Rabu, 30 Mei 2012

Sengketa Kuasa Pulau Berhala

Pasal 9 ayat (4) UU Nomor 54 Tahun 1999 tentang Pembentukan Daerah Kabupaten Sorolangun, Daerah Kabupaten Tebo, Daerah Kabupaten Muara Jambi, Dan Daerah Kabupaten Tanjung Jabung Timur, dengan tegas menyatakan bahwa Kabupaten Tanjung Jabung Timur mempunyai batas wilayah: a. sebelah utara dengan Laut Cina Selatan; b. sebelah Timur dengan Laut Cina Selatan. “Jadi, dengan kenyataan ini tidak bisa dipungkiri bahwa Pulau Berhala itu adalah bagian dari Tanjung Jabung Timur.”

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Prof. H. Rozali Abdullah, SH saat didaulat sebagai ahli Pemohon dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (30/5/2012) pagi. Sidang pleno perkara Perkara 32/PUU-X/2012 mengenai  Pengujian Pasal 5 ayat (1) huruf c UU Nomor 31 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Lingga Provinsi Kepulauan Riau, beragendakan mendengarkan keterangan Pihak Terkait I dan Pihak Terkait II serta Saksi/Ahli dari Pemohon, Pemerintah dan Pihak Terkait.

Lebih lanjut Rozali menyatakan, Penjelasan Pasal 3 UU Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) menyatakan bahwa Kabupaten Kepri dalam UU ini, tidak termasuk Pulau Berhala. “Karena Pulau Berhala termasuk dalam wilayah Provinsi Jambi berdasarkan Undang-Undang Nomor 54 Tahun 1999,” terang Rozali.

Sementara itu, Prof. Dr. Hasjim Djalal, ahli yang dihadirkan oleh Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) selaku Pihak Terkait I, dalam paparannya menyatakan, secara hukum yang sering menentukan hak dan kewenangan suatu pemerintahan terhadap suatu wilayah adalah bagaimana efektifnya pemerintahan atas wilayah tersebut dijalankan dalam waktu yang cukup lama. “Dalam kasus Pulau Berhala ini, sungguh menarik perhatian bahwa Provinsi Riau dan Kepulauan Riau, terlihat sudah melaksanakan kewenangan pemerintahan atas pulau tersebut untuk waktu yang cukup lama. Antara lain telah memberikan pelayanan masyarakat selama bertahun-tahun, termasuk mengeluarkan sertifikat hak atas tanah dan lain-lain,” kata Djalal.

Selain itu, kata Djalal, telah mengurus hal-hal yang berkaitan dengan keamanan masyarakat, baik di darat maupun di laut, serta pelayanan lalu lintas laut dengan memelihara mercusuar di Pulau Berhala. Kemudian, telah melaksanakan pemilu secara sah dan tidak dibantah serta telah membuat aturan-aturan di pulau tersebut yang sampai kini masih berlaku. “Jika Pulau Berhala dianggap tidak termasuk Kabupaten Lingga atau Kepulauan Riau dalam tahun 1971 paling tidak, maka tentunya dapat diartikan bahwa pemilu yang dilaksanakan di pulau tersebut oleh Kepulauan Riau sejak tahun itu dapat dianggap tidak sah menurut hukum,” jelas Djalal.

Pemerintah Provinsi Jambi, lanjut Djalal, juga memasukkan Pulau Berhala ke dalam wilayah administratifnya. Namun Pemprov Jambi tidak banyak melaksanakan administrasi pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Menurut Djalal, klaim Provinsi Jambi dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur atas Pulau Berhala muncul setelah kunjungan para pejabat ke daerah tersebut sekitar 1980-an dan mulai memasang tanda-tanda kewenangannya. “Sepanjang yang saya tahu diprotes oleh Kabupaten Lingga, dan dengan demikian menunjukan bahwa Kabupaten Tanjung Jabung tidak melaksanakan administrasi pemerintahan yang efektif dan terus menerus dalam waktu yang cukup lama atas Pulau Berhala tersebut,” tandas Djalal.
           
Untuk diketahui, Uji materil (judicial review) UU Nomor 31 Tahun 2003 ini diajukan oleh H. Hasan Basri Agus (Gubernur Jambi), Effendi Hatta (Ketua DPRD Provinsi Jambi), Zumi Zola Zulkifli (Bupati Tanjung Jabung Timur), Romi Hariyanto (Ketua DPRD Kab. Tanjung Jabung Timur), Meiherrriansyah (Camat Sadu Kab. Tanjung Jabung Timur), Abidin (Kades Sungai Itik), Junaidi (Kadus Pulau Berhala), Kalik ( Ketua RT 13/Nelayan Desa Sungai Itik), H. Hasip Kalimuddin Syam (Ketua Lembaga Adat Melayu Jambi), Sayuti (Pensiunan PNS/Tokoh Masyarakat), R. Muhammad (Masyarakt Desa Nipah Panjang)

Para Pemohon mendalilkan, pembentukan Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), telah mengurangi luas wilayah Provinsi Jambi. Sebab, Pulau Berhala yang semula adalah wilayah Provinsi Jambi, dengan diberlakukannya ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 31 tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Lingga, Pulau Berhala menjadi wilayah Kabupaten Lingga.

