Senin, 02 Juli 2012

Proses Pemeriksaan Uji Materi UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara Berakhir

Agenda sidang uji materi UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang digelar di Mahkamah Konstitusi pada Selasa (03/07/2012), yakni mendengarkan keterangan saksi/ahli dari Pemohon dan Pemerintah. Namun, hingga persidangan dibuka pukul 11.00 WIB, baik Pemohon maupun Pemerintah tidak bisa menghadirkan saksi/ahli yang akan memberikan keterangan untuk memperkuat argumentasi masing-masing.
Syahdan, pleno Hakim Konstitusi yang terdiri Achmad Sodiki (Ketua Pleno), M. Akil Mochtar, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Hamdan Zoelva dan Anwar Usman, memberikan kesempatan kepada para pihak untuk membuat kesimpulan akhir selambat-lambatnya pada 10 Juli 2012.Majelis memberi kesempatan kepada Pemohon dan Pemerintah untuk membuat kesimpulan sampai hari Selasa, tanggal 10 Juli Tahun 2012 jam 16.00 WIB,” kata Achmad Sodiki.
Untuk diketahui, persidangan kali keempat untuk perkara yang diregistrasi Kepaniteraan MK dengan nomor 41/PUU-X/2012, ini diajukan oleh Muhammad Fhatoni, Akmal Fuadi, dan Denni. Ketiganya mengujikan ketentuan Pasal 8 huruf d UU Keuangan Negara, serta Pasal 7 ayat (2) huruf j dan Pasal 38 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara.
UU Keuangan Negara Pasal 8 huruf d menyatakan: “Dalam rangka pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal, Menteri Keuangan mempunyai tugas sebagai berikut : d. melakukan perjanjian internasional di bidang keuangan.”
UU Perbendaharaan Negara Pasal 7 ayat (2) huruf j menyatakan: (2) “Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara berwenang: j. melakukan pinjaman dan memberikan jaminan atas nama pemerintah.”
UU Perbendaharaan Pasal 38 menyatakan: “(1) Menteri Keuangan dapat menunjuk pejabat yang diberi kuasa atas nama Menteri Keuangan untuk mengadakan utang Negara atau menerima hibah yang berasal dari dalam negeri ataupun dari luar negeri sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam undang-undang APBN; (2) Utang/hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diterus pinjamkan kepada Pemerintah Daerah/BUMN/BUMD; (3) Biaya berkenaan dengan proses pengadaan utang atau hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibebankan pada Anggaran Belanja Negara; (4) Tata cara pengadaan utang dan/atau penerimaan hibah baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri serta penerusan utang atau hibah luar negeri kepada Pemerintah Daerah/BUMN/BUMD, diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
Para Pemohon mendalilkan, berlakunya ketentuan dalam materi kedua UU yang diujikan tersebut, berdampak pada peningkatan utang negara. Hal ini terjadi karena Menteri Keuangan (Menkeu) dan pejabat yang mendapat kuasa dari Menkeu Keuangan begitu mudahnya melakukan penandatanganan naskah perjanjian utang luar negeri.
Hutang yang ditandatangani sekarang, dihabiskan sekarang. Namun cicilan pembayarannya baru lunas pada generasi anak cucu yang nota bene tidak menikmati manisnya, tapi harus menanggung sepahnya. Hal inilah yang dianggap merugikan konstitusional para Pemohon.
Menurut Pemohon, perjanjian luar negeri terutama yang berhubungan hutang harus memenuhi prinsip kehati-hatian. Dalam konteks ini, harus kembali kepada substansi Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 yaitu penandatanganan naskah perjanjian utang luar negeri hanya dapat ditandatangani oleh Presiden dan mendapat persetujuan dari DPR. (Nur Rosihin Ana)

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More