Rabu, 19 Desember 2012

APKASI Dukung Penyaluran Aspirasi Daerah Melalui DPD RI


Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) menyatakan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) telah mereduksi kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI). Sebab kedua UU tersebut tidak melibatkan DPD dalam pengajuan maupun persetujuan rancangan undang-undang. Terlebih lagi saat proses legislasi UU yang mengharuskan adanya peran DPD, antara lain RUU tentang Pemerintah Daerah, RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah, RUU tentang Desa.

“Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia terus memperjuangkan realisasi otonomi daerah seluas-luasnya secara utuh dan bertanggung jawab, sangat berkepentingan untuk menyalurkan aspirasi daerah melalui DPD RI dalam proses legislasi.”

Pernyataan disampaikan oleh Ketua Umum APKASI, Isran Noor saat didaulat menjadi saksi Pemohon dalam sidang uji materi UU MD3 dan UU P3 di persidangan Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (19/12/2012) siang. Sidang pleno perkara 92/PUU-X/2012 dan 104/PUU-X/2012 dilaksanakan oleh delapan hakim konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD (ketua pleno), Achmad Sodiki, Harjono, Hamdan Zoelva, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Anwar Usman. Sidang beragendakan mendengar keterangan saksi/ahli.

Isran beralasan anggota DPD RI dipilih oleh rakyat dengan perolehan suara yang secara umum jauh di atas perolehan suara rata-rata anggota DPR RI. dengan begitu, anggota DPD memiliki dukungan dan legitimasi politik yang kuat di daerah masing-masing atau di provinsi yang diwakilinya. Sebagai bentuk tanggung jawab politik kepada konstituen, menurut Isran, DPD berkewajiban untuk memperjuangkan aspirasi daerah. “Undang-undang serta mekanisme dan prosedur yang menyangkut kewenangan legislasi DPD RI seperti sekarang ini, jelas menjadi kendala bagi perwujudan tanggung jawab terhadap konstituen tersebut di atas,” jelas Isran yang bersaksi untuk Pemohon perkara Nomor 104/PUU-X/2012. 

Sementara itu, DPD RI selaku Pemohon untuk perkara Nomor 92/PUU-X/2012, menghadirkan  3 orang ahli, yaitu Prof. Dr. Saldi Isra, Dr. Maruarar Siahaan, S.H., Prof. Maswadi Rauf. Saldi Isra menyatakan, Konstruksi hukum Pasal 22D UUD 1945 adalah fakta konstitusional yang tidak terbantahkan. Begitu pula hadirnya DPD sebagai salah satu kamar di lembaga perwakilan rakyat Indonesia, menjadi fakta yang tidak terbantahkan pula. Permasalahannya adalah bagaimana memberikan pemaknaan yang tepat atas kewenangan DPD, sehingga kehadirannya tidak menjadi sebuah lembaga yang berada pada posisi antara ada dan tiada. Setidaknya kehadiran DPD dapat dirasakan, terutama dalam fungsi legislasi sebagaimana termaktub dalam Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2), yaitu peran signifikan dalam RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah.

Menurut Saldi, desain Pasal 22D UUD 1945 tidak mungkin pula memberikan kewenangan lebih luas kepada DPD untuk kategori RUU yang lain. Barangkali perluasan untuk semua kategori RUU hanya dapat dilakukan dengan melakukan perubahan kelima UUD 1945. “Dengan batasan yang dipandu dalam Pasal 22D tersebut, desain legislasi ke depan harusnya diupayakan memberikan tafsir yang tepat dengan wewenang legislasi DPD,” kata Saldi.

Tafsir yang tepat menurut Saldi, yaitu wewenang DPD tidak hanya sebatas mengajukan dan ikut membahas RUU, sebagaimana peran yang dilakukan oleh DPR dan Presiden. MK bisa memberikan tafsir yang lebih progresif. Apabila makna persetujuan dinilai sebagai konsekuensi dari pembahasan bersama, tidak keliru pula apabila DPD dilibatkan dalam proses pembentukan UU sampai tahap persetujuan bersama.

“Memberikan pemaknaan baru yang lebih progresif terhadap DPD dalam proses legislasi, sangat berpotensi menjawab kekhawatiran kita terhadap legislasi yang kian hari kian menurun kualitasnya. Tidak hanya kualitas, secara kuantitas jumlah undang-undang yang dihasilkan DPR dan pemerintah juga kian menurun, misalnya selama Tahun 2010 hanya mampu menghasilkan 13 undang-undang, 2011 sebanyak 24 undang-undang, secara kuantitas jumlah itu jauh lebih sedikit apabila dibandingkan dengan Tahun 2008 dan 2009,” tandasnya.

Untuk diketahui, permohonan uji materi UU MD3 dan UU P3 Perkara Nomor 92/PUU-X/2012 diajukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sedangkan untuk  Perkara Nomor 104/PUU-X/2012 diajukan oleh Prof Syamsuddin Haris (LIPI), Dr. Yudi Latif (Direktur Eksekutif Reform Institute), Sukardi Rinakit (Yayasan Soegeng Sarjadi), Titi Anggraini (Perludem) Toto Sugiarto (Peneliti Soegeng Sarjadi Syndicate), Yurist Oloan (FORMAPPI), sebagai Pemohon VI, Dr. Hemawan Estu Bagijo, SH, MH (Ketua Asosiasi Pengajar HTN), Refly Harun (CORRECT), Yuda Kusumaningsih (Pokja Keterwakilan Perempuan), Sulastio, (IPC), Sulastio (KIPP), Pipit Apriani (KIPP), Yusfitriadi (JPPR), Abdullah (ICW), Feri Amsari, SH, MH (Dosen HTN Fakultas Hukum Universitas Andalas), dan King Faisal Sulaiman SH, LLM (Direktur LBH Imparsial).