Pasal 5 ayat (1) huruf c UU Nomor 31 Tahun 2003 menyatakan “Kabupaten Lingga mempunyai batas wilayah: Sebelah selatan berbatasan dengan laut Bangka dan Selat Berhala.” Sedangkan dalam Penjelasan Pasal 3 UU Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau menyatakan bahwa “Kabupaten Kepulauan Riau dalam undang-undang ini, tidak termasuk Pulau Berhala, karena Pulau Berhala termasuk di dalam wilayah administratif Provinsi Jambi sesuai dengan Undang-undang Nomor 54 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tebo, Kabupaten Muaro Jambi, dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi.” (Nur Rosihin Ana)

Senin, 28 Mei 2012

Tolak Mekanisme Pasar Harga Jual BBM, UU APBN-P 2012 Diuji

Berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 (UU APBN-P 2012) khususnya Pasal 7 ayat (6) huruf a, memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan penyesuaian harga jual subsidi BBM kepada rakyat sesuai dengan mekanisme pasar. “Ini bertentangan dengan Putusan MK,” kata Andi Muhammad Asrun saat bertindak sebagai kuasa hukum Pemohon perkara 45/PUU-X/2012 dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (28/5/2012) siang.

Permohonan uji formil dan materiil UU APBN-P 2012 diajukan oleh M. Komarudin, Ketua Umum Federasi Ikatan Buruh Indonesia (FISBI) dan Muhammad Hafidz (perkara 45/PUU-X/2012) serta Ahmad Daryoko Presiden Konfederasi Serikat Nasional (KSN), Kgs. Muhammad Irzan Zulpakar, Mukhtar Guntur Kilat dkk (perkara 46/PUU-X/2012). Persidangan dengan agenda pemeriksaan pendahuluan ini dilaksanakan oleh Panel Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar (Ketua Panel), Hamdan Zoelva dan Maria Farida Indrati.

Pada 31 Maret 2012 lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyetujui Rancangan Perubahan UU APBN Tahun 2012 yang diajukan oleh Pemerintah, menjadi UU APBN Tahun 2012. Dengan diberlakukannya UU tersebut, terdapat tambahan pasal dan ayat, khususnya Pasal 7 ayat (6) huruf a yang menyatakan: “Dalam hal harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude oil Price/ICP) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15% (limabelas perseratus) dari ICP yang diasumsikan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012, Pemerintah dapat melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya”.

Sejak awal pengajuan Rancangan Perubahan UU APBN 2012 pada akhir Februari 2012 hingga pembahasan RUU di DPR, telah muncul penolakan keras dari masyarakat buruh, mahasiswa, tani, nelayan, sopir, politisi, pengusaha, LSM, hingga ibu-ibu rumah tangga. Mereka beranggapan, kenaikan harga jual BBM kepada rakyat, berakibat naiknya harga berbagai kebutuhan, baik sebelum maupun sesudah kenaikan harga jual BBM kepada rakyat. “Menurut kami, banyak kesalahannya dari segi istilah maupun substansinya. Sudah banyak yang mengajukan keberatan, baik dari publik, masyarakat umum, maupun dari fraksi-fraksi di DPR,” kata Andi M. Asrun.


Perspektif Filosofis Sosiologis, dan Yuridis

Pengujian konstitusionalitas Pasal 7 ayat (6) huruf a UU APBN-P Tahun 2012, lanjut Asrun, secara formal dilatarbelakangi alasan bahwa penyusunan pasal tersebut bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Asrun mengutip pendapat Yusril Ihza Mahendra yang mengatakan, asas-asas hukum dan asas-asa pembuatan peraturan perundang-undangan yang baik, merupakan conditio sine quanon bagi berhasilnya suatu peraturan perundang-undangan yang dapat diterima dan berlaku di seluruh masyarakat Indonesia, karena telah mendapat dukungan landasan filosofis, yuridis, dan sosilogis.

Dari Sudut filosofis, pembentukan peraturan perundang-undangan seharusnya ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat. Reaksi penolakan yang datang dari berbagai elemen masyarakat terhadap Pasal 7 ayat (6) huruf a UU APBN-P Tahun 2012 merupakan indikasi hal tersebut tidak memenuhi syarat filosofis pembentukan peraturan perundang-undangan.

Dari sudut sosiologis, peraturan perundang-undangan yang dibentuk haruslah diterima oleh masyarakat. Tetapi bercermin dari protes yang dilancarkan secara masif oleh berbagai elemen masyarakat, menjadi inkasi kuat pasal dalam UU tersebut tidak diterima masyarakat.

