam penyelenggaraan ibadah haji bukanlah ketentuan dari Pemerintah Indonesia. “Kuota negara dalam penyelenggaraan ibadah haji adalah kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dengan Arab Saudi. Sementara, kuota provinsi barulah menjadi ketentuan Pemerintah Indonesia,” urainya.

Sementara itu, Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar mengingatkan Pemohon bahwa pijakan agama dalam melaksanakan ibadah haji adalah bila orang itu mampu. Menurut Akil, pemohon pada intinya mempersoalkan mahalnya ibadah haji. “Pemohon harus bisa mengkonstruksikan kaitan pijakan agama dengan masalah BPIH. Kemudian juga Pemohon harus teliti apakah relevan pasal-pasal yang dimohonkan Pemohon untuk diuji dengan menggunakan batu ujinya Pasal 28?” paparnya.

Pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. (Lulu Anjarsari/mh)

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More