Rabu, 21 April 2010

PK Tak Menangguhkan Eksekusi Diuji di MK

(KI-KA) Hakim Maria Farida Indrati, Hakim H.M Akil Mochtar, dan Hakim Arsyad Sanusi sedang memeriksa Permohonan Pengujian UU Hukum Acara Pidana. Terlihat Ketua Majelis Hakim Panel (tengah) memberikan nasihat kepada Pemohon (Yusri Ardisoma) setelah membaca pokok-pokok Permohonan , Rabu (21/04) di Ruang Sidang Pleno MK.
Jakarta, MK Online - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau dikenal Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Rabu (21/4) di ruang pleno lt. II gedung MK. Persidangan perkara No.22/PUU-VIII/2010 ini dengan agenda pemeriksaan pendahuluan yang diajukan Yusri Ardisoma bin Urdiman.a
Pemohon tanpa didampingi kuasa hukum ini mendalilkan Pasal 268 ayat (1) dan penjelasan Pasal 268 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28I Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (5) UUD 1945.
Mantan kepala desa yang tersandung kasus korupsi kredit usaha tani (KUT) ini menganggap Pasal 268 ayat (1) yang berbunyi, "Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut.." merugikan Pemohon, karena tidak menjamin kepastian hukum yang adil, diskriminatif serta melanggar hak asasi manusia. "Saya sebagai terdakwa, ada penangguhan penahanan, trus banding, sekarang sedang kasasi, tapi kasasinya belum turun," kata Pemohon.
Dalam tuntutannya (petitum), Yusri meminta Mahkamah agar menerima dan mengabulkan permohonannya. Di samping itu, juga meminta Mahkamah menyatakan Pasal 268 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 268 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28I Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (5) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan  hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya.
Menanggapi permohonan, Panel Hakim yang memeriksa perkara ini, H.M. Akil Mochtar sebagai Ketua dan dua anggota Maria Farida Indrati dan Arsyad Sanusi menganggap kewenangan Mahkamah dalam permohonan sudah memenuhi syarat, termasuk kedudukan hukum Pemohon (legal standing), yaitu perorangan warga negara Indonesia. Sedangkan mengenai kerugian konstitusional, Akil mempertanyakan. "Kerugian Saudara adalah karena dengan pengajuan PK itu, hak Saudara menjadi dirugikan karena Saudara pernah ditahan, kemudian ditangguhkan, dan sekarang perkaranya dalam proses kasasi," jelas Akil.
Akil menilai belum ada kerugian konstitusional yang diderita Pemohon dengan berlakunya Pasal yang diujikan. "Apabila pasal ini dinyatakan tidak mempunyi kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah, maka apakah saudara tidak bisa dieksekusi karena Saudara mengajukan PK?" kata Akil.
Sementara itu, Anggota Panel Maria Farida Indrati menanyakan mengenai kepastian hukum yang dimaksudkan Pemohon. Lebih lanjut Maria menjelaskan, yang dimaksud kepastian hukum berarti upaya hukum sudah tertutup. "Kepastian hukum ini yang harus dijelaskan," papar Maria. Menurut Maria, PK itu diajukan jika ada ada alat bukti baru (novum). "Apakah Bapak punya bukti baru yang diajukan untuk PK ini?" tanya Maria. Permintaan PK juga tidak dibatasi dengan jangka waktu tertentu. "Jadi, kapan pun bisa," tandas Maria.
Sementara itu Anggota Panel Arsyad Sanusi menelusuri kasus pidana yang menimpa Yusri. Yusri divonis satu tahun penjara karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi. "Dulu waktu putusan pengadilan negeri, Saudara didakwa melakukan korupsi?" tanya Arsyad. "Ya," jawab Yusri singkat. "Setelah itu dihukum," lanjut Arsyad. "Dihukum satu tahun," jawab Yusri. Tidak puas dengan putusan PN, Yusri menyatakan Banding. Tapi putusan Banding justru menguatkan putusan sebelumnya. Setelah itu dia menyatakan Kasasi pada 2007. Yusri mengaku menjalani hukuman selama 4 bulan, kemudian memohon penangguhan penahanan.
Arsyad kemudian mengorek keterangan mengenai kasasi yang diajukan Yusri. "Kalau kasasi diajukan 2007, pasti sudah ada putusannya itu," selidik Arsyad. Yusri akhirnya mengakui kasasinya ditolak. Menurut Arsyad, hal inilah yang mendasari permohonan, bahwa PK sebagai upaya hukum luar biasa itu tidak menangguhkan eksekusi. Tatkala putusan kasasi turun, eksekutornya jaksa, sekalipun mengajukan PK. Arsyad kemudian menanyakan kerugian konstitusional Pemohon. "Apanya yang melanggar undang-undang dasar, sedangkan proses Saudara itu masih berlangsung," tanya Arsyad.   
Di akhir persidangan pemeriksaan pendahuluan, Ketua Majelis Hakim Panel Akil Mochtar memberi kesempatan Yusri untuk memperbaiki permohonan paling lambat 14 hari. (Nur Rosihin Ana)
 