“Bercermin dari sudut sosiologis dan filosofis Pasal 7 ayat (6) huruf a Undang-Undang APBN-P Tahun 2012, dari perspektif sosilogis tidak dapat diterapkan oleh pemerintah,” dalil Asrun.

Kemudian, dari pengujian formil, ketentuan Pasal 7 ayat (6) huruf a UU APBN-P 2012 telah melanggar putusan Mahkamah Konstitusi. MK dalam putusan Nomor 2/PUU-I/2003 membatalkan ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945, akibat menyerahkan harga minyak untuk ditentukan oleh mekanisme pasar bebas.

“Pasal 7 ayat (6) huruf a UU APBN-P Tahun 2012, secara materiil bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), Pasal 23 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945,” tandas Asrun. (Nur Rosihin Ana)

Jumat, 25 Mei 2012

Mendambakan Keadilan Substantif dalam Uji Materi UU Tipikor

Pengujian Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang diajukan oleh Herlina Koibur, kembali disidangkan di Mahkamah Konstitusi (MK), Jum’at (25/5/2012) pagi. Persidangan perkara 39/PUU-X/2012 mengenai pengujian UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) Pasal 2 ayat (1), beragendakan Perbaikan Permohonan.

Habel Rumbiak, selaku kuasa hukum Pemohon menyampaikan perbaikan permohonan di hadapan Panel Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati (Ketua Panel), Ahmad Fadlil Sumadi dan Anwar Usman. Habel menegaskan bahwa permohonan yang diajukan kliennya berbeda dengan uji materi UU Tipikor yang pernah diajukan ke MK oleh Dawud Djatmiko, yaitu perkara Nomor 003/PUU-IV/2006 yang diputus oleh MK pada 25 Juli 2006 dengan amar putusan “Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian”. “Permohonan uji materiil yang kami ajukan kali ini terhadap frasa ‘pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun’, berbeda dengan permohonan uji materiil yang pernah diajukan sebelumnya,” kata Habel.

Perbedaannya, lanjut Habel, adalah bahwa pada permohonan sebelumnya, Pemohon Dawud Djatmiko mempersoalkan tentang kata "dapat" sebelum frasa "merugikan keuangan atau perekonomian negara" pada rumusan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor. “Sedangkan permohonan uji materiil kami kali ini adalah berkenan dengan rumusan limitatif atau ketentuan minimal pidana penjara, sebagaimana dimaksud pada frasa ‘pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun’ pada Pasal 2 ayat (1), tanpa mempersoalkan apakah telah atau apakah tidak merugikan keuangan negara,” lanjutnya.

Perubahan permohonan lainnya yaitu uraian mengenai frasa ‘pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun’ yang diberlakukan secara merata. Hal ini mengandung makna seolah-olah rumusan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menganut prinsip keadilan distributif tanpa mempertimbangkan kualitas dan proporsi perbuatan seseorang dalam suatu tindak pidana. Itulah sebabnya yang kami tonjolkan di sini adalah bahwa keadilan yang kami mohonkan adalah keadilan yang sifatnya substantif, bukan distributif,” papar Habel.

Kemudian, perubahan pada tuntutan permohonan (petitum). Menurut Habel, frasa “pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun” dalam rumusan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. “Oleh karena itu, kami mohon kepada Mahkamah agar menerima permohonan ini dan menyatakan bahwa frasa ‘pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun’ pada rumusan Pasal 2 undang-undang tindak pidana korupsi ini tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat,” pinta Habel.

Untuk diketahui, Herlina Koibur adalah terpidana tindak pidana korupsi dengan ancaman penjara 4 tahun dan denda sebesar 200 juta rupiah. Apabila denda tersebut tidak dibayar, akan diganti dengan pidana kurungan selama 2 bulan. Herlina divonis Pengadilan Negeri Biak dengan hukuman tersebut, berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor yang menyatakan: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Selanjutnya, Herlina mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi Jayapura. Herlina dijatuhi hukuman lebih ringan yaitu pidana penjara 2 tahun dan denda sebesar 200 juta. Alasan ancaman pidana 2 tahun lebih ringan dikarenakan Herlina telah ditunjuk oleh Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Supiori sebagai pelaksana kegiatan pengembangan produksi perikanan, pengembangan budidaya teripang, pelatihan pengolahan teripang dan peningkatan sumber daya nelayan. Namun dalam perjalanan pelaksanaan pekerjaan ini, Herlina tidak dilibatkan secara langsung. Sedangkan uang 3 juta yang diterima Herlina dari terdakwa lain, merupakan fee setelah pekerjaan pengadaan speedboad selesai dilaksanakan. (Nur Rosihin Ana)

Jumat, 11 Mei 2012

Hukuman Tak Proporsional, Terpidana Korupsi Ujikan UU Tipikor

Seseorang yang terbukti berperan aktif melakukan suatu tindak pidana korupsi, wajib hukumnya untuk dihukum minimal 4 tahun penjara. Sedangkan bagi seseorang yang terbukti melakukan suatu tindak pidana, tetapi kualitas perbuatan dia tidak dalam posisi berperan aktif, maka tidak selayaknya dia dijatuhi pidana 4 tahun penjara.