Materi UU MD3 yang diujikan yaitu Pasal 71 huruf a, huruf d, huruf e, Pasal 102 ayat (1), Pasal 147 ayat (3), ayat (4), ayat (7), Pasal 150 ayat (3), ayat (4) huruf a, Pasal 151 ayat (1) huruf a, huruf b, dan Pasal 154 ayat (5).

Sedangan materi UU P3 yang diujikan yaitu Pasal 18 huruf g, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), ayat (3), Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 43 ayat (1), ayat (2), Pasal 46 ayat (1), Pasal 48 ayat (2), ayat (4), ayat (5), Pasal 65 ayat (3), Pasal 68 ayat (2) huruf c, huruf d, ayat (3), ayat (4), ayat (5), Pasal 69 ayat (1) huruf a, huruf b, Pasal 70 ayat (1), dan ayat (2).

DPD mendalilkan, Pasal 102 ayat (1) huruf (d) dan (e) UU MD3, Pasal 48 ayat (2) dan (4) UU P3 telah mereduksi kewenangan legislasi DPD yang seharusnya setara dengan kewenangan legislasi Anggota, Komisi, dan Gabungan Komisi DPR. Pasal 18 huruf g, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21, Pasal 22 ayat (1), dan Pasal 23 ayat (2)  UU P3  telah meniadakan kewenangan DPD untuk dapat mengajukan RUU baik di dalam maupun di luar Program Legislasi Nasional. Pasal 143 ayat (5) dan Pasal 144 UU MD3 secara sistematis tidak mengikutsertakan DPD sejak awal proses pengajuan RUU. Pasal 147 ayat (1), ayat (3), dan (4) UU MD3 telah mendistorsi RUU usul DPD menjadi RUU usul DPR. Pasal 43 ayat  (1) dan  (2)  serta  Pasal 46 ayat (1) UU P3 telah merendahkan kedudukan DPD menjadi lembaga yang sub-ordinat di Bawah DPR. Pasal 65 ayat (3) dan (4) UU P3 tidak melibatkan DPD dalam seluruh proses pembahasan RUU. (Nur Rosihin Ana)



SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES

Selasa, 18 Desember 2012

Pemerintah: UU Pencegahan Penodaan Agama Tidak Mengekang Kebebasan Beragama


Masalah agama dan kehidupan beragama di Indonesia merupakan sesuatu yang sensitif. Perbedaan penafsiran suatu ajaran agama dapat menimbulkan pertikaian atau konflik antar kelompok umat beragama. Misalnya masalah perbedaan mazhab dalam agama Islam pun dapat menimbulkan perpecahan antar umat, padahal masing-masing memiliki landasan hukum yang jelas. Apalagi perbedaan yang bersandar pada penafsiran yang sewenang-wenang yang hanya bersandar pada logika.
UU Pencegahan Penodaan Agama dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dalam rangka menjaga ketenteraman dan keharmonisan hubungan antar dan intra umat beragama. “Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama bukan dimaksudkan untuk mengekang kebebasan beragama, melainkan untuk memberikan rambu-rambu tentang pencegahan, penyalahgunaan, dan atau penodaan agama.”
Pernyataan disampaikan oleh Prof. Dr. Abdul Djamil, MA, Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama, saat menyampaikan keterangan Pemerintah dalam sidang di Mahkamah Konstitusi, Selasa (18/12/2012). Sidang Nomor 84/PUU-X/2012 dengan pokok perkara pengujian Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana  (KUHP) dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, ini diajukan oleh Tajul Muluk alias H. Ali Murtadha, Hassan Alaydrus, Ahmad Hidayat, Umar Shahab, dan Sebastian Joe.
Pasal 156a KUHP menyatakan, “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Pasal 4 UU Pencegahan Penodaan Agama menyatakan: “Pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut: “Pasal 156a Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima  tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa."
Abdul Djamil melanjutkan, Pemerintah menghawatirkan jika permohonan Tajul Muluk dkk dikabulkan, karena menurut Pemerintah justru dapat menimbulkan kekacauan dan kekosongan hukum. “Sehingga dapat menimbulkan kecemasan, ketegangan, ketidakharmonisan yang mengarah pada konflik horizontal antar umat beragama, bahkan dapat menimbulkan bibit-bibit disintegrasi bangsa,” lanjut Abdul Djamil.
Terkait ketentuan Pasal 4 UU Pencegahan Penodaan Agama, Pemerintah menyatakan sependapat dengan Dr. Mudzakir yang termuat dalam pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 140/PUU-VII/2009 menyatakan bahwa ketentuan Pasal 4 UU Pencegahan Penodaan Agama adalah bentuk amandemen KUHP, yakni menambah Pasal 156A. Norma hukum pidana dalam Pasal 156A pada huruf a adalah norma hukum  yang menentukan sanksi bagi perbuatan jahat, yang karena sifat jahatnya melekat pada perbuatan yang dilarang. Sedangkan sifat kriminalnya muncul karena memang perbuatan itu adalah jahat. Adapun sifat jahatnya itu adalah permusuhan, penyalahgunaan, dan/atau penodaan terhadap agama.
Pemerintah menanggapi dalil para Pemohon yang menyatakan frasa “di muka umum” sangatlah bersifat subjektif dan tidak dapat diukur. Menurut Pemerintah, unsur “di muka umum” pada Pasal 156a KUHP banyak termuat dalam Pasal-Pasal lain dalam KUHP, diantaranya Pasal 156 KUHP, Pasal 157 ayat (1) KUHP, Pasal 160 KUHP. Pemerintah mengutip R. Susilo dalam bukunya “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentarnya,” yang dimaksud “di muka umum” adalah perbuatan yang dilkukan di tempat yang dapat dilihat dan dikunjungi oleh banyak orang atau di tempat umum (halaman 132); tempat yang didatangi publik atau di mana publik dapat mendengar (halaman 136); di tempat umum dan ada orang banyak atau khalayak ramai (halaman 138); di tempat publik dapat melihatnya (halaman 146).
“Berdasarkan batasan-batasan tersebut di atas, maka menurut Pemerintah pengertian di muka umum dalam Pasal 156A KUHP juncto Pasal 4 Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama adalah jelas dan tidak bersifat multitafsir,” papar Abdul Djamil.
Kemudian Pemerintah menanggapi dalil para Pemohon yang menyatakan unsur mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan atau penyalahgunaan dan/atau penodaan terhadap suatu agama yang dianggap bersifat multitafsir dan tidak jelas tolak ukurnya. Pemerintah dalam hal ini menjelaskan, unsur mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan terhadap suatu agama dapat dipahami sebagai menyatakan atau menunjukan dengan perbuatan yang dapat dinilai sebagai memusuhi, membenci, menghina, atau merendahkan, yang dapat memicu pertikaian, pertengkaran, perkelahian, keributan, bahkan pertempuran antar kelompok umat beragama. Sedangkan yang dimaksud dengan mengeluarkan perasaan atau perbuatan yang bersifat penyalahgunaan dan/atau penodaan terhadap suatu agama, pengertiannya adalah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 UU Pencegahan Penodaan Agama, yaitu melakukan penafsiran terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari ajaran agama itu.
Adapun pengertian menyimpang yaitu menyimpang dari ajaran agama yang ditentukan di dalam kitab suci, sebagaimana di dalam agama Islam adalah Al-Qur’an dan al-Hadits. Kalaupun ada pengertian dari kitab suci yang kurang jelas dan harus ditafsirkan, maka penafsiran tidak boleh dilakukan oleh sembarangan orang, melainkan harus oleh orang-orang yang memiliki otoritas atau kapasitas keilmuan untuk menafsirkan ajaran suatu agama.
Penafsiran terhadap suatu ajaran agama yang dilakukan oleh orang atau sekelompok orang yang tidak memiliki kapasitas keilmuan dapat menghasilkan penafsiran yang menyimpang dan dapat menimbulkan permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama. “Karena itu, negara tidak dapat membiarkan keadaan tersebut, karena dapat mengganggu keamanan dan ketertiban di dalam masyarakat,” tandas Abdul Djamil. (Nur Rosihin Ana)

SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES

Kamis, 13 Desember 2012

Ahli Pemohon: Penetapan Alokasi Kursi dalam UU Pileg Dilakukan Secara Acak


Penetapan alokasi kursi dalam lampiran Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD (UU Pileg) tidak sistematik. “Jadi, tampaknya penetapan jumlah kursi adalah dilakukan secara acak dan tidak menunjukkan ada satu metode yang digunakan.” Demikian dikatakan Didi Achdijat dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (13/12/12) siang. Sidang kali keempat untuk perkara 96/PUU-X/2012 ihwal Pengujian Pasal 22 ayat (4) dan lampiran UU Pileg, ini beragendakan mendengar keterangan Ahli. Persidangan dilaksanakan oleh sembilan Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Moh. Mahfud MD.

Kalaupun ada metode alokasi kursi yang digunakan dalam UU Pileg, kata Didi, metode tersebut sangat tidak stabil. Sebab perubahan kursi tidak mengakibatkan perubahan proporsi rasio dari alokasi terhadap alokasi kursi. “Maka untuk itu, kalau saya boleh menyarankan adalah sebaiknya dilakukan perhitungan ulang dengan menggunakan satu metode, mungkin yang termudah adalah metode Webster (Daniel Webster),” saran Didi.

Didi memaparkan berbagai metode yang pernah digagas oleh matematikawan pemilu, yaitu Daniel Webster, Andre Sainte Lague, Horst Friedrich Niemeyer, Thomas Hare, Victor D’Hondt, Thomas Jefferson. Untuk mengetahui metode suatu metode disebut bagus, perlu dilakukan pengukuran proporsionalitas yang meliputi tiga hal. Pertama, membandingkan proporsi populasi dengan rasio alokasi. Kemudian rasio alokasi dengan rasio populasi. “Mungkin istilahnya sama tetapi sebetulnya berbeda,” terangnya.

Kedua, pengkuran mengenai keterlebihan keterwakilan (over-represented). Ketiga, kestabilan atau keadilan metode alokasi. Dalam kestabilan atau keadilan ini diukur pemindahan kursi dari suatu daerah ke daerah lainnya.

Misalnya untuk pulau Sumatera terjadi over-represented di Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Bangka Belitung, Kepulauan Bangka Belitung, dan yang mengalami kekuarangan perwakilan adalah Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan. Untuk Jawa, hampir seluruh Jawa mengalami kekurangan kecuali Jawa Tengah yang mengalami kelebihan keterwakilan. Sementara kekurangan keterwakilan terbesar adalah Jawa Barat. “Nah, dari sini kita bisa lihat bagaimana sebetulnya kalau metode alokasi ini diterapkan pada sistem pemilu kita, bagaimana bentuk penyimpangannya,” dalil Didi.

Untuk diketahui, uji materi UU Pileg ini diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Perkumpulan Indonesia Parliamentary Center (IPC). Pasal 22 ayat (4) menyatakan: “Penentuan daerah pemilihan anggota DPR dilakukan dengan mengubah ketentuan daerah pemilihan pada Pemilu terakhir berdasarkan ketentuan pada ayat (2).” Kemudian, Lampiran UU Pileg terdapat tabel yang member informasi mengenai Pembagian Daerah Pemilihan anggota DPR RI.

Menurut para pemohon, lampiran yang ditetapkan dalam UU Pileg tidak menggunakan metode penghitungan dan penetapan yang jelas. Lampiran tersebut merupakan lampiran yang sama dalam UU Nomor 10 Tahun 2008. Sedangkan dalam pemilihan dan pengalokasian kursi DPR dalam Pemilu 2009, tidak menggunakan prinsp kesetaraan secara konsisten sehingga beberapa provinsi mengalami over-represented dan beberapa provinsi lainnya mengalami under-represented. Pengalokasian kursi DPR ke provinsi dan Dapil dalam Pemilu 2009 yang mengabaikan prinsip kesetaraan dan tidak menggunakan metode yang  jelas, mengakibatkan beberapa provinsi mengalami over-represented (jumlah kursi melebihi dari yang seharusnya) dan beberapa provinsi lainnya mengalami under-represented (jumlah kursi kurang dari yang seharusnya). (Nur Rosihin Ana).

SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES

Kuasa Pemohon Uji UU Minerba Tak Hadiri Sidang Karena Ibundanya Meninggal


Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian materi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), Kamis (13/12/12) siang. Sidang kali kedua untuk Perkara Nomor 113/PUU-X/2012 ihwal pengujian Pasal 125 ayat (2), Pasal 126 dan Pasal 127 UU Minerba ini beragendakan perbaikan permohonan.

Panel Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi (ketua panel), Harjono, Anwar Usman, setelah membuka persidangan, membacakan surat yang dikirimkan oleh kuasa Pemohon. Isi surat tersebut intinya permintaan izin tidak bisa hadir di persidangan karena ibunda kuasa hukum Pemohon meninggal dunia. “Kuasa dari Pemohon minta izin untuk tidak mengikuti sidang ini karena ibundanya meninggal dunia pada hari ini,” kata Ahmad Fadlil Sumadi membacakan surat.

Selanjutnya panel hakim memerintahkan kepada Panitera MK untuk melakukan pemanggilan kepada Pemohon jika nantinya rapat permusyawaratan hakim (RPH) menyatakan permohonan pemohon dilanjutkan ke tahap pleno. Selain itu, sebelum menutup persidangan, panel hakim memerintahkan Panitera MK untuk membuat berita acara persidangan. Supaya dibikin berita acara hari ini, dia tidak datang dengan alasan yang menurut hukum dapat dibenarkan,” kata Fadlil.

Untuk diketahui, uji materi UU Minerba diajukan oleh H. Hazil Ma’ruf. Hazil mengujikan Pasal 125 ayat (2), Pasal 126 dan Pasal 127 UU Minerba. Melalui kuasanya, Iwan Prahara Nur Asnawi, Hazil pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Hazil menganggap Pasal 125 ayat (2) UU Minerba kontradiktif dan diskriminatif, karena tidak menjelaskan secara rinci maksud dan tujuannya. Sedangkan Pasal 126 Ayat (1) UU Minerba sebagai bentuk aturan bertujuan memonopoli hasil sumber daya alam dengan tidak sedikit pun memikirkan rakyat sekitar. Kemudian Pasal 127 UU Minerba merupakan bentuk arogansi penguasa kepada rakyatnya, sedangkan rakyat tidak diberikan ruang sedikit pun untuk bernafas.

Pasal 125 ayat (2) UU Minerba menyatakan, “Pelaksana usaha jasa pertambangan  dapat  berupa  badan usaha, koperasi, atau  perseorangan  sesuai  dengan klasifikasi  dan kualifikasi  yang telah ditetapkan  oleh Menteri.”

Pasal 126 menyatakan: “(1) Pemegang  IUP  atau  IUPK  dilarang  melibatkan  anak perusahaandan / atau afiliasinya dalam bidang usaha jasa pertambangan di wilayah  usaha  pertambangan yang diusahakannya, kecuali dengan izin Menteri; (2) Pemberian izin Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila: a. tidak  terdapat  perusahaan jasa pertambangan sejenis di wilayah tersebut; atau b. tidak ada perusahaan jasa pertambangan yang  berminat/ mampu.”

Pasal 127 menyatakan: “Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan usaha jasa pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal  124, Pasal 125, dan Pasal 126 diatur dengan peraturan menteri.” (Nur Rosihin Ana)

SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES

Rabu, 12 Desember 2012

DAU dan DAK Kab. Bengkulu Selatan Diserap Tiga Kecamatan di Kab. Seluma dan Kab. Kaur


Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) Kab. Bengkulu Selatan untuk bidang pendidikan dan kesehatan yang sedianya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Bengkulu Selatan, ternyata juga terserap untuk penduduk Kecamatan Semidang Alas dan Kecamatan Semidang Alas Maras Kabupaten Seluma serta penduduk Kecamatan Tanjung Kemuning Kabupaten Kaur. Hal ini disebabkan karena tiga kecamatan tersebut secara geografis lebih dekat dengan Kabupaten Bengkulu Selatan, sehingga penduduknya lebih memilih fasilitas pendidikan dan kesehatan yang ada di Kabupaten Bengulu Selatan dibandingkan harus ke Kabupaten Seluma maupun Kabupaten Kaur yang jaraknya lebih jauh.

Demikian juga terhadap kuota bahan bakar minyak (BBM) yang seharusnya diperuntukkan untuk masyarakat Bengkulu Selatan, juga dinikmati oleh penduduk yang tinggal di tiga kecamatan tersebut. “Hal ini tentu saja merugikan Pemohon I selaku Kepala Daerah Kabupaten Bengkulu Selatan dan karenanya mencederai rasa keadilan masyarakat di wilayah Kabupaten Bengkulu Selatan.”

Demikian dikatakan oleh Zainuddin Paru selaku kuasa hukum para pemohon saat memaparkan perbaikan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003 di persidangan Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (12/12/12) siang. Sidang kali kedua untuk perkara 112/PUU-X/2012 ihwal pengujian Pasal 4 huruf d dan e, Pasal 5 huruf g, Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Mukomuko, Kabupaten Seluma dan Kabupaten Kaur di Provinsi Bengkulu, ini beragendakan perbaikan permohonan. Uji materi UU Nomor 3 Tahun 2003 ini dimohonkan oleh Bupati Bengkulu Selatan H. Reskan E. Awaluddin, Ketua DPRD Kabupaten Bengkulu Selatan Susman Hadi, Aguslianto, dan Muksan.