Senin, 19 April 2010

Menguji Konstitusionalitas Materi UU Penodaan Agama


Tujuh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan empat perorangan warga negara indonesia, pada 28 Oktober 2009 mendaftarkan permohonan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengujikan konstitusionalitas materi UU Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Ketujuh badan hukum privat dimaksud yaitu: Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Perkumpulan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Perkumpulan Pusat Studi Hak Asasi Manusia dan Demokrasi, Perkumpulan Masyarakat Setara, Yayasan Desantara (Desantara Foundation), dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Sedangkan bertindak sebagai Pemohon perorangan, yaitu mantan Presiden (alm.) K.H. Abdurrahman Wahid, Prof. Dr. Musdah Mulia, Prof. M. Dawam Rahardjo, dan K.H. Maman Imanul Haq.

Materi UU Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang diujikan yaitu Pasal 1, Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4a. Menurut para Pemohon, materi pasal dalam UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28I ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 29 ayat (2). Dalam amar putusan yang dibacakan pada Senin (19/04/2010), Mahkamah menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menurunkan UU yang mewajibkan setiap penyelenggara pendidikan mengajarkan agama sebagai suatu mata pelajaran, sesuai dengan agama masing-masing. Mengajarkan agama berarti mengajarkan kebenaran keyakinan agama kepada peserta didik, yaitu siswa dan mahasiswa. Praktik demikian pada kenyataannya telah berlangsung lama dan tidak dipersoalkan legalitasnya. Oleh karenanya, domain keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah domain forum internum yang merupakan konsekuensi penerimaan Pancasila sebagai dasar negara. Setiap propaganda yang semakin menjauhkan warga negara dari Pancasila tidak dapat diterima oleh warga negara yang baik.

Dalam pendapatnya, Mahkamah menyatakan, atas nama kebebasan, seseorang atau kelompok tidak dapat dapat mengikis religiusitas masyarakat yang telah diwarisi sebagai nilai-nilai yang menjiwai berbagai ketentuan perundang-undangan di Indonesia. Pasal-pasal penodaan agama tidak semata-mata dilihat dari aspek yuridis saja melainkan juga aspek filosofisnya yang menempatkan kebebasan beragama dalam perspektif keindonesiaan, sehingga praktik keberagamaan yang terjadi di Indonesia adalah berbeda dengan praktik keberagamaan di negara lain yang tidak dapat disamakan dengan Indonesia. Terlebih lagi, aspek preventif dari suatu negara menjadi pertimbangan utama dalam suatu masyarakat yang heterogen.

Dari sudut pandang HAM, kebebasan beragama yang diberikan kepada setiap manusia bukanlah merupakan kebebasan yang bebas nilai dan kebebasan an sich, melainkan kebebasan yang disertai dengan tanggung jawab sosial untuk mewujudkan HAM bagi setiap orang. Jadi pembatasan kebebasan itu sah asalkan melalui perundang-undangan dan itu juga tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Alasan dan Pendapat berbeda
Dalam pembacaan putusan ini, terdapat alasan berbeda (concurring opiniondari Hakim Konstitusi Harjono dan pendapat berbeda (dissenting opiniondari Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati. Harjono dalam alasannya menyatakan bahwa bahwa meskipun UUD 1945 menyatakan hak beragama sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non derogable right) namun kebebasan untuk memanifestasikan kepercayaan atau agama dapat dibatasi yaitu hanya dengan UU yang diperlukan untuk melindungi keselamatan umum, ketertiban, keselamatan atau moral dan untuk melindungi hak-hak fundamental dan kebebasan orang lain (vide Declaration on the Elimination of All of Intolerance and of Discrimination Based on Religion or Belief Article).

Hakim Konstitusi Maria Farida dalam pendapatnya menyatakan Berdasarkan pasal 38E, 28I, dan 29 UUD 1945, sebenarnya UUD 1945 saat ini sangat memberikan hak dan jaminan secara konstitusional, bahkan memberikan kepada setiap orang kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu, serta berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

Hak dan jaminan konstitusional itu dijamin pula dalam UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, 1/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan juga 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Secara yuridis jaminan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam rezim hukum di Indonesia dinyatakan dengan landasan yang sangat kuat, sehingga dengan demikian negara Republik Indonesia juga memiliki tanggung jawab dan kewajiban konstitusional untuk menjamin terpenuhinya hak-hak tersebut, khususnya hak setiap orang terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan. (Nur Rosihin Ana)

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More