“Setidaknya tidak dijatuhkan pidana 4 tahun, tetapi di bawah 4 tahun,” kata kuasa hukum Pemohon, Habel Rumbiak, di persidangan Mahkamah Konstitusi (MK), Jum’at (11/5/2012) pagi. Sidang perkara 39/PUU-X/2012 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UUU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) Pasal 2 ayat (1), diajukan oleh Herlina Koibur.

Herlina Koibur merupakan terpidana tindak pidana korupsi dengan ancaman penjara 4 tahun dan denda sebesar 200 juta rupiah. Apabila denda tersebut tidak dibayar, akan diganti dengan pidana kurungan selama 2 bulan. Herlina divonis Pengadilan Negeri Biak dengan hukuman tersebut, berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor yang menyatakan: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Selanjutnya, Herlina mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi Jayapura. Herlina dijatuhi hukuman lebih ringan yaitu diancam dengan pidana penjara 2 tahun dan denda sebesar 200 juta, dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan. Alasan ancaman pidana 2 tahun lebih ringan dikarenakan Herlina telah ditunjuk oleh Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Supiori sebagai pelaksana kegiatan pengembangan produksi perikanan, pengembangan budidaya teripang, pelatihan pengolahan teripang dan peningkatan sumber daya nelayan. Namun dalam perjalanan pelaksanaan pekerjaan ini, Herlina tidak dilibatkan secara langsung. Sedangkan uang 3 juta yang diterima Herlina dari terdakwa lain, merupakan fee setelah pekerjaan pengadaan speedboad selesai dilaksanakan.

Menurut Habel Rumbiak, kuasa hukum Herlina, ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor yang dijatuhkan kepada Herlina tidak proporsional dengan proporsi peran Herlina dalam perkara tindak pidana korupsi ini. Herlina tidak keberatan menjalani selama hukuman yang diterima proporsional dengan peran atau perbuatan yang dilakukannya. Herlina berharap mendapatkan keadilan yang substanstif. Artinya, sekalipun Pemohon memang harus dihukum, setidak-tidaknya dihukum dengan proporsi hukum yang adil,” kata Habel Rumbiak mendalilkan.

Melalui Habel Rumbiak, Herlina meminta kepada Mahkamah (petitum) mengabulkan permohonan. Menyatakan frasa “pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun” pada Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor adalah konstitusional bersyarat (conditionally constitutional). Artinya konstitutional sepanjang dilaksanakan sebagai berikut: a. Bagi seseorang yang didakwa dan terbukti secara aktif melakukan tindak pidana yang dituduhkan dengan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, layak dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun penjara; b. Bagi seseorang yang didakwa dan terbukti secara aktif melakukan tindak pidana yang dituduhkan dengan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, dapat dipidana penjara di bawah 4 tahun.

Sidang uji materi UU Tipikor ini dilaksanakan oleh Panel Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva (Ketua Panel), Ahmad Fadlil Sumadi, dan Anwar Usman. Hamdan Zoelva menyarankan Pemohon membaca permohonan dan putusan uji materi UU Tipikor yang pernah diajukan ke MK. “Sehingga Saudara bisa memperoleh  gambaran apa saja yang sudah pernah diuji, lalu bagaimana putusan Mahkamah,” nasihat Hamdan.

Selain itu, lanjut Hamdan, menurut ketentuan dalam Pasal 60 UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MAHKAMAH KONSTITUSI dinyatakan, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. “Kecuali ada argumentasi-argumentasi yang secara konstitusional dapat dikategorikan lain dari batu uji yang pernah dipergunakan,” lanjut hamdan menasihati.

Anggota Panel Hakim Konstitusi Anwar Usman menyarankan Pemohon lebih mengelaborasi kerugian konstitusional akibat berlakunya pasal yang diujikan, dan bukan karena adanya putusan Mahkamah Agung. “Yang saya baca, Pemohon lebih menekankan pada putusan Mahkamah Agung yang merugikan Pemohon,” nasihat Anwar Usman. (Nur Rosihin Ana).

Kamis, 10 Mei 2012

Dilarang Praktik, Tukang Gigi Ujikan UU Praktik Kedokteran



Catatan Perkara MK

Profesi tukang gigi merupakan bagian dari budaya bangsa yang harus dilestarikan eksistensinya. Profesi ini dilakoni secara tradisional yang berlangsung turun-temurun dan telah ada sebelum Republiki Indonesia lahir. Keberadaan tukang gigi lebih dulu ada dibandingkan profesi dokter gigi. Oleh karena itu, negara wajib memelihara, melestarikan suatu identitas budaya dan harus menghormati hak masyarakat tradisional sebagai khazanah budaya bangsa.