Zainuddin Paru di hadapan panel hakim konstitusi Achmad Sodiki (ketua panel), Muhammad Alim, dan Anwar Usman, memaparkan perbaikan permohonan yang meliputi kedudukan hukum pemohon (legal standing), pokok perkara dan perbaikan petitum. Zainuddin menjelaskan legal standing Aguslianto yaitu perorangan WNI yang juga tokoh masyarakat yang tinggal di Kecamatan Semidang Alas dan Semidang Alas Maras Kabupaten Seluma dan Kecamatan Tanjung Kemuning Kabupaten Kaur. Aguslianto, kata Zainuddin, secara langsung merasakan dan mengalami kerugian akibat berlakunya Pasal 4 huruf d dan e, Pasal 5 huruf g, Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (2) dan (3) UU No. 3 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Mukomuko, Kabupaten Seluma dan Kabupaten Kaur di Provinsi Bengkulu.

Di antaranya, jarak dan waktu tempuh untuk mencapai pusat pemerintahan daerah menjadi sangat jauh, di samping alat transportasi umum yang masih sangat jarang. Sementara ketersediaan layanan Rumkit (rumah sakit), sekolah, dan pusat bisnis lebih dekat ke Kabupaten Bengkulu Selatan daripada ke Kabupaten Seluma ataupun ke Kabupaten Kaur,” terang Zainuddin Paru.
Hal tersebut, lanjut Zainuddin, tidak sejalan dengan tujuan dari pemekaran itu sendiri, sebagaimana termaktub dalam konsideran Menimbang huruf c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003 yang menyatakan: “bahwa pembentukan Kabupaten sebagaimana tersebut dalam huruf b, akan dapat mendorong peningkatan pelayanan di bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan, serta memberikan kemampuan dalam pemanfaatan potensi daerah.”

Para pemohon dalam petitum meminta Mahkamah menyatakan Pasal 4 huruf d dan e serta Pasal 5 huruf g UU Nomor 3 Tahun 2003 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang masih memasukkan Kecamatan Semidang Alas dan Semidang Alas Maras ke dalam cakupan wilayah Kabupaten Seluma dan Kecamatan Tanjung Kemuning ke dalam cakupan wilayah Kabupaten Kaur. Juga meminta Mahkamah menyatakan Pasal 7 ayat (2) dan (3) serta penjelasan umum alinea ketiga UU Nomor 3 Tahun 2003 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak disesuaikan dengan putusan Mahkamah.

Berikut bunyi pasal-pasal dalam UU Nomor 3 Tahun 2003 yang diujikan ke MK. Pasal 4 menyatakan: “Kabupaten Seluma berasal dari sebagian wilayah Kabupaten Bengkulu Selatan yang terdiri atas: a. Kecamatan Sukaraja; b. Kecamatan Seluma; c. Kecamatan Talo; d. Kecamatan Semidang Alas; dan e. Kecamatan Semidang Alas Maras.”

Pasal 5: “Kabupaten Kaur berasal dari sebagian wilayah Kabupaten Bengkulu Selatan yang terdiri atas: a. Kecamatan Kaur Utara; b. Kecamatan Kinal; c. Kecamatan Kaur Tengah; d. Kecamatan Kaur Selatan; e. Kecamatan Maje; f. Kecamatan Nasal; dan g. Kecamatan Tanjung Kemuning.”

Pasal 6 ayat (2): “Dengan terbentuknya Kabupaten Seluma dan Kabupaten Kaur, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, wilayahKabupaten Bengkulu Selatan dikurangi dengan wilayah Kabupaten Seluma sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dan wilayah Kabupaten Kaur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.”

Pasal 7: “(2) Kabupaten Seluma mempunyai batas wilayah: a. sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Selebar Kota Bengkulu dan Kecamatan Talang empat Kabupaten Bengkulu Utara; b. sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Lahat Provinsi Sumatera Selatan; c. sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pino Raya Kabupaten Bengkulu Selatan; dan d. sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia. (3) Kabupaten Kaur mempunyai batas wilayah: a. sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Kedurang Kabupaten Bengkulu Selatan dan Kabupaten Lahat Provinsi Sumatera Selatan; b. sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Ogan Komering Ulu Provinsi Sumatera Selatan; c. sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Lampung Barat Provinsi Lampung; dan d. sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia.” (Nur Rosihin Ana)

SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES

Selasa, 11 Desember 2012

Pemerintah: Otonomi Perguruan Tinggi Ciptakan Debirokratisasi


Otonomi di bidang akademik atau keilmuan, hanya dapat berkembang apabila ada otonomi di bidang nonakademik. Otonomi Perguruan Tinggi (PT) dapat berjalan dengan baik apabila mendapatkan dukungan dana yang memadai dan kewenangan mengelola organisasi secara mandiri untuk menyelenggarakan kegiatan Tri Dharma Perguruan Tinggi. PT tidak akan mendapatkan dan menemukan kebenaran apabila terbelenggu oleh birokrasi dan berbagai peraturan. “Selain itu, kepentingan otonomi bagi perguruan tinggi adalah dalam rangka pencapaian kualitas pendidikan tinggi secara efektif dan efisien karena dengan otonomi tersebut akan tercipta debirokratisasi dalam tata kelola perguruan tinggi.”

Demikian opening statement Pemerintah atas uji materi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) yang disampaikan oleh Sekretaris Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Ainun Na'im, Ph.D., dalam persidangan Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (11/12/2012) siang. Sidang kali ketiga untuk perkara Nomor 103/PUU-X/2012 ihwal pengujian Pasal 65, Pasal 73, Pasal 74, Pasal 86 dan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) dan perkara Nomor 111/PUU-X/2012 ihwal Pengujian Pasal 50, Pasal 65, Pasal 74, Pasal 76, Pasal 90 UU Dikti, ini beragendakan mendengar keterangan Pemerintah.

