Kamis, 10 Mei 2012

Dilarang Praktik, Tukang Gigi Ujikan UU Praktik Kedokteran



Catatan Perkara MK

Profesi tukang gigi merupakan bagian dari budaya bangsa yang harus dilestarikan eksistensinya. Profesi ini dilakoni secara tradisional yang berlangsung turun-temurun dan telah ada sebelum Republiki Indonesia lahir. Keberadaan tukang gigi lebih dulu ada dibandingkan profesi dokter gigi. Oleh karena itu, negara wajib memelihara, melestarikan suatu identitas budaya dan harus menghormati hak masyarakat tradisional sebagai khazanah budaya bangsa.

Pelarangan terhadap profesi tukang gigi merupakan upaya sistematis memberangus khazanah kebudayaan bangsa. Selain itu, pelarangan terhadap tukang gigi untuk menjalankan profesinya merupakan bentuk ketidakadilan dan perlakuan yang diskriminatif di hadapan hukum. Pelarangan ini hanyalah akal-akalan semata dengan dalih atas nama kesehatan. Padahal sesungguhnya yang terjadi adalah perebutan dan perampasan mengais rejeki semata.

Demikian antara lain dalil permohonan pengujian (judicial review) ketentuan Pasal 73 ayat (2) dan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) terhadap UUD 1945. Permohonan diajukan oleh H. Hamdani Prayogo.

Pasal 73 ayat (2) UU Praktik Kedokteran menyatakan: “Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik.” Kemudian Pasal 78 menyatakan: “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).”

Pemohon melalui kuasa hukumnya, M. Sholeh Amin, A. Wirawan Adnan, AH. Wakil Kamal, IiM Abdul Halim, Rinny Ariany, Nirsam MN Makarau, menyatakan ketentuan Pasal 73 ayat (2) dan Pasal 78 UU Praktik Kedokteran tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28I ayat (1), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945. Akibat berlakunya ketentuan Pasal7 3 ayat (1) dan Pasal 78 UU Praktik Kedokteran tersebut, Pemohon telah tidak mendapatkan ketidakpastian hukum yang adil dan tidak mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Sebab, norma yang terkandung dalam Pasal 73 ayat (2) dan Pasal 78 UU Praktik Kedokteran tersebut bersifat multitafsir dan sangat luas, sehingga jika ada bidang pekerjaan yang bersentuhan atau ada kemiripan dengan pekerjaan dokter atau dokter gigi, dianggap telah melakukan praktik kedokteran.

Ancaman Pidana dan Denda

Frasa “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain,” bisa diartikan sama, identik atau mirip dengan pekerjaan tukang gigi, tukang urut patah tulang, keterampilan tukang pembuat kaki palsu, pekerja optik (menggunakan alat untuk mengetahui plus atau minusnya mata), penjual jamu, dukun beranak, dan lain sebagainya. Semuanya profesi tersebut dilarang karena dianggap menggunakan alat atau metode atau cara lain yang dapat diartikan menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan dokter. Terlebih lagi, larangan tersebut disertai ancaman pidana penjara yang sangat berat, yaitu paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 150.000.000. Sementara rumusan norma perbuatan pidana tersebut tidak jelas dan tegas, sehingga tidak sesuai prinsip lex certa yang menjadi asas hukum pidana serta tidak memberikan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin konstitusi.
 
Akibat berlakunya Pasal 73 ayat (1) dan Pasal 78 UU Praktik Kedokteran yang bersifat multitafsir tersebut, Pemerintah RI melalui Menteri Kesehatan RI mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) RI Nomor 1871/MENKES/PER/IX/2011 Tahun 2011 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/MENKES/PER/IV/1989 tentang Pekerjaan Tukang Gigi. Pasal 2 ayat (1) Permenkes Nomor 1871 menyatakan: “(1) Tukang gigi yang telah melaksanakan pekerjaannya berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/MENKES/PER/V/1989 Tentang Pekerjaan Tukang Gigi masih dapat menjalankan pekerjaannya sebagai Tukang Gigi sampai berlakunya Peraturan ini dan/atau habis masa berlaku izin yang bersangkutan, dan tidak dapat diperpanjang kembali. (2) Kewenangan pekerjaan Tukang Gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. membuat sebagian/seluruh gigi tiruan lepasan dari akrilik; dan b. memasang gigi tiruan lepasan.”

Keluarnya Permenkes tersebut merujuk kepada UU Praktik Kedokteran yang mengandung ketidakpastian hukum yang adil karena mengandung banyak tafsir. Sehingga secara sepihak Pemerintah RI melalui Menkes menafsirkannya secara keliru yaitu membuat larangan kepada para tukang gigi untuk tidak menjalankan pekerjaannya lagi, tanpa memperhatikan hak-hak tukang gigi yang sekarang berjumlah kurang lebih 75.000 sebagai warga negara yang semestinya dilindungi oleh Negara sebagaimana termuat dalam Pasal 28D ayat ( 2) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

Berlakunya ketentuan Pasal 73 ayat (2) dan Pasal 78 UU Praktik Kedokteran mengakibatkan Para Pemohon dan kurang lebih 75.000 tukang gigi kehilangan pekerjaan karena dianggap telah melakukan pekerjaan yang sama dengan praktek kedokteran. Ketika para Pemohon tetap melaksanakan pekerjaannya maka diancam dengan ancaman Pidana Penjara dan/atau denda.

Oleh karena itu, dalam petitum para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 73 ayat (2) dan Pasal 78 UU Praktik Kedokteran bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Atau menyatakan Pasal 73 ayat (2) dan Pasal 78 UU Praktik Kedokteran bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional), kecuali sepanjang dimaknai alat, metode atau cara lain tersebut yang bersifat tradisional, atau diakui secara turun temurun, dan atau telah lazim diterima secara umum, maka dapat dilakukan oleh orang yang memiliki keahlian tertentu selain dokter dan dokter gigi, seperti tukang gigi, tukang urut patah tulang dan semacamnya.

Nur Rosihin Ana 

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More