Pelarangan terhadap profesi tukang gigi merupakan upaya sistematis memberangus khazanah kebudayaan bangsa. Selain itu, pelarangan terhadap tukang gigi untuk menjalankan profesinya merupakan bentuk ketidakadilan dan perlakuan yang diskriminatif di hadapan hukum. Pelarangan ini hanyalah akal-akalan semata dengan dalih atas nama kesehatan. Padahal sesungguhnya yang terjadi adalah perebutan dan perampasan mengais rejeki semata.

Demikian antara lain dalil permohonan pengujian (judicial review) ketentuan Pasal 73 ayat (2) dan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) terhadap UUD 1945. Permohonan diajukan oleh H. Hamdani Prayogo.

Pasal 73 ayat (2) UU Praktik Kedokteran menyatakan: “Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik.” Kemudian Pasal 78 menyatakan: “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).”

Pemohon melalui kuasa hukumnya, M. Sholeh Amin, A. Wirawan Adnan, AH. Wakil Kamal, IiM Abdul Halim, Rinny Ariany, Nirsam MN Makarau, menyatakan ketentuan Pasal 73 ayat (2) dan Pasal 78 UU Praktik Kedokteran tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28I ayat (1), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945. Akibat berlakunya ketentuan Pasal7 3 ayat (1) dan Pasal 78 UU Praktik Kedokteran tersebut, Pemohon telah tidak mendapatkan ketidakpastian hukum yang adil dan tidak mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Sebab, norma yang terkandung dalam Pasal 73 ayat (2) dan Pasal 78 UU Praktik Kedokteran tersebut bersifat multitafsir dan sangat luas, sehingga jika ada bidang pekerjaan yang bersentuhan atau ada kemiripan dengan pekerjaan dokter atau dokter gigi, dianggap telah melakukan praktik kedokteran.

Ancaman Pidana dan Denda

Frasa “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain,” bisa diartikan sama, identik atau mirip dengan pekerjaan tukang gigi, tukang urut patah tulang, keterampilan tukang pembuat kaki palsu, pekerja optik (menggunakan alat untuk mengetahui plus atau minusnya mata), penjual jamu, dukun beranak, dan lain sebagainya. Semuanya profesi tersebut dilarang karena dianggap menggunakan alat atau metode atau cara lain yang dapat diartikan menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan dokter. Terlebih lagi, larangan tersebut disertai ancaman pidana penjara yang sangat berat, yaitu paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 150.000.000. Sementara rumusan norma perbuatan pidana tersebut tidak jelas dan tegas, sehingga tidak sesuai prinsip lex certa yang menjadi asas hukum pidana serta tidak memberikan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin konstitusi.
 
Akibat berlakunya Pasal 73 ayat (1) dan Pasal 78 UU Praktik Kedokteran yang bersifat multitafsir tersebut, Pemerintah RI melalui Menteri Kesehatan RI mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) RI Nomor 1871/MENKES/PER/IX/2011 Tahun 2011 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/MENKES/PER/IV/1989 tentang Pekerjaan Tukang Gigi. Pasal 2 ayat (1) Permenkes Nomor 1871 menyatakan: “(1) Tukang gigi yang telah melaksanakan pekerjaannya berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/MENKES/PER/V/1989 Tentang Pekerjaan Tukang Gigi masih dapat menjalankan pekerjaannya sebagai Tukang Gigi sampai berlakunya Peraturan ini dan/atau habis masa berlaku izin yang bersangkutan, dan tidak dapat diperpanjang kembali. (2) Kewenangan pekerjaan Tukang Gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. membuat sebagian/seluruh gigi tiruan lepasan dari akrilik; dan b. memasang gigi tiruan lepasan.”

Keluarnya Permenkes tersebut merujuk kepada UU Praktik Kedokteran yang mengandung ketidakpastian hukum yang adil karena mengandung banyak tafsir. Sehingga secara sepihak Pemerintah RI melalui Menkes menafsirkannya secara keliru yaitu membuat larangan kepada para tukang gigi untuk tidak menjalankan pekerjaannya lagi, tanpa memperhatikan hak-hak tukang gigi yang sekarang berjumlah kurang lebih 75.000 sebagai warga negara yang semestinya dilindungi oleh Negara sebagaimana termuat dalam Pasal 28D ayat ( 2) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

Berlakunya ketentuan Pasal 73 ayat (2) dan Pasal 78 UU Praktik Kedokteran mengakibatkan Para Pemohon dan kurang lebih 75.000 tukang gigi kehilangan pekerjaan karena dianggap telah melakukan pekerjaan yang sama dengan praktek kedokteran. Ketika para Pemohon tetap melaksanakan pekerjaannya maka diancam dengan ancaman Pidana Penjara dan/atau denda.