Ainun Na’im di hadapan Panel Hakim Konstitusi Achmad Sodiki (ketua panel), Harjono, M. Akil Mochtar, Hamdan Zoelva, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi dan Anwar Usman,  lebih lanjut menyatakan, Pasal 63 UU Dikti secara tegas menyatakan: “Otonomi pengelolaan Perguruan  Tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip: a. akuntabilitas;  b. transparansi;  c. nirlaba; d. penjaminan mutu; dan e.  efektivitas dan efisiensi.” Akuntabilitas perguruan tinggi merupakan bentuk pertanggungjawaban atas kegiatan yang dilaksanakan perguruan tinggi kepada semua pemangku kepentingan. Dalam melaksanakan kegiatan, perguruan tinggi tidak bertujuan untuk mencari laba tetapi tujuan sosial.

“Sehingga seluruh sisa hasil usaha dari pelaksanaan kegiatan harus ditanamkan kembali ke perguruan tinggi yang bersangkutan untuk meningkatkan kapasitas dan/atau meningkatkan mutu layanan pendidikan secara berkelanjutan,” terang Ainun.

Selanjutnya Pasal 88 menyatakan: “Pemerintah menetapkan standar satuan biaya operasional Pendidikan Tinggi secara periodik dengan mempertimbangkan:  a. capaian Standar Nasional Pendidikan Tinggi; b. jenis Program Studi; dan c. indeks kemahalan wilayah.” Standar wilayah operasinal tersebut akan dihitung berdasarkan biaya operasional yang dibutuhkan PT yang bersangkutan untuk melaksanakan kegiatan pendidikan di setiap program studi yang memenuhi standar nasional mutu pendidikan tinggi selama 1 tahun ajaran.

Otonomi pengelolaan PT sebagaimana dimaksud Pasal 64 UU Dikti tidak membenarkan praktik komersialiasasi pendidikan dan kebebasan menetapkan sendiri biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat. “Dengan demikian, hakikat otonomi perguruan tinggi adalah bukan kebebasan untuk melakukan komersialisasi dan privatisasi dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi,” dalil Ainun.

Menurutnya, peningkatan daya saing Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di lingkungan global membutuhkan keluasan dan kelenturan prinsip otonomi dalam pengelolaan pendidikan tinggi. oleh karena itu, UU Dikti menetapkan pengelolaan PT terdiri atas otonomi terbatas, semi otonomi, dan otonomi. PT dengan status otonomi terbatas hanya memiliki otonomi pengelolaan bidang akademik. PT dengan status semi otonom memiliki otonomi pengelolaan bidang akademik dan sebagian pengelolaan nonakademik. Sementara PT dengan status otonom memiliki otonomi pengelolaan bidang akademik dan nonakademik. Otonomi PT memberikan ruang gerak untuk bertindak cepat bagi PT.

Pasal 65 ayat (1) UU Dikti menyatakan: “Penyelenggaraan otonomi Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dapat diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum atau dengan membentuk PTN badan hukum untuk menghasilkan Pendidikan Tinggi bermutu.”

Ketentuan Pasal 65 ayat (1) ini telah jelas bahwa otonomi PT adalah bukan penyeragaman tetapi otonomi PT secara selektif sesuai dengan kondisi perguruan tinggi yang bersangkutan. “Jadi, berbeda dengan otonomi perguruan tinggi sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan,” lanjut Ainun.

Pemerintah memberikan dana kepada PTN untuk kepentingan operasional, investasi, pengembangan institusi, dan dana kepada mahasiswa sebagai dukungan biaya untuk mengikuti pendidikan tinggi. Pengalokasian dana untuk PTN dalam APBN dilakukan berdasarkan status pengelolaan PTN. PTN dengan status otonomi terbatas karena karakteristiknya sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT), pengalokasian dana dilakukan menurut kelaziman pengalokasian belanja bagi UPT. PTN dengan status semi otonomi karena mengikuti pola pengelolaan keuangan badan layanan umum, pengalokasian dana dilakukan dengan mengikuti kelaziman pengalokasian belanja untuk Badan Layanan Umum (BLU). Sementara untuk PTN yang berstatus otonom karena diberi status badan hukum, pengalokasian dana mengikuti pola belanja yang khusus dalam bentuk subsisi pendidikan tinggi, bantuan sosial pelaksanaan pendidikan tinggi, dan bentuk lain, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Prinsip PTN badan hukum adalah nirlaba dengan tujuan yang bersifat sosial. Sedangkan prinsip dan tujuan badan hukum perusahaan adalah profit oriented atau berorientasi pada laba. PTN badan hukum meskipun memiliki status otonom tetapi tetap terikat dan tunduk pada ketentuan penyelenggaraan pendidikan tinggi yang ditetapkan dalam UU Dikti, antara lain mengenai prinsip akuntabilitas, transparansi, nirlaba, efektivitas, dan efisiensi.

Pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh PTN badan hukum, tidak menjadi masalah privat, sulit diakses, berorientasi pasar, dan diskriminatif. Bentuk badan hukum bagi PT ini merupakan amanat dari Pasal 53 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, terhadap eksistensi hukum Pasal 53 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional ini, Mahkamah Konstitusi telah menguatkannya dalam beberapa putusan yang amarnya menolak untuk me-review Pasal 53 tersebut.

“Dengan demikian, keberadaan perguruan tinggi negeri badan hukum adalah legal dan absah baik menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional maupun menurut Keputusan Mahkamah Konstitusi,” tegas Ainun.

Pemerintah dalam petitumnya memohon kepada Mahkamah agar menyatakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing). Selain itu, memohon Mahkamah menolak permohonan para Pemohon. Kemudian, menyatakan materi UU Dikti yang diujikan para Pemohon, tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Untuk diketahui uji materi UU Dikti perkara Nomor 103/PUU-X/2012 dimohonkan oleh M. Nurul Fajri, Candra Feri Caniago, Depitriadi, Roky Septiari, Armanda Pransiska, dan Agid Sudarta Pratama. Sedangkan perkara Nomor 111/PUU-X/2012 diajukan oleh Azmy Uzandy, Khairizvan Edwar, Ilham Kasuma, Mida Yulia Murni, Ramzanjani, dan Ari Wirya Dinata. Sidang berikutnya akan digelar pada Rabu, 16 Januari 2013. (Nur Rosihin Ana)



SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES

Rabu, 05 Desember 2012

Masa Kedaluwarsa dalam UU Ketenagakerjaan Jamin Kepastian Hukum


Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berpandangan bahwa keberadaan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) sama sekali tidak menghilangkan hak buruh atau pekerja untuk dapat menuntut upah yang menjadi haknya. Pemberian waktu selama dua tahun kepada buruh atau pekerja untuk dapat menuntut haknya sudah lebih dari cukup.

“Bisa dibayangkan jika tidak ada ketentuan masa kedaluwarsanya suatu tuntutan, maka tidak ada kepastian hukum, baik bagi buruh atau pekerja, maupun bagi pengusaha. Bisa saja terjadi, tuntutan baru dilakukan setelah sepuluh atau dua puluh tahun kemudian, maka akan kesulitan untuk menghitung jumlah kerugian yang diderita pekerja atau buruh karena jumlahnya bisa berlipat-lipat. Pada sisi lain, hal tersebut tentu saja akan memberatkan pemberi kerja untuk memenuhi tuntutan buruh atau pekerja.”

Hal tersebut disampaikan oleh Hari Wicaksono saat menyampaikan keterangan DPR dalam sidang pengujian Pasal 96 UU Ketenagakerjaan di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (5/12/12) siang. Sidang untuk perkara yang diregisterasi oleh Kepaniteraan MK dengan Nomor 100/PUU-X/2012 pada 3 Oktober 2012, ini mengagendakan mendengarkan keterangan DPR, Pemerintah, saksi dan ahli.

Hari Wicaksono di hadapan panel hakim Moh. Mahfud MD (ketua panel), Harjono, M. Akil Mochtar, Muhammad Alim, Anwar Usman, dan Hamdan Zoelva, lebih lanjut menyatakan, pengaturan batas kedaluwarsa suatu tuntutan pembayaran upah sebagaimana diatur dalam Pasal 96 UU Ketenagakerjaan menurut pandangan DPR, telah memiliki legal ratio yang cukup beralasan. Sebagai perbandingan, Hari menukil ketentuan Pasal 1946 KUHPerdata yang menyatakan: “Kedaluwarsa ialah suatu sarana hukum untuk memperoleh sesuatu atau suatu alasan untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya waktu tertentu dan dengan terpenuhinya syarat-syarat yang ditentukan dalam undang-undang.”

Kemudian ketentuan Pasal 1968 KUHPerdata yang menyatakan: “Tuntutan para buruh yang upahnya harus dibayar dalam bentuk uang tiap-tiap kali setelah lewat waktu yang kurang dari satu triwulan, untuk mendapat pembayaran upah mereka serta jumlah kenaikan upah itu menurut pasal 1602q, semua tuntutan ini kedaluwarsa dengan lewatnya waktu satu tahun.” Ketentuan ini dipertegas oleh Pasal 1969 KUHPerdata: “Tuntutan pada buruh, kecuali mereka yang dimaksudkan dalam Pasal 1968, untuk pembayaran upah mereka serta jumlah kenaikan upah itu menurut Pasal 1602 q; semuanya lewat waktu dengan lewatnya waktu dua tahun.” Oleh karena itu menurut DPR, ketentuan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945.

Sementara itu, Pemerintah dalam keterangannya yang disampaikan oleh Direktur Pengupahan dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemenakertrans, Wahyu Indrawati, menyatakan pembayaran upah dan hal-hal lain dalam hubungan kerja, dan/atau hubungan hukum pekerjaan, selalu diatur adanya ketentuan kedaluwarsa. Karena kedaluwarsa adalah merupakan alat untuk dibebaskan dari suatu perikatan atau perjanjian, termasuk perjanjian kerja (vide Pasal 1946 KUH Perdata).

Kedaluwarsa yang terkait dengan hubungan kerja atau hubungan hukum melakukan pekerjaan, sejak dulu diatur dalam hubungan keperdataan, baik dalam hukum perdata adat maupun hukum perdata barat, yang diatur kasus perkasus dan pasal per pasal, antara lain: a. tuntutan para buruh untuk mendapatkan pembayaran upah mereka beserta jumlah kenaikan upah itu kedaluwarsa dengan lewat waktu satu tahun (vide Pasal 1968); b. tuntutan para buruh untuk pembayaran upah mereka beserta jumlah kenaikan upah itu dalam kaitannya dengan lewatnya waktu dua tahun (vide Pasal 1969) dan c. tuntutan tukang-tukang kayu, tukang-tukang batu untuk pembayaran bahan-bahan yang mereka berikan dan upah-upah mereka kedaluwarsa dengan lewatnya waktu dua tahun (vide  Pasal 1971).

Pemerintah berpandangan bahwa tenggang waktu dua tahun sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan merupakan aturan yang diadopsi dari Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 khususnya Pasal 30 yang menyatakan: “Tuntutan upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun.”

Menanggapi dalil pemohon yang menyatakan tidak menuntut pertanggungjawaban PT Sandy Putra Makmur (PT SPM) dikarenakan takut tidak dipekerjakan lagi, menurut Pemerintah, hal tersebut sudah menjadi materi pokok perkara tersendiri atas perselisihan hubungan industrial. Hal ini menjadi kewenangan Pengadilan Hubungan Industrial untuk menilai apakah alasan demikian dapat dijadikan alasan pemaaf untuk tidak mengajukan tuntutan.

“Menurut Pemerintah, ketentuan Pasal 96 Undang-Undang Ketenagakerjaan justru untuk memberikan kepastian hukum pembayaran upah pekerja buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja, dan ketentuan demikian tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945,” kata Wahyu Indrawati.