Oleh karena itu, dalam petitum para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 73 ayat (2) dan Pasal 78 UU Praktik Kedokteran bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Atau menyatakan Pasal 73 ayat (2) dan Pasal 78 UU Praktik Kedokteran bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional), kecuali sepanjang dimaknai alat, metode atau cara lain tersebut yang bersifat tradisional, atau diakui secara turun temurun, dan atau telah lazim diterima secara umum, maka dapat dilakukan oleh orang yang memiliki keahlian tertentu selain dokter dan dokter gigi, seperti tukang gigi, tukang urut patah tulang dan semacamnya.

Nur Rosihin Ana 

Jumat, 04 Mei 2012

“Ne Bis in Idem”, Mahkamah Putuskan Tidak Menerima Uji Materi UU Pengadilan Pajak

Materi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak) yang diujikan Agus Subagio ke Mahkamah Konstitusi (MK), ternyata telah dua kali diputus oleh Mahkamah, yaitu pada Desember 2004 dan Oktober 2006. Alasan dan dasar dalam permohonan yang telah diputus Mahkamah tersebut, adalah sama dengan permohonan Agus Subagio. Oleh karena itu, Mahkamah menyatakan permohonan Agus tidak dapat diterima.

Amar putusan, mengadili, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD saat membacakan putusan Nomor 23/PUU-X/2012 dalam persidangan yang digelar di Mahkamah Konstitusi pada Jum’at (4/5/2012) pagi.

Agus Subagio dalam pokok permohonannya mengujikan konstitusionalitas Pasal 36 ayat (4) UU Pengadilan Pajak yang menyatakan: “Selain dari persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) serta Pasal 35, dalam hal Banding diajukan terhadap besarnya jumlah Pajak yang terutang, Banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50% (lima puluh persen).” Menurut Agus, ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.

Agus yang berprofesi sebagai konsultan pajak dan kuasa hukum untuk beracara di pengadilan pajak, merasa dirugikan oleh Pasal 36 ayat (4) UU 14/2002. Sebab hak Agus untuk mengajukan banding terhadap jumlah pajak terutang dihalangi oleh adanya kewajiban untuk terlebih dahulu membayar 50% dari jumlah pajak terutang. Padahal banding yang diajukan Pemohon justru terhadap besaran (jumlah) pajak terutang tersebut.

Mahkamah dalam pendapatnya menyatakan, Pasal 36 ayat (4) UU Pengadilan Pajak pernah dimohonkan pengujian dan telah diputus oleh Mahkamah, yaitu dalam Putusan Nomor 004/PUU-II/2004 bertanggal 13 Desember 2004 yang amarnya “Menyatakan permohonan Pemohon ditolak”, dan Putusan Nomor 011/PUU-IV/2006 bertanggal 4 Oktober 2006 yang amarnya “Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard)”. Menurut Mahkamah, alasan dan dasar kedua permohonan tersebut adalah sama dengan permohonan Agus Subagio.

Ketentuan Pasal 60 ayat (1) UU MK menyatakan, “Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali,” dan Pasal 60 ayat (2) UU MK menyatakan, “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda”. Oleh karena itu, menurut Mahkamah permohonan Agus Subagio ne bis in idem. (Nur Rosihin Ana)

Rabu, 02 Mei 2012

Program RSBI Kebohongan Publik

Penyelenggaraan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) atau sekolah bertaraf internasional (SBI) dilandasi oleh undang-undang yang tidak berpihak kepada keadilan dalam perolehan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang merata. Persiapan RSBI yang kurang cermat mengakibatkan evaluasi dan perbaikan penyelenggaraan RSBI menjadi sporadis, tidak holistik, dan cenderung membuat sekolah menerjemahkan kata internasional dengan bahasa Inggris dan keterampilan-keterampilan ekstrakulikuler lainnya. “Dilihat dari praktek pelaksanaan proses penyelenggaraan program RSBI, maka muncul persepsi bahwa program ini merupakan kebohongan publik.”

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Itje Chodidjah saat bertindak sebagai ahli Pemohon dalam persidangan yang digelar di Mahkamah Konstitusi, Rabu (2/5/2012) siang, bertepatan dengan peringatan hari pendidikan nasional (Hardiknas). Sidang kali ketujuh untuk perkara 5/PUU-X/2012 mengenai uji materi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), dimohonkan oleh Andi Akbar Fitriyadi, Nadya Masykuria, Milang Tauhida, Jumono, Lodewijk F. Paat, Bambang Wisudo dan Febri Hendri Antoni Arif. Para Pemohon yang terdiri dari orangtua murid, dosen, aktivis pendidikan serta aktivis ICW, merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya atas berlakunya ketentuan Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas. Menurut mereka, Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas yang menyatakan: “Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional,” bertentangan dengan Pembukaan, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 31 ayat (1), Pasal 31 ayat (2), Pasal 31 ayat (3) dan Pasal 36 UUD 1945.