Untuk diketahui, permohonan uji Pasal 96 UU Ketenagakerjaan dimohonkan oleh Marten Boiliu. Marten adalah petugas Satuan Pengaman (Satpam) pada perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melalui perusahaan penyedia jasa pengamanan, yaitu di PT Sandy Putra Makmur (PT SPM). Marten mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ketika PT SPM tidak lagi menjalin hubungan kerja dengan BUMN tempat di mana dia ditugaskan. Marten kehilangan hak atas uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian hak karena tidak mengajukan tuntutan atas hak-hak tersebut dalam kurun waktu dua tahun. Pasal 96 UU Ketenagakerjaan menyatakan, “Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kedaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak.” Menurut Marten, ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” (Nur Rosihin Ana)

SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES

Selasa, 04 Desember 2012

Uji UU Dikti: Hadirnya Perguruan Tinggi Asing Matikan Perguruan Tinggi dalam Negeri


Enam orang mahasiswa Universitas Andalas (Unand), Padang, Sumatera Barat, yang memohonkan uji materi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti), hari ini kembali menjalani sidang lanjutan perkara Nomor 111/PUU-X/2012, Selasa (4/12/2012). Sidang dengan agenda perbaikan permohonan ini dilaksanakan secara interaktif di dua tempat yang berbeda dengan menggunakan teknologi video conference yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi. Panel Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva (ketua panel), Harjono dan Maria Farida Indrati yang berada di ruang sidang pleno lt. 2 gedung MK memeriksa perbaikan para pemohon yang berada di Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat.

Para sesi perbaikan permohonan ini, para pemohon yakni Azmy Uzandy, Khairizvan Edwar, Ilham Kasuma, Mida Yulia Murni, Ramzanjani, dan Ari Wirya Dinata, memaparkan perbaikan permohonan berdasarkan nasihat panel hakim pada persidangan pendahuluan pada Selasa (21/11/2012) lalu. Hal-hal yang diperbaiki yaitu mengenai kewenangan Mahkamah untuk menguji UU Dikti. “Para Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji materil Pasal 65 ayat (1) sepanjang frasa ‘atau dengan membentuk PTN badan hukum’, serta ayat (3) dan ayat (4), Pasal 74, Pasal 76 ayat (1) sepanjang frasa ‘peraturan akademik’, dan ayat (2) huruf c, serta Pasal 90, di mana bahwa Mahkamah Konstitusi menurut Pasal 24C ayat (1) memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,” kata juru bicara para pemohon, Azmy Uzandy.

Sedangkan perbaikan pada pokok permohonan, para pemohon menguraikan Pasal 65 ayat (1) sepanjang frasa “atau dengan membentuk PTN badan hukum”. Pasal 65 ayat (1) menyatakan: “Penyelenggaraan otonomi Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dapat diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum atau dengan membentuk PTN badan hukum untuk menghasilkan Pendidikan Tinggi bermutu.” Menurut para pemohon, frasa “atau dengan membentuk PTN badan hukum” dalam Pasal 65 ayat (1) UU Dikti tersebut telah membuka ruang untuk suatu perguruan tinggi yang memiliki status badan hukum. Padahal, ruang hadirnya Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang berbadan hukum tersebut telah ditutup oleh MK melalui Putusan Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 tentang Pengujian UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). Mahkamah dalam amar putusan menyatakan konstitusional bersyarat atas ketentuan Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas. Mahkamah menyatakan konstitusional frasa ‘badan hukum pendidikan’ sepanjang  dimaknai dengan sebutan fungsi penyelenggaraan pendidikan, bukan sebagai bentuk badan hukum tertentu.

“Bahwa antara frasa ‘atau dengan membentuk PTN Badan Hukum’ dengan ketentuan Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 serta ditiadakannya syarat kondisional konstitusional pada Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terkait ketentuan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara nyata frasa tersebut inkonstitusional menurut Pemohon,” lanjut Azmy.

Pasal 74 UU Dikti menyatakan: (1) PTN wajib mencari dan menjaring calon Mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi dan calon Mahasiswa dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggal untuk diterima paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari seluruh Mahasiswa baru yang diterima dan tersebar pada semua Program Studi. (2) Program Studi yang menerima calon Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memperoleh bantuan biaya Pendidikan dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, dan/atau Masyarakat.

Pasal 74 UU Dikti yang dipermasalahkan para pemohon yaitu mengenai calon mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi. Para pemohon mempertanyakan mengapa hanya calon mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi saja yang diakomodir UU Dikti. Padahal inti dari pendidikan yang termaktub dalam UUD 1945 adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya pendidikan tidak hanya untuk mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi saja, melainkan juga untuk mahasiswa-mahasiswa yang tidak memiliki potensi akademik tinggi. “Artinya ada sebuah bentuk perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum yang bertentangan, menurut kami, dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia,” dalil Azmy.

Pasal 76 ayat (1) UU Dikti menyatakan: “Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perguruan Tinggi berkewajiban memenuhi hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan akademik.” Para pemohon mempermasalahkan frasa “peraturan akademik”. Hal ini menurut para pemohon akan mengakibatkan perlakuan yang diskriminatif antara satu universitas dengan universitas lain.

Ketentuan Pasal 90 UU Dikti memberikan suatu ruang untuk adanya internasionalisasi melalui perguruan tinggi lembaga negera lain, dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi di wilayah NKRI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Para pemohon menganggap hadirnya perguruan tinggi asing yang membuka cabang di Indonesia, akan menimbulkan dampak swastanisasi pendidikan tinggi. “Kami sangat khawatir dengan analogi adanya nanti Harvard cabang Padang, atau Padang Sumatera Barat, akan membuat suatu bentuk kerugian konstitusional bagi orang-orang yang berkuliah di Universitas Andalas sendiri karena pastinya dengan brand yang tersebut maka akan mematikan perguruan tinggi-perguruan tinggi yang ada,” tandas Azmy. (Nur Rosihin Ana)

SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More