Lebih lanjut dalam simpulannya, Itje menyatakan, masyarakat yang memercayakan pendidikan anaknya kepada sekolah RSBI, sebagian besar hanya mengerti bahwa RSBI membedakan anak-anak mereka dari kelompok anak-anak lainnya yang tergolong kurang cerdas, tanpa mengritisi proses pembinaan berbagai aspek kecerdasannya. “Yang banyak dituntut orang tua saat ini adalah transparansi sistem keuangan, bukan sistem pendidikannya,” kata Itje Chodidjah mempertanyakan pengelolaan keuangan RSBI.

Pendaftaran Gratis

Kepala SDN RSBI Menteng 01, Jakarta Pusat, Ahmad Solikhin, dalam kapasitasnya sebagai saksi dari Pemerintah, memaparkan proses pendaftaran peserta didik baru di SDN RSBI Menteng 01 yang dilaksanakan berdasarkan Keputusan Kepala Dinas Provinsi DKI Jakarta. Proses penerimaan peserta didik baru (PPDB) dilakukan secara online melalui website PPDB Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta. “Sehingga kesempatan untuk melakukan pendaftaran terbuka bagi seluruh masyarakat yang ingin mendaftarkan putera-puterinya di SDN RSBI Menteng 01,” terang Solikhin.

Proses PPDB, lanjutnya, pihak sekolah tidak melakukan pemungutan biaya pendaftaran alias gratis, karena semua pendaftaran dilakukan secara online. Solikhin juga menegaskan bahwa hasil seleksi PPDB sama sekali tidak ada keterkaitannya dengan masalah sumbangan peserta didik baru atau hal apapun mengenai keuangan. “Jadi, kalau ada yang mengatakan bahwa pendaftaran peserta didik baru dipungut biaya, itu adalah sebuah kebohongan besar karena proses ini selalu dipantau terus oleh Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta dan bersifat online,” terangnya.

Solikhin juga menepis dalil Pemohon yang menyatakan RSBI tidak nasionalis. Berdasarkan pengalamannya mengelola RSBI, Solikhin mengungkapkan, kurikulum yang digunakannya adalah kurikulum standar yang diperkaya dengan kurikulum yang diperlukan oleh negara-negara maju di bidang pendidikan dengan cara mengadopsi dan mengadaptasi kurikulum tersebut. “Nilai-nilai yang dijadikan dasar untuk semua mata pelajaran pun sama, yaitu berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” tandas Solikhin.

Kepala SMPN 1 Kota Magelang, Jawa Tengah, Popo Riyadi, dalam kesaksiannya menyatakan, keberadaan RSBI di SMPN 1 Kota Magelang, memberikan semangat kepada masyarakat Magelang dan para peserta didik untuk lebih berprestasi, baik itu di bidang akademik maupun nonakademik. “Dengan adanya RSBI ini, kualitas sekolahnya semakin meningkat karena kualitas para pendidik, tenaga kependidikan, orang tua serta peserta didik menjadi lebih baik dan lebih terpacu untuk memajukan sekolah,” terangnya. (Nur Rosihin Ana)

Selasa, 01 Mei 2012

Usia Pensiun Panitera MK dalam UU MK Kembali Disidangkan

Mahkamah Konstitusi kembali menyidangkan uji materi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) yang diajukan oleh Andi Muhammad Asrun, M. Jodi Santoso, Nurul Anifah, Selasa (1/5/2012). Sidang dengan agenda perbaikan permohonan untuk perkara nomor 34/PUU-X/2012, dilaksanakan oleh panel hakim konstitusi Achmad Sodiki (ketua panel), M. Akil Mochtar dan Muhammad Alim.

Andi Muhammad Asrun dkk mengujikan ketentuan Pasal 7A ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan “Kepaniteraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 merupakan jabatan fungsional yang menjalankan tugas teknis administratif peradilan Mahkamah Konstitusi”. Menurut para Pemohon, adanya perbedaan jabatan, batasan usia pensiun bagi Panitera dan Panitera Pengganti di peradilan umum, pengadilan agama, PTUN dengan Mahkamah Konstitusi menimbulkan ketidakpastian hukum yang dialami Pemohon. UU MK sama sekali tidak menyebutkan batasan usia pensiun panitera dan panitera pengganti. Oleh karena itu menurut Asrun, batasan usia pensiun bagi panitera pengganti dan panitera MK juga harus diatur dalam UU MK, sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi pemohon.

Di hadapan panel hakim konstitusi, Andi Muhammad Asrun yang selama ini sering menghiasi persidangan MK dalam kapasitasnya sebagai kuasa hukum, menyampaikan perbaikan permohonan. Menanggapi perbaikan permohonan, hakim konstitusi Muhammad Alim menasihati Asrun dkk mengenai batasan usia panitera di Mahkamah Agung (MA) dan pengadilan tinggi. “Di Mahkamah Agung, Panitera adalah hakim tinggi sehingga dia 67 tahun, kalau pengadilan tinggi memang tidak sederajat dengan Mahkamah Konstitusi, tapi di situ 65 tahun dia kalau panitera pengadilan tinggi,” kata Alim.

Sedangkan di MK, lanjut Alim, panitera bukan hakim, tetapi pegawai kepaniteraan. “Di sini (MK) dalam hal ini Saudara Kasianur (Panitera MK) itu bukan hakim, dia pegawai Kepaniteraan,” terang Alim.

Mendengar nasihat hakim konstitusi Muhammad Alim, Asrun menunjukkan perbaikan permohonan secara langsung (renvoi) mengenai batasan usia untuk panitera dan panitera pengganti. “Saya renvoi sekarang, Pak. Jadi 65 tahun untuk panitera dan 62 tahun untuk panitera pengganti,” kata Asrun.

Sebelum mengakhiri persidangan, panel hakim konstitusi mengesahkan bukti. Asrun dkk. mengajukan bukti P-1 sampai P-12. (Nur Rosihin Ana)

PP Muhammadiyah Perbaiki Permohonan Uji UU Migas

Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) Pasal 1 angka 19 dan 23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6 Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat (2), Pasal 13 dan Pasal 44, kembali digelar di Mahkamah Konstitusi, Selasa (1/5/2012). Persidangan perkara 36/PUU-X/2012 ini beragendakan perbaikan permohonan.

Syaiful Bakhri dari Tim Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah yang bertindak selaku kuasa hukum para Pemohon, menyampaikan perbaikan permohonan antara lain, perubahan komposisi Pemohon dan kuasa hukum. Eggi Sudjana yang semula bertindak sebagai Pemohon berpindah sebagai kuasa hukum. “Dr. Egi Sujana, semula sebagai Pemohon, tetapi beliau berkenan pada hari ini mohon izin kepada Majelis sebagai sebagai kuasa,” kata Syaiful Bakhri.

Menanggapi perbaikan permohonan, panel hakim konstitusi, menyarankan para Pemohon agar menyempurnakan perbaikan permohonan, karena ada beberapa orang Pemohon dan kuasa hukum belum membubuhkan tanda-tangan. Selanjutnya menyarankan para Pemohon agar segera mempersiapkan saksi, ahli, bukti tertulis, untuk memperkuat dalil permohonan.

Sebelum mengakhiri persidangan, panel hakim konstitusi yang diketuai Achmad Sodiki mengesahkan alat bukti. Pemohon mengajukan bukti P-1 sampai P-72.

Sebagaimana diketahui, pada Kamis (29/3/2012) lalu, Pimpinan Pusat Muhammadiyah bersama sejumlah organisasi massa (ormas) dan tokoh nasional, mengajukan permohonan uji materi UU Migas ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ormas-ormas dimaksud yaitu: Lajnah Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia, Pimpinan Pusat Persatuan Ummat Islam, Pimpinan Pusat Syarikat Islam Indonesia, Pimpinan Pusat/Lajnah Tanfidziyah Syarikat Islam, Pimpinan Pusat Persaudaraan Muslimin Indonesia, Pimpinan Pusat Al-Irsyad Al-Islamiyah, Pimpinan Besar Pemuda Muslimin Indonesia, Al Jami’yatul Washliyah, dan Solidaritas Juru Parkir, Pedagang Kaki Lima, Pengusaha, dan Karyawan (SOJUPEK).

Sedangkan Pemohon perorangan yaitu: K.H. Achmad Hasyim Muzadi, H. Amidhan, Komaruddin Hidayat, Eggi Sudjana, Marwan Batubara, Fahmi Idris, Moch. Iqbal Sullam, H. Ichwan Sam, H. Salahuddin Wahid, Nirmala Chandra Dewi M, HM. Ali Karim OEI, Adhi Massardi, Ali Mochtar Ngabalin, Hendri Yosodiningrat, Laode Ida, Sruni Handayani, Juniwati T. Masgehun S, Nuraiman, Sultana Saleh, Marlis, Fauziah Silvia Thalib, King Faisal Sulaiman, Soerasa, BA, Mohammad Hatta, M. Sabil Raun, Edy Kuscahyanto, Yudha Ilham, Joko Wahono, Dwi Saputro Nugroho, A.M Fatwa, Hj. Elly Zanibar Madjid, dan Jamilah.

Menanggapi permohonan tersebut, Mahkamah telah menggelar sidang panel pada Selasa, (17/4/2012) dengan agenda pemeriksaan pendahuluan. Pada sidang pemeriksaan pendahuluan, Syaiful Bakhri, kuasa hukum para Pemohon menyatakan UU Migas telah merendahkan martabat negara dan melecehkan kedaulatan rakyat sebagaimana diamanahkan oleh Konstitusi. Sebab dalam UU Migas, posisi negara setara dengan perusahaan asing dalam kontrak pengelolaan migas di Indonesia. (Nur Rosihin Ana)